KOMPAS.com - Suara pukulan perkakas dapur dan klakson bergema melalui rumah-rumah warga, di kota Yangon, Myanmar pada Selasa (2/1/2021) malam.
Suara-suara tersebut merupakan bentuk protes terhadap kudeta militer, serta penangkapan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi.
"Merupakan tradisi Myanmar untuk mengusir kejahatan atau karma buruk dengan memukul ember timah atau logam," kata penduduk Yangon, San Tint, dilansir dari Reuters, Selasa (2/1/2021).
Baca juga: Gelombang Protes Anti-kudeta Mulai Bergema di Kota Terbesar Myanmar
Aksi protes
Aksi protes warga sipil itu dilakukan dari balkon apartemen dan rumah mereka masing-masing. Mereka memukul-mukul berbagai alat rumah tangga, membunyikan klakson, serta meneriakan protesnya.
Aksi tersebut disebarkan melalui media sosial. Salah satunya seperi yang direkam oleh akun Facebook Seng.
Mogok kerja
Wacana pembangkangan warga sipil tersebut juga digaungkan melalui media sosial. Para aktivis mendesak agar warga Myanmar melakukan protes terkait kudeta militer tersebut.
Aksi protes juga datang dari kalangan dokter. Sejumlah dokter di lebih dari 20 rumah sakit mengatakan mereka akan bergabung dalam kampanye pembangkangan sipil tersebut.
“Kami tidak dapat menerima diktator dan pemerintah yang tidak dipilih,” kata Myo Thet Oo, seorang dokter yang ikut berpartisipasi.
Baca juga: Pembangkangan Sipil Makin Menguat di Myanmar, Dokter dan Staf Medis Ambil Bagian
Myi Thet Oo juga menyatakan bahwa dirinya akan mogok kerja dan tidak akan pergi ke rumah sakit tempatnya bekerja pada hari Rabu (3/2/2021) sebagai bentuk protesnya.
Federasi Serikat Mahasiswa Seluruh Burma (ABFSU) juga mendesak pegawai pemerintah untuk berhenti bekerja untuk kabinet baru.
Kondisi di Yangon
Dilansir dari The Guardian, pada Selasa (2/1/2021), kondisi jalanan di kota terbesar Myanmar, Yangon tampak seperti biasa. Tidak ada tingkat keamanan yang lebih ketat.
Akan tetapi, warga marah melihat penangkapan dan penggerebekan yang dilakukan militer terhadap pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi bersama sejumlah tokoh senior Partai National League for Democracy (NLD).
“Militer telah memerintah kami selama lima dekade. Butuh begitu banyak upaya bagi kami untuk mendapatkan demokrasi dan itu hilang begitu saja, dalam semalam. Kami tidak lagi mengharapkan sesuatu yang baik dari negara ini,” kata Khin, seorang warga Myanmar yang berprofesi sebagai guru kepada The Guardian, Selasa (2/2/2021).
Baca juga: Para Petugas Medis Myanmar Mogok Kerja sebagai Protes Kudeta Militer
Hal serupa juga disampaikan oleh Myae (69), seorang pedagang ekspor yang melarikan diri ke Thailand akibat pemberontakan dan pro demokrasi pada 1988.
“Saya benar-benar memandang rendah orang-orang ini (militer). Mereka tidak sah dan buta huruf. Mereka tidak memiliki kemampuan, atau hak, untuk memerintah kita. Mereka tidak menghormati rakyat,” kata Myae.
Trauma masa lalu
Pembangkangan sipil di Myanmar juga dipicu oleh trauma masa lalu mengenai pengusiran kelompok Rohingya.
PBB menuding militer Myanmar telah melakukan upaya genosida. Pada Agustus 2017, militan Rohingya melancarkan serangan di seluruh Rakhine dan memicu operasi militer, sehingga mendorong lebih dari 730.000 warga Rohingya pindah ke Bangladesh.
PBB menyatakan, operasi militer tersebut merupakan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran yang dilakukan dengan niat genosida.
Baca juga: Respons PBB soal Penahanan Suu Kyi, Kecam Militer Myanmar
Pihak Myanmar membantah pernyataan PBB tersebut. Meski citra pemerintahan Aung San Suu Kyi telah rusak akibat kasus tersebut, tetapi ia masih populer di kalangan warga sebagai putri pahlawan kemerdekaan Myanmar.
Terkait dengan kudeta militer di Myanmar, beberapa orang di Yangon meminta komunitas internasional untuk menekan militer Myanmar.
Sebelumnya dewan keamanan PBB mendapat kritik karena kegagalannya dalam menanggapi kasus Rohingya. Sampai saat ini, kelompok Rohingya tetap terdampar di kamp pengungsi yang jorok dan sempit di perbatasan.