Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkaca dari Kasus WhatsApp dan Eiger, Bagaimana Seharusnya Brand Menyikapi Karakteristik Pengguna Medsos?

Baca di App
Lihat Foto
DW INDONESIA
Ilustrasi media sosial.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Pada era media sosial, berbagai isu bisa dengan cepat menjadi viral dan menarik perhatian.

Segala macam informasi tumpang-tindih dan timbul-tenggelam dalam sekejap di linimasa media sosial.

Potensi media sosial untuk berbagi informasi dengan cepat tidak luput dari perhatian brand-brand pemilik produk.

Baca juga: Trending di Twitter, Berikut 5 Fakta soal Kasus Eiger

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka mulai menggunakan media sosial untuk mengampanyekan dan memasarkan produk mereka, serta berinteraksi dengan publik.

Meski demikian, tak jarang terjadi blunder dalam strategi komunikasi publik ini, sehingga brand gagal meraih citra positif dan justru dihujani sentimen negatif oleh publik.

Baca juga: Ramai soal Status WA, Bagaimana Kebijakan Privasi di WhatsApp?

WhatsApp ditinggalkan pengguna

Fenomena sentimen negatif dari publik salah satunya dialami WhatsApp, yang pada awal 2021 mengumumkan bahwa mereka akan memperbarui Ketentuan dan Kebijakan Privasi, yang berkaitan dengan pengelolaan data pengguna.

Salah satu poin dari kebijakan baru tersebut adalah mengintegrasikan data pengguna WhatsApp dengan Facebook, yang merupakan induk perusahaan.

Rencana pembaruan kebijakan ini menuai beragam reaksi dari pengguna aplikasi chat itu.

Baca juga: Ramai soal Pemberitahuan WhatsApp di Status Pengguna, Bagaimana Sejarah Munculnya WA?

 

Sebagian menilai, privasi mereka akan semakin berkurang dengan adanya kebijakan baru ini.

Imbas rencana kebijakan baru itu, banyak pengguna mulai melirik aplikasi chat dari pesaing-pesaing WhatsApp, seperti Telegram dan Signal, yang dirasa lebih serius menjamin keamanan privasi penggunanya.

Baca juga: Mengenal Aplikasi BiP yang Dilirik Pengguna WhatsApp Selain Telegram

Eiger vs youTuber

Sementara itu, sentimen negatif publik juga baru-baru ini dirasakan oleh brand perlengkapan outdoor, Eiger.

Brand asal Indonesia itu ramai diperbincangkan publik karena surat keberatan yang mereka layangkan kepada seorang YouTuber yang mengulas produk mereka.

Eiger mengkritik kualitas video review produk yang dibuat oleh YouTuber Dian Widiyanarko, meski konten itu dibikin sendiri alias bukan endorse.

Baca juga: Ramai soal Kasus Eiger dan Mengenal Apa Itu Doxing...

Tidak terima dengan surat keberatan dari Eiger, Dian kemudian mengungkapkan keluhannya melalui akun media sosial miliknya. Keluhan Dian lantas menarik perhatian warganet, dan membuat masalah itu menjadi viral.

Tagar #Eiger pun duduk di puncak trending topic Twitter Indonesia sejak Kamis (28/1/2021) hingga Jumat (29/1/2021).

Hampir seluruh komentar menyayangkan langkah yang dilakukan Eiger.

Baca juga: Trending di Twitter, Berikut 5 Fakta soal Kasus Eiger

Perubahan lanskap media

Menanggapi fenomena sentimen negatif terhadap dua brand besar, Eiger dan WhatsApp, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Fajar Junaedi mengatakan, brand seharusnya adaptif terhadap perubahan lanskap media yang terjadi.

Menurut Fajar, di masa media analog (cetak dan penyiaran), posisi institusi media sangat kuat dibandingkan dengan audiens.

"Kondisi berbeda terjadi di masa digital, di mana interaktivitas media dan audiens terjadi lebih dialogis dan serempak, posisi media sebagai institusi tidak sekuat dulu," kata Fajar saat dihubungi Kompas.com, Jumat (29/1/2021).

Baca juga: Viral soal Balap Lari Liar di Medsos, Apa yang Terjadi?

Mengutip pendapat dari pakar komunikasi massa, Prof. Dennis McQuail, Fajar menyebut media sosial di era digital ini ditandai dengan beberapa hal, yaitu:

  • Interaktivitas antara pengguna dengan sumber maupun sesama pengguna.
  • Social Presence (sosiabilititas), kehadiran pengguna karena kontak pribadi dengan orang lain sesama pengguna medium.
  • Media Richness, media dapat menjembatani perbedaan kerangka acuan, mengurangi ambiguitas, memberi isyarat yang lebih, melibatkan indera lebih banyak dan lebih pribadi.
  • Autonomy, pengguna dapat mengendalikan konten dan penggunaan dan telepas dari sumber.
  • Playfulness, di mana media berguna sebagai sarana hiburan dan kenikmatan.
  • Privacy, di mana ada kebebasan penggunaan medium dan/atau konten.
  • Personalization, penggunaan medium bersifat personal dan unik.

Baca juga: 5 Cara Menjadi YouTuber Sukses pada 2021

Pentingnya pengambilan keputusan berdasarkan riset

Menurut Fajar, dalam kasus Eiger dan WhatsApp, kedua brand tersebut gagal memahami karakteristik pengguna media digital, seperti yang telah dipaparkan oleh McQuail.

Dia mengatakan, keduanya gagal memahami aspek autonomy, di mana pengguna dapat mengendalikan konten dan penggunaan dan terlepas dari sumber.

Tidak hanya itu, Fajar juga menyebut brand gagal dalam memahami aspek privacy, di mana ada kebebasan penggunaan medium dan/atau konten.

"Inilah yang menunjukan pentingnya kajian pustaka atau riset oleh brand dengan menggunakan literatur akademis dalam pengambilan keputusan," kata Fajar.

Baca juga: Kisah di Balik APD Fashionable yang Viral di Medsos...

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: 5 Poin Klarifikasi WhatsApp soal Kebijakan Barunya

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi