Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komunitas Pramekers, Tetap Eksis meski Prameks Telah Berganti KRL

Baca di App
Lihat Foto
Pramekers/Yusticia Ida
Potret penumpang KA PRameks yang tengah membaca koran di tengah perjalanan kereta
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Kereta Api Prambanan Ekspres (Prameks) secara resmi telah berhenti beroperasi pada Selasa (9/2/2021). Selama bertahun-tahun menjadi penumpang Prameks, para penglaju Jogja-Solo dan sebaliknya memiliki sebuah komunitas.  

Komunitas Pramekers. Itu namanya.

Keberadaan komunitas ini sangat eksis seiring perjalanan Prameks menjadi moda transportasi yang menghubungkan Kutoarjo, Yogyakarta, Solo.

Bagaimana kisah terbentuknya Pramekers dan apakah akan tetap ada meski kini Prameks telah digantikan KRL?

Awal keberadaan Pramekers

Sekretaris Komunitas Pramekers Yusticia Eka Noor Ida menyebutkan, pembentukan komunitas ini berawal pada 2002.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Saya ingat dulu 2002 bikin blog pakai domain gratisan, kan belum ada Facebook. Waktu itu ya iseng-iseng saja, motret teman yang baru ngapain di kereta, terus teman-teman yang lain pada komentar, ya gayeng-gayengan gitu, terbangun ikatan," kata Ida, yang juga anggota Ombudsman DIY, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (10/2/2021).

Setelah ada media sosial Facebook, dibuat sebuah akun untuk mewadahi Pramekers. Kala itu belum ada fitur grup.

Baca juga: Menua Bersama di Kereta, Prameks Jogja-Solo dalam Kenangan...

Setelah ada grup, dibuat akun grup dengan nama Komunitas Pramekers.

"Waktu itu bukan saya yang bikin, tapi saya dijadikan admin di situ. Perjuangan kami banyak melalui grup itu," jelas Ida.

Kebetulan, Ida sebagai salah satu orang yang menggerakkan Pramekers, memiliki akses kepada beberapa pihak yang terkait dengan transportasi dan perkeretaapian.

Selain membangun ikatan antar-anggota, grup itu juga menjadi sarana menampung permasalahan, keluhan, dan saran terkait Prameks sehingga bisa disampaikan pada para pemangku kepentingan.

Akan tetapi, grup Facebook itu kini tak terlalu aktif karena komunikasi beralih ke grup percakapan Whatsapp. 

"WA Group ini juga ada banyak sekali, ada yang khusus ibu-ibu, ada yang untuk saya dan stake holder kereta. Ini saya filter keanggotaannya supaya tidak gaduh. Nanti ada teman-teman yang khusus Kutoarjo, Solo-Jogja, Jogja-Solo, macam-macam," kata Ida.

Jadi, di dalam komunitas itu, terdapat pengguna Prameks yang berasal dari berbagai kota, tidak hanya Solo dan Jogja, tetapi juga Klaten dan Kutoarjo.

Jumlah anggota

Ida tidak menyebutkan jumlah persis dari anggota komunitas ini, tetapi ia menyebut setidaknya ada sekitar 300 orang yang tergabung di sana.

"Anggota, kalau di grup WA yang ibu-ibu itu ada 200-an anggotanya, ini khusus yang Jogja-Solo. Kalau ditotal Kutoarjo sampai Solo itu lebih dari 300 mungkin personelnya," ujar dia.

Mereka pun masih banyak yang aktif, terutama anggota yang tergabung di grup percakapan bersama para pemangku kepentingan. Di grup ini, mereka aktif berdiskusi dan bertukar pikiran. 

"Mudah-mudahan dengan kebersamaan ini, semua kepentingan, semua kebutuhan penumpang itu terakomodir dan bisa menjadi bahan kajian, bahan evaluasi dari kereta sendiri," ujar Ida.

Komunitas yang solid

Ida menjelaskan, para anggota Komunitas Pramekers memiliki hubungan yang cukup dekat dan solid.

Mereka membuat jaket seragam, rutin mengadakan pertemuan tahunan, bahkan memiliki kelompok arisan.

"Arisan itu bahkan ada beberapa level, ada yang di tingkat Rp 100.000, ada juga di Rp 5 juta per bulan, tapi biasanya kita setting biar setahun selesai, biar tidak susah," sebut Ida.

Ketika ditanya bagaimana cara mengumpulkan uangnya, ketika masing-masing anggota ini berasal dari daerah yang berbeda-beda.

Ida menyebut sudah ada kepercayaan yang terbangun di antara mereka, karena interaksi dan kedekatan emosional sebagai pengguna Prameks yang sudah terbentuk sejak lama.

"Biasanya pas hari-H penarikan enggak bareng, biasanya pada transfer," kata dia.

Untuk pertemuan tahunan, Ida menjelaskan, biasanya dilakukan saat ada momentum tertentu, misalnya Lebaran.

Di sana, para anggota bisa berkumpul sekaligus berdiskusi dan menyampaikan apa yang ingin disampaikan di dalam forum.

"Setiap tahun kami selalu ada event untuk mengundang siapa pun dari KAI, nanti kita berbagi keluhan, masukan, dan sebagainya sehingga hampir sepanjang saya naik kereta tidak pernah ada masalah. Segala sesuatu bisa dikomunikasikan melalui forum-forum yang sifatnya offline maupun online," papar Ida.

Keberadaan KRL dan culture shock

Ida mengaku bersyukur dengan keberadaan KRL yang menggantikan KA Prameks. Akan tetapi, kata dia, masih adanya kemungkinan-kemungkinan terjadi culture shock di kalangan para penggunanya.

Selama ini, Prameks dikenal sebagai kereta lokal di mana para penumpang bisa makan, bahkan saling berbagi makanan, mengobrol, duduk di lantai jika kursi penuh dan sebagainya.

Sementara, KRL hadir pasti dengan aturan baru yang berbeda.

"Nah, ini nanti KRL kan, semua harus siap bertransformasi karena ada ketentuan-ketentuan yang sudah sangat rigid ditentukan oleh KCI. Saya sampaikan pada teman-teman, kita sebagai warga negara yang baik supaya patuh aturan," kata Ida.

"Saya juga sampaikan kepada KCI, 'Mohon maaf nanti kalau teman-teman masih agak culture shock dengan situasi yang baru, sehingga mohon nanti bisa dimaklumi'," lanjut dia.

Ia mengaku sudah menyampaikan hal ini kepada pihak KCI.

Gegar budaya atau culture shock mungkin tidak bisa dihindarkan mengingat KRL ini merupakan barang baru bagi masyarakat di kawasan Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya.

Ida memperkirakan, setidaknya adaptasi ini akan terjadi hingga setahun ke depan atau lebih, mengingat saat ini kondisi adalah pandemi di mana kegiatan masyarakat diatur dan dibatasi.

Oleh karena itu, ia berharap agar tidak hanya masyarakat yang berusaha menyesuaikan diri, tetapi juga ada upaya sosialisasi lebih lanjut yang bisa diberikan oleh pihak KCI.

"Operator itu juga perlu banyak melakukan penyampaian-penyampaian informasi yang kadang-kadang tidak mudah, berbeda kultur, berbeda kelompok masyarakat, kan perlu perbedaan perlakuan juga," ujar Ida.

Bagaimana nasib Komunitas Pramekers?

Setelah KA Prameks yang menyatukan komunitas ini resmi ditarik dan tidak lagi beroperasi, akankah komunitas ini terus dilanjutkan? 

Ida mengatakan, hingga saat ini belum ada perubahan.

"Sempat guyonan juga sama ibu-ibu di grup, 'Masak namanya masih Pramekers padahal keretanya sudah ganti KRL?' Memang belum sepakat, tetapi mungkin sementara masih (Pramekers)," ujar dia.

Hal itu karena KRL yang beroperasi di Jogja-Solo juga belum memiliki nama.

Ida berharap nama KRL akan masih memiliki keterkaitan dengan Prameks yang sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat di sekitar kota itu.

"Sependek pengetahuan saya kemarin mau diganti Joglo (Jogja-Solo), tapi kan nanti jangka panjangnya jadi kurang visioner, kalau dia nanti akan diperpanjang jalurnya sampai Kutoarjo kan jadi beda," sebut Ida.

Terlepas dari nama apakah yang akan disematkan pada KRL Jogja-Solo, Ida menyebutkan, Pramekers akan tetap ada dan terus melakukan kegiatan seperti sebelumnya.

"Jadi belum fix, tapi yang jelas kami sebagai penumpang yang tergabung dalam komunitas tentu saja akan memanfaatkan forum-forum ini untuk terus berkomunikasi dengan KAI, KCI, Kementerian Perhubungan, atau teman-teman pengamat transportasi," kata dia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi