Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Kusta Sedunia: Mengenal Kusta atau Penyakit Hansen dan Gejalanya

Baca di App
Lihat Foto
Ditjen Promkes - Kemenkes RI
banner peringatan Hari Kusta Sedunia 2021
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Hari Kusta Sedunia atau World Leprosy Day diperingati setiap tahun pada hari Minggu terakhir bulan Januari.

Tahun ini, Hari Kusta Sedunia diperingati pada Minggu (31/1/2021).

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, peringatan Hari Kusta Sedunia bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap keberadaan penyakit kusta, serta penderitanya.

Sementara itu, di Indonesia, Direktorat Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI, turut mengampanyekan kesadaran tentang kusta pada peringatan Hari Kusta Sedunia 2021.

Dalam peringatan Hari Kusta Sedunia 2021, Ditjen Promkes mengajak masyarakat untuk mendukung penemuan kasus, pemeriksaan kontak, dan pengobatan kusta sampai tuntas untuk mencapai Eliminasi Kusta pada tahun 2024.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Apa itu kusta?

Mengutip laman Kemenkes RI, Jumat (29/1/2021) Sekretaris Kelompok Studi Morbus Hansen Indonesia (KSMHI) Perdoski, dr. Zunarsih Sp.KK, mengatakan, kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae).

Baca juga: Hari Kusta Sedunia 2021: Temukan, Periksa, dan Obati hingga Tuntas

Kusta menular melalui saluran pernapasan. Gejala awal kusta ditandai dengan timbulnya bercak merah ataupun putih pada kulit.

Jika tidak diobati, penyakit kusta berpotensi menimbulkan kecatatan yang seringkali menyebabkan diskriminasi baik kepada penderita maupun keluarga.

"Kalau mereka tidak segera ditemukan dan diobati, itu akan mendapatkan stigma dan diskriminasi seumur hidup," kata Zunarsih.

"Kalau kondisi tangannya sudah putus-putus, sudah kiting, bagaimana dia bisa sekolah dengan baik? saat dewasa bagaimana mereka bisa bekerja dengan baik?" imbuhnya.

Sejarah penyakit kusta

Berdasarkan catatan WHO, kusta adalah penyakit yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Hal tersebut diketahui dari literatur peninggalan peradaban kuno.

WHO menyatakan, sepanjang sejarah, orang yang menderita kusta seringkali dikucilkan oleh masyarakat dan keluarganya.

Dalam sejarah modern, bakteri penyebab penyakit ini, Mycobacterium leprae (M. leprae), ditemukan oleh G. A. Hansen pada 1873, sehingga kusta disebut juga sebagai penyakit Hansen.

Terobosan pertama di bidang pengobatan kusta terjadi pada tahun 1940-an dengan perkembangan obat dapson, yang dapat mengobati penyakit itu.

Akan tetapi, durasi pengobatan bisa berlangsung bertahun-tahun, dan seringkali seumur hidup, sehingga membuat pasien sulit untuk tetap mematuhi pengobatan.

Baca juga: INFOGRAFIK: 4 Mitos Kusta yang Jangan Lagi Dipercaya

Pada 1960-an, bakteri M. leprae mulai mengembangkan resistensi terhadap dapson, satu-satunya obat anti kusta yang dikenal pada saat itu.

Akan tetapi, tidak berselang lama, obat rifampisin dan klofazimin ditemukan, dan kemudian ditambahkan ke rejimen pengobatan kusta, yang kemudian diberi label sebagai terapi multidrug (MDT).

Pada 1981, WHO merekomendasikan MDT untuk mengobati pasien kusta. Rejimen MDT yang saat ini direkomendasikan terdiri dari dapson, rifampisin, dan klofazimin.

Perawatan ini berlangsung selama enam bulan untuk pauci-bacillary dan 12 bulan untuk kasus multi-bacillary. MDT terbukti bisa membunuh patogen dan menyembuhkan pasien.

Gejala kusta

WHO menyebutkan, gejala kusta dapat muncul dalam waktu satu tahun, tetapi juga dapat memakan waktu hingga 20 tahun atau bahkan lebih sebelum timbul gejala.

Masa inkubasi yang lama itu disebabkan oleh sifat bakteri M. leprae, yang tergolong sebagai bakteri dengan pertumbuhan lambat.

Tanda-tanda klinis kemunculan kusta cukup mudah diamati, seperti kemunculan bercak-bercak pada kulit yang biasanya memiliki pigmentasi yang berbeda dari kulit normal di sekitarnya (kurang berpigmen, kemerahan atau berwarna tembaga).

Bercak tersebut juga kemungkinan memiliki tekstur yang berbeda (datar, menonjol atau nodul). Selain itu, bercak kulit bisa tunggal atau jamak, dan kemungkinan diikuti oleh hilangnya sensasi pada kulit. 

Cara penularan

Melansir WebMD, penularan kusta dapat terjadi ketika penderita kusta batuk atau bersin, dan menyebarkan droplet yang mengandung bakteri M. leprae, yang dapat terhirtup oleh orang lain.

Meski demikian, penularan kusta hanya terjadi pada orang yang berkontak fisik sangat dekat dengan penderita kusta.

Penyakit ini tidak menyebar melalui kontak biasa dengan orang yang terinfeksi, seperti berjabat tangan, berpelukan, atau duduk di samping mereka di bus atau di meja saat makan.

Ibu hamil penderita kusta juga tidak dapat menularkan penyakit ini kepada bayinya yang belum lahir. Kusta juga tidak ditularkan melalui kontak seksual.

Baca juga: Pertama Kali, Ilmuwan Ungkap Kasus Kusta pada Simpanse Liar

Kusta bisa disembuhkan

Penyakit kusta bisa disembuhkan. Dalam dua dekade terakhir, 16 juta penderita kusta telah berhasil sembuh dari penyakit ini.

Selain itu, WHO juga telah memberikan pengobatan gratis untuk semua penderita kusta.

Pengobatan untuk pasien kusta tergantung pada jenis kusta yang diderita.

Obat antibiotik digunakan untuk mengobati infeksi. Dokter akan merekomendasikan pengobatan tersebut untuk jangka panjang, biasanya selama 6 bulan sampai satu tahun.

Jika pasien menderita kusta parah, mereka mungkin perlu minum antibiotik lebih lama. Namun, antibiotik tidak dapat mengobati kerusakan saraf yang telah terjadi akibat kusta.

Selain itu, terapi multidrug (MDT) adalah pengobatan umum untuk kusta yang menggabungkan beberapa antibiotik. Itu berarti pasien akan minum dua atau lebih obat.

  • Kusta paucibacillary: pasien akan minum dua antibiotik, seperti dapson setiap hari dan rifampisin sebulan sekali.
  • Kusta multibasiler: pasien akan meminum antibiotik clofazimine dosis harian selain dapson harian dan rifampisin bulanan. pasien akan menjalani terapi multidrug selama 1-2 tahun, dan kemudian pasien akan sembuh.

Pasien juga dapat mengonsumsi obat anti inflamasi untuk mengontrol nyeri saraf dan kerusakan yang terkait dengan kusta. Obat ini bisa termasuk steroid, seperti prednison.

Baca juga: Jumlah Penderita Kusta di Kompleks Penderita Kusta Jongaya Menurun Tiap Tahun

KOMPAS.com/Dhawam Pambudi Infografik: 4 Mitos Kusta yang Jangan Lagi Dipercaya

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Sumber: WebMD, WHO
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi