Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pemimpin Redaksi Kompas.com
Bergabung sejak: 21 Mar 2016

Wartawan Kompas. Pernah bertugas di Surabaya, Yogyakarta dan Istana Kepresidenan Jakarta dengan kegembiraan tetap sama: bersepeda. Menulis sejumlah buku tidak penting.

Tidak semua upaya baik lekas mewujud. Panjang umur upaya-upaya baik ~ @beginu

Meretas WhatsApp dan Partai Demokrat

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (tengah) disambut kader usai membuka Kongres V Partai Demokrat di Jakarta, Minggu (15/3/2020). Kongres tersebut bertemakan Harapan Rakyat, Perjuangan Demokrat.
Editor: Heru Margianto

Hi, apa kabarmu? 

Bulan pertama tahun 2021 kita akhiri tanpa banyak keriuhan. Februari sebagai bulan baru masuk diam-diam dan seperti sungkan. Setidaknya itu yang saya rasakan.

Nyaris setahun dalam situasi pandemi yang semula terasa seperti tidak normal kini pelan-pelan menjadi normal.

Salah satu ketidaknormalan yang menjadi normal adalah perubahan. Termasuk perubahan hari, minggu dan juga bulan. 

Kategori jam kerja atau jam istirahat, hari kerja atau hari libur misalnya menjadi baur, campur.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di rumah tapi kerja. Kerja tapi di rumah. Dua hal yang tampak kontradiktif merepresentasikan campur baur ini. 

Lantaran pandemi tidak juga berakhir dan tampaknya masih butuh satu tahun untuk membentuk kekebalan kelompok lewat vansinasi, situasi tidak normal akan menjadi normal baru karena dipraktikkan terus menerus.

Normal baru itu adalah terus menerus hadirnya perubahan yang kita terima begitu saja tanpa berusaha dan perlu kita lawan. Kontradiksi dalam banyak hal menjadi bagian baru tatanan.

Dalam perubahan yang demikian cepat, kerap dan besar sampai sering tidak terasakan, semoga kabarmu baik.

Meskipun tanpa keriuhan, bulan Januari 2021 ditutup dengan kehebohan yang dimunculkan WhatsApp lewat status yang hadir di semua aplikasi penggunanya.

Buat kamu pengguna WhatsApp dan belum menyadari ini, bisa cek deretan tiga menu yaitu chats, status dan calls.

Kalau status kita klik, tidak hanya status teman-teman dalam kontak yang akan hadir, tetapi status WhatsApp juga. 

WhatsApp tiba-tiba jadi teman kita dan mencuri perhatian lantaran meletakkan pembaruan statusnya di kolom paling atas aplikasi itu.

Semula saya tidak perhatikan status itu. Menengok status WhatsApp teman-teman bukan bagian dari kebiasaan saya mendapatkan kabar teman atau informasi.

Namun, karena status WhatsApp selalu ada di paling atas dan kehebohan soal keamanan sedang dipercakapkan, saya buka juga status itu.

Setelah membaca tiga rangkaian status WhatsApp, saya baru paham, raksasa yang berada dalam satu grup dengan Facebook dan Instagram ini minta pengertian.

Seperti pacar yang datang menjelaskan sebelum kalimat putus atau lanjut diambil. Tolong dengerin saya dulu. Kira-kira begitu saya menganalogikan kelakuan WhatsApp belakangan.

Melihat banyaknya manfaat, keseruan dan kebiasaan yang terbentuk selama bertahun-tahun, memutus hubungan dan memulai hal baru dengan meninggalkan WhatsApp dengan alasan keamanan data tampaknya tidak menjadi pilihan kebanyakan.

Di rentang waktu yang ada sebelum pacar menyatakan lanjut atau putus, WhatsApp tengah berjuang dan menghadapi situasi yang bertahun-tahun dihadirkannya: kekeruhan dan kegaduhan informasi tanpa kejelasan kebenaran.

Saya berharap perjuangan WhatsApp menjernihkan informasi berhasil. Jika berhasil, manfaat baik bisa kita petik dan terapkan.

Misalnya, ketika ada kekeruhan informasi lantaran membanjirnya kabar tidak benar, WhatsApp kita minta hadir dengan statusnya sebagai penjernih.

Dia yang memungkinkan kekacauan dan kekeruhan informasi bertanggung jawab untuk menertibkan dan menjernihkan.

Jika tidak, permintaan agar "tolong dengerin dulu" WhatsApp akan diabaikan. Keputusan untuk putus dan udahan akan diambil lantaran di luar sana banyak pilihan meskipun masih spekulatif juga soal keamanan.

Sambil menunggu bagaimana WhatsApp berbenah, ada baiknya kita amankan akun WhatsApp dari peretasan.

Beberapa teman kita yang tiba-tiba tanya kabar dan minta bantuan berupa uang adalah tanda awal untuk kita waspada akan peretasan. Semoga kamu tidak menjadi korban.

Selain soal status WhatsApp yang galau lantaran minta pengertian, Januari 2021 juga ditutup dengan kabar duka meninggalnya Nunuk Nuraini (59), Rabu (27/1/2021).

Meskipun kebanyakan dari kita baru mendengar namanya saat kabar duka tentangnya datang, sejatinya kita sangat dekat dengannya.

Nunuk Nuraini adalah peracik bumbu Indomie dengan beragam variannya. Nunuk bekerja sebagai peramu rasa divisi mi instan di PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk hampir 30 tahun.

Kepergian Nunuk jadi berita media asing lantaran sebaran Indomie ke mana-mana. Tidak hanya publik tanah air, tetapi juga publik Malaysia dan Inggris ikut kehilangan.

Oya, meskipun Januari berakhir tanpa pamit dan Februari hadir tanpa permisi, saya mencoba menandai peralihan bulan ini dengan mengunggah obrolan satu jam lebih dengan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil di kanal Youtube Kompas.com.

Video ngobrol soal hidup dan bagaimana menjalani hidup yang penuh keajaiban dengan Kang Emil adalah episode ke-12 program "Bukan Begini Bukan Begitu: Beginu". 

Banyak canda selain hal-hal segar inspiratif saya dapatkan dari pejabat pertama penerima vaksin Sinovac yang mendahului Presiden Joko Widodo ini untuk uji coba. 

Soal perubahan karena tuntutan pandemi, Kang Emil mengategorikan orang menjadi tiga: menolak karena menganggap semua konspirasi; menerima tetapi tidak beradaptasi (tidak menerapkan protokol kesehatan) dan menerima lantas beradaptasi.

Tiga ketegori ini nyata dan masing-masing ada pendukungnya. Kang Emil merasa perlu proses untuk semua menuju kategori ketiga.

Mudah? Tidak tentu saja. Setahun berjalan dan tiga kategori itu masih ada adalah buktinya.

Masuknya Februari ditandai juga dengan kehebohan di dunia politik yang dipersiapkan dengan baik dalam sisi waktu.

Partai Demokrat yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono dan saat ini dipimpin anak sulungnya Agus Harimurti Yudhoyono menggelar jumpa pers.

Partai Demokrat yang didirikan di hari ulang tahun ke-52 SBY, 9 September 2001, kata Agus tengah dalam ancaman dikudeta. Pelakunya, kata Agus lagi, adalah lingkar dekat Presiden Jokowi.

Meskipun tidak langsung disebut, perbantahan yang kemudian muncul menunjuk Kepala Kantor Staf Presdien Moeldoko. Mantan Panglima TNI yang dilantik SBY di Istana Negara ini membantah tudingan.

Di luar upaya pembuktian atas tuduhan serius yang disampaikan Agus, sebagian publik senyum-senyum mendengar jumpa pers ini.

Sejarah seperti berulang atau mungkin hendak diulang melihat hasil yang gilang gemilang.

Pengalaman "dizalimi" kekuasaan yang memunculkan simpati dan efek elektoral luar biasa dialami SBY saat menjadi Menko Polkam di era Presiden Megawati Soekarnoputri.

"Jenderal kekanak-kanakan" adalah kalimat yang menyatukan dan menguatkan perlawanan. Partai penguasa saat itu kedodoran dan bisa dikalahkan.

Pengalaman "disakiti" yang dikelola dan muncul terus-menerus di media itu menjadi energi yang mengantar SBY menjadi Presiden mengalahkan petahana.

Oleh SBY, Partai Demokrat diantar menuju masa keemasan meskipun surut dan lantas meredup bersamaan dengan hilangnya kekuasaan di tangan.

Meskipun mengalami kenaikan berdasarkan prediksi lembaga survei, 5,1 persen adalah angka yang tidak meyakinkan untuk Partai Demokrat yang akan genap berusia 20 tahun.

Angka itu jauh di bawah perolehan suara saat pertama ikut Pemilu tahun 2004 yaitu sekitar 7,4 persen.

Di masa keemasannya saat Pemilu 2009, Partai Demokrat yang menggunakan jingle iklan Indomie meraih 20,8 persen suara. Nyaris tiga kali lipat perolehan pemilu sebelumnya dan menjadi juara.

Meskipun tidak terlalu penting buat publik, kegaduhan dan ancaman kudeta menakutkan yang dinyatakan sebenarnya baik untuk kepentingan internal.

Untuk yang percaya dengan adanya ancaman, konsolidasi bisa dilakukan dengan pemilahan dan pemilihan kader yang ada dalam barisan agar steril dari upaya "peretasan".

Jika sebaliknya, siap-siap saja makin ambyar.

Kekasih hati akan minta putus dan tidak mungkin diajak balikan karena kebohongan dan drama yang ditampilkan.

Upaya gigih WhatsApp agar tidak ditinggalkan bisa jadi pembelajaran.

Salam gigih,

Wisnu Nugroho 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi