Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden Jokowi Umumkan Direksi Lembaga Pengelola Investasi, Apa Itu?

Baca di App
Lihat Foto
DOK.Universitas Indonesia
Presiden Jokowi saat memberikan sambutan dies natalis UI ke-71
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengumumkan jajaran direksi Lembaga Pengelola Investasi (LPI), Selasa (16/2/2021).

Terdapat lima orang jajaran direksi yang diperkenalkan oleh Presiden Jokowi, berikut di antaranya:

Sebelumnya, Jokowi juga sudah melantik jajaran dewan pengawas, baik dari kalangan pemerintah yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta Menteri BUMN Erick Thohir.

Sementara dari kalangan profesional terdapat tiga orang, yakni Yozua Makes, Darwin C Noerhadi dan Haryanto Sahari.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Di Balik Permintaan Jokowi agar Masyarakat Lebih Aktif Kritik Pemerintah

Lantas, apa itu LPI?

Kewenangan, fungsi, dan tujuan

Pembentukan lembaga ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 tahun 2020 yang merupakan aturan turunan dari Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

PP tersebut diteken Jokowi pada 14 Desember 2020 dan diundangkan sehari setelahnya oleh Menteri Hukim dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly.

"LPI adalah lembaga yang diberi kewenangan khusus (sui generis) dalam rangka pengelolaan investasi pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," seperti dikutip dari Pasal 1 angka 2 PP 74/2020.

Menurut Pasal 5 PP tersebut, LPI bertujuan untuk meningkatkan dan mengoptimalkan nilai investasi yang dikelola secara jangka panjang dalam rangka mendukung pembangunan secara berkelanjutan.

Baca juga: Mengenal Apa Itu Resesi Ekonomi dan Bedanya dengan Depresi Ekonomi

Fungsi LPI

LPI berfungsi mengelola investasi. Kemudian, bertugas merencanakan, menyelenggarakan, mengawasi dan mengendalikan serta mengevaluasi investasi.

Hal tersebut sesuai yang tertulis dalam Pasal 6 Ayat (1) dan (2).

Sementara, wewenang LPI yang diatur di Pasal 7, yakni:

  1. Melakukan penempatan dana dalam instrumen keuangan
  2. Menjalankan kegiatan pengelolaan aset
  3. Melakukan kerja sama dengan pihak lain termasuk entitas dana perwalian (trust fund)
  4. Menentukan calon mitra investasi
  5. Memberikan dan menerima pinjaman, dan/atau Menatausahakan aset

Baca juga: Kasus TikTok Cash dan VTube, Kenali Modus Aplikasi Berkedok Investasi

Modal LPI

Pada Pasal 3 Ayat (1) PP 74/2020 dikatakan bahwa modal LPI bersumber dari penyertaan modal negara dan/atau sumber lainnya.

Besaran modal LPI ditentukan sebesar Rp 75 triliun. Namun, dana minimal yang digunakan sebagai penyetoran modal awal senilai Rp 15 triliun.

Sementara, pemenuhan modal pasca setoran awal dilakukan secara bertahap sampai tahun 2021.

Baca juga: Jokowi Minta Vaksinasi Covid-19 Selesai Kurang dari Setahun, Mungkinkah?

Adapun LPI terdiri dari Dewan Pengawas dan Dewan Direktur.

Dewan Pengawas dijabat oleh Menteri Keuangan sebagai ketua merangkap anggota, Menteri BUMN sebagai anggota, dan 3 orang unsur profesional sebagai anggota.

Sementara, Dewan Direktur berjumlah 5 orang yang seluruhnya berasal dari unsur profesional. Anggota Dewan Direktur diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Pengawas.

Baca juga: VTube Diblokir Kominfo, Ini Imbauan Satgas Waspada Investasi

Urgensi pembentukan LPI

Dilansir dari Kompas.com, 28 Januari 2021, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan LPI diperlukan untuk menciptakan beragam instrumen pembiayaan yang inovatif.

Selain itu, LPI diharapkan bisa menjadi institusi yang bisa meningkatkan kemampuan pembiayaan pembangunan.

Pasalnya, untuk bisa mencapai tujuan Indonesia menjadi negara maju, dibutuhkan total investasi yang diperkirakan mencapai Rp 6.645 triliun.

"Kita butuh dana untuk terus meningkatkan kemampuan Indonesia dalam meningkatkan kesejahteraan. Kalau dikaitkan dengan visi Indonesia jadi kekuatan dunia nomor lima, maka total investasi untuk infrastruktur, estimasi RPJMN bisa mencapai Rp 6.645 triliun," ujar Sri Mulyani.

"Dan itu dibutuhkan melalui APBN, BUMN, maupun berbagai instrumen dan kerja sama lain," sambungnya.

Baca juga: Profil Bambang Trihatmodjo, Putra Soeharto yang Menggugat Sri Mulyani

Di sisi lain, dalam hal pembiayaan infrastruktur umumnya padat modal. Dengan demikian, ongkos pembiayaan (cost of fund) pun cukup tinggi dengan tenor yang panjang.

Menurut Sri Mulyani, bila hanya mengandalkan instrumen utang, maka beban yang harus ditanggung pun cukup tinggi.

"Kapasitas pembiayaan APBN dan BUMN saat ini, terlihat dalam neraca, terutama BUMN, adalah sudah tinggi, exposure dari leverage-nya. Maka butuh melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan pendaaan domestik dalam rangka meneruskan upaya pembangunan," imbuhnya.

Baca juga: Mengenal Netflix, Perusahaan yang Pajaknya Dikejar Sri Mulyani

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi