Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jokowi Minta Masyarakat Aktif Beri Kritik, Warganet: Lalu Kena UU ITE

Baca di App
Lihat Foto
DOK.Universitas Indonesia
Presiden Jokowi saat memberikan sambutan dies natalis UI ke-71
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam menyampaikan kritik dan masukan terhadap kerja-kerja pemerintah.

Sementara di saat bersamaan, pihaknya juga meminta penyelenggara layanan publik terus meningkatkan kinerja.

Jokowi menyadari bahwa masih banyak kinerja pemerintah yang perlu diperbaiki, termasuk dalam penanganan pandemi Covid-19.

"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi. Dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," kata Jokowi dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Senin (8/2/2021).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Jokowi Minta Masyarakat Lebih Aktif Sampaikan Kritik dan Masukan

Respons warganet

Tak lama setelah pidato Presiden Jokowi tersebut ramai diberitakan, hal itu langsung mendapat respons dari banyak warganet.

Mereka menyoroti adanya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kerap menjadi bumerang bagi orang yang menyampaikan kritik. 

Lantas, apa hubungannya antara kritik pemerintah dengan UU ITE?

Beda kritik dan pencemaran nama baik

Terkait perbedaan antara kritik dan pencemaran nama baik, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fajar Junaedi menyatakan bahwa keduanya berbeda.

"Kritik ditujukan pada aspek substansi persoalan yang terjadi, sedangkan pencemaran nama baik terjadi ketika tendensi kritik adalah aspek individu atau lembaga secara personal," katanya saat dihubungi Kompas.com, Selasa (9/2/2021).

Baca juga: Jokowi Minta Warga Aktif Kritik, Anggota DPR: Tak Satu Kata dengan Perbuatan

Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto, bahwa kritik yang disampaikan terkait dengan kinerja perusahaan, kinerja institusi, kinerja pejabat publik itu tidak bisa dikategorikan sebagai pencemaran nama baik.

Ia mencontohkan mengenai seseorang yang kesal dan marah lantaran jalanan umum rusak, padahal ia sudah membayar pajak.

Ujaran atau penyampaian kekecewaan semacam itu tidak serta-merta disebut sebagai pencemaran nama.

"Ada yang memberi kritik, ada yang sekadar menyampaikan unek-unek. Mungkin itu treatment kekesalan, dan kekesalan itu manusiawi atas respon emosional," kata Damar. 

Dia menambahkan, seharusnya kritik atau ujaran sejenis itu dapat menjadi evaluasi atas kinerja pejabat publik, bukannya dijerat dengan pencemaran nama baik atau ujaran kebencian.

Pihaknya mengapresiasi upaya Jokowi untuk mengingatkan masyarakat mengenai kritik dan hak menyampaikan pendapat adalah hal yang dilindungi konstitusi.

Baca juga: Hari Pers Nasional, Setkab: Kita Butuh Kritik Terbuka, Pedas, dan Keras dari Pers

Pasal karet UU ITE

Namun di sisi lain Damar juga memandang bahwa pasal-pasal dalam UU ITE bermasalah sehingga dikatakan sebagai pasal karet. Ia menyebutkan sedikitnya ada 9 pasal bermasalah.

"Disebut pasal karet karena melihat rumusan UU ITE yang tidak ketat, sehingga menyebabkan multitafsir," ujar Damar.

Adapun yang paling berpotensi jadi pasal karet, yaitu pasal 27 ayat 1 tentang asusila, pasal 27 ayat 3 tentan pencemaran, dan pasal 28 ayat 2 tantang ujaran kebencian.

Media sosial memungkinkan penggunanya menyampaikan pesan yang bisa menjangkau audiens luas. Namun pesan tersebut dapat menjerat seseorang karena ada UU ITE.

Sejalan dengan Damar, Fajar juga menyebut bahwa UU ITE aturan yang rawan disalahgunakan untuk melawan kritikan. 

"Undang-undang ITE selama ini memiliki pasal karet, sejenis ujaran kebencian yang di masa Orde Baru yang dikenal dengan sebutan pasal tentang haatzaai artikelen," tutur Fajar.

Baca juga: Jokowi: Pers jadi Ruang Diskusi dan Kritik agar Penanganan Pandemi Lebih Baik

Fajar menerangkan bahwa dalam situasi UU saat ini, sebaiknya masyarakat fokus pada substansi persoalan dan menghindari serangan personal serempak, juga tidak bernuansa SARA.

Di samping juga memberikan edukasi dan memeprbanyak literasi media agar pengguna internet tidak menjadi korban pasal karet UU ITE. 

"Perlunya literasi media bagi masyarakat dalam penggunaan media digital, agar tidak terpeleset dengan pasal karet UU ITE," tambah Fajar.

Masyarakat takut

Lebih lanjut, Damar juga menyoroti latar yang mendorong pernyataan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi. Pihaknya menduga, pernyataan Jokowi yang minta lebih banyak dikritik didorong oleh fakta atau riset terbaru tentang indeks demokrasi yang turun drastis atau drop.

"Atau juga merosotnya indeks kepercayaan terhadap pemerintah," katanya.

Baca juga: SAFEnet: Masyarakat Memilih Tak Sampaikan Kritik karena Ancaman dari Regulasi

Ia menjelaskan bahwa sebenarnya masyarakat tidak segan menyampaikan kritik kepada pemerintah, tetapi menuruntya masyarakat sudah lebih dulu hidup dalam ketakutan.

"Ketakutan dalam menyampaikan itu bukan main-main. Kita ada dalam fase masyarakat jeri, atau mengalami keengganan karena hidupnya pasal-pasal atau regulasi yang membatasi kebebasan berekspresi," jelas Damar.

SAFEnet memetakan 17 regulasi yang dapat membatasi kebebasan berekspresi.

Dampak UU ITE

Adapun UU ITE memiliki tingkat penghukumannya tinggi, yaitu sebanyak 744 perkara (96,8 persen) yang dicatat dari 2016-2020. Sedangkan, tingkat pemenjaraannya sebanyak 676 perkara (88 persen).

Angka tersebut mencatat korban UU ITE terbanyak dari kelompok kritis seperti jurnalis, aktivis, dan pembela HAM.

Sementara para pelapornya lebih banyak dari kalangan pejabat publik. Damar menyatakan bahwa hal ini bertolak belakang, antara pernyataan dan kenyataan.

Baca juga: Pengunggah Video Kasat Narkoba Polres Pematangsiantar Lagi Tinggi Dijerat UU ITE

Karena itu dia menilai, pernyataan Jokowi yang meminta masyarakat lebih aktif memberikan kritik, tapi tidak ada jaminan bahwa tidak akan dilaporkan karena kritiknya tersebut. 

"Makanya orang menganggap bahwa pernyataan itu jadi pernyataan dilematis. Diminta untuk mengkritik tetapi, siapa yang akan menjamin yang mengkritik itu tidak akan dihukum dan dipenjara? Tidak ada," katanya.

Pernyataan Jokowi, menurut Damar seharusnya dibarengi dengan perbaikan hukum dan penerapan yang baik untuk iklim demokrasi.

Sebab tanpa perbaikan kualitas hukum di Indonesia, dorongan untuk menyampaikan kritik secara terbuka hanya sekedar lip service.

Baca juga: SAFEnet: Pasal Karet UU ITE Mengintai 99 Persen Pengguna Internet

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi