Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Kasus Covid-19 di Indonesia Bisa Tembus 1 Juta? Ini Kata Epidemiolog

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/WAHYU ADITYO PRODJO
Suasana Taman Pemakaman Umum (TPU) Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan khusus pemakanan jenazah pasien Covid-19 pada Sabtu (23/1/2021) sore.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Indonesia saat ini mencatatkan kasus infeksi Covid-19 melewati angka 1 juta kasus, tepatnya 1.012.350. 

Dengan jumlah tersebut, Indonesia melewati Belanda yang sebelumnya berada di peringkat ke-19 dunia menurut Worldometers. 

Setelah hampir satu tahun pandemi, Pemerintah Indonesia telah melakukan sejumlah langkah untuk mengatasi pandemi.

Di antaranya melakukan pembatasan melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di sejumlah wilayah. 

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun mengapa kasus penularan masih sulit dikendalikan? 

Baca juga: Tembus Lebih dari 1 Juta Kasus Covid-19, Indonesia Masuk 20 Besar di Dunia?

Lockdown tidak sesuai

Epidemolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan, salah satu alasan pembatasan sosial yang dilakukan Indonesia kurang optimal adalah karena menurutnya tidak sesuai dengan regulasi. 

Termasuk seperti PSBB yang dilakukan di Jakarta pada Maret tahun 2020 lalu. 

"PSBB yang sesuai regulasi itu kan lockdown-nya Indonesia, tapi belum dilakukan. Walau pun di awal (pandemi) Maret di Jakarta, (PSBB) ketat sekali pun, itu bukan PSBB yang sesuai regulasi," kata Dicky kepada Kompas.com (27/1/2021). 

Baca juga: Kasus Covid-19 Tembus 1 Juta, Guru Besar UI Duga Varian Baru Sudah Masuk

Meski PSBB atau lockdown dalam penanganan pandemi hanya sebagai salah satu opsi, namun Dicky menyebut Indonesia memang tidak akan mampu secara ekonomi.

Sebab lockdown mensyaratkan masyarakat tidak banyak melakukan mobilitas, sementara negara wajib menjamin dan mencukupi kebutuhan seperti yang dilakukan sejumlah negara seperti China di Wuhan. 

"Saya ingatkan di awal pandemi, belajar dari pengendalian pandemi lainnya di Indonesia, saya terlibat di situ, saya ingatkan bahwa Indonesia itu enggak akan kuat kalau sampai harus lockdown," ujar Dicky.

"Kecuali memang tidak ada pilihan lain, seperti saat ini sepertinya mengarah ke arah itu," lanjutnya.

Deteksi kasus

Apabila opsi lockdown saat itu tidak mungkin dilakukan, maka salah satu cara yang bisa dilakukan menurut Dicky adalah memperkuat upaya deteksi dini kasus di masyarakat, sejak awal, bahkan sejak kasus belum ditemukan.

"Yang bisa kita lakukan itu deteksi dini kasus infeksi secara aktif, masif. Deteksi itu enggak mesti testing, bisa juga screening, ada klinik demam. Yang penting ketemu dugaan, suspek, probable, mau apa pun istilahnya itu langsung isolasi atau karantina 2 minggu," papar Dicky.

Jika ini dilakukan sejak awal, dia menilai Indonesia bisa mencegah kemungkinan pandemi membesar di kemudian hari seperti yang saat ini terjadi.

Baca juga: Jokowi Targetkan Vaksinasi Covid-19 Capai 1 Juta Orang dalam Sehari

Dinilai setengah-setengah

Sementara ketika pandemi sudah membesar, upaya deteksi dini akan semakin sulit untuk dilakukan, padahal di sisi lain Indonesia berat untuk bisa menerapkan lockdown.

"Kita harus lakukan itu (deteksi dini sejak awal) sehingga wabah tidak keburu besar, tapi masalahnya kalau ditunda-tunda bisa besar sekali. Pada suatu saat tidak ada pilihan lain selain lockdown," jelas Dicky.

Indonesia, menurut Dicky, pada saatnya dengan terpaksa, entah mampu atau tidak mampu, tidak menutup kemungkinan bisa melakukan lockdown. 

Hal itu karena kondisi semakin buruk dan sudah tidak ada opsi yang tersisa untuk menyelamatkan masyarakat.

"Jangan sampai ini enggak dilakukan, itu enggak dilakukan. Itu yang saat ini terjadi, setengah-setengah. Menghindari beban ekonomi, tapi yang dilakukan malah memperbesar beban ekonomi, perburukan di sektor ekonomi, sosial, politik sebetulnya," ujar dia.

Baca juga: Tembus 1 Juta Kasus Covid-19, Bagaimana Posisi Indonesia di Asia?

Bukan faktor ekonomi

Dicky menyebutkan keberhasilan suatu negara dalam mengendalikan pandemi itu tidak tergantung pada kondisi ekonomi negara tersebut.

Menurut dia, negara kaya atau negara miskin semua bisa mengendalikan pandemi, tentu dengan mengambil opsi yang paling memungkinkan dan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi negaranya.

Negara dengan kondisi ekonomi mapan misalnya, bisa saja lakukan lockdown demi menekan persebaran virus di tengah masyarakat.

Namun negara dengan kondisi ekonomi sebaliknya pun tetap bisa mencapai hal yang sama, yakni menekan persebaran virus seperti pencegahan dini penyebaran kasus. 

"Negara-negara Afrika adalah contoh dari hal ini, mengapa mereka kasusnya relatif sedikit, karena respons awal yang cepat. Mesir, Lesoto, mereka melakukan pengetatan besar, sebelum adanya kasus bahkan," ungkap Dicky.

Baca juga: 1 Juta Kasus Covid-19 dan Respons Pemerintah...

Negara di Afrika

Pengetatan di sejumlah negara Afrika terus dilakukan sejak awal hingga saat ini, sehingga tanpa melakukan lockdown sekali pun kondisi pandemi di sana bisa relatif terkontrol.

Dari 57 negara di Afrika yang terdampak Covid-19, hanya 1 negara, yakni Afrika Selatan yang kasusnya lampaui angka 1 juta.

Kasus Covid-19 di-56 negara yang lain semuanya ada di bawah angka 500 ribu hingga Selasa (26/1/2021) berdasarkan data yang ditampilkan Worldometer.

"Itu status ekonominya jauh di bawah Indonesia, untuk beberapa banyak negara itu. Dan mereka tahu, lockdown itu akan membuat penduduk mereka jatuh jauh lebih miskin," kata dia.

Menyadari kondisi ekonomi negara dan masyarakatnya yang tidak memungkinkan untuk mengambil langkah penguncian, negara-negara di Afrika banyak yang melakukan upaya pencegahan sejak dini. Ini lah yang disebut Dicky tidak dilakukan Indonesia.

Baca juga: Kasus Covid-19 Lewati 1 Juta, Menkes: Rakyat dan Pemerintah Harus Kerja Sama Atasi Pandemi

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi