Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menilik UU ITE di Indonesia, Pernah Direvisi pada 2016 hingga soal Pasal Karet

Baca di App
Lihat Foto
DOK.Universitas Indonesia
Presiden Jokowi saat memberikan sambutan dies natalis UI ke-71
Penulis: Mela Arnani
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merivisi UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jika implementasinya tidak adil.

"Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi Undang-Undang ini, Undang-Undang ITE ini," ujar Jokowi di Jakarta, Senin (15/2/2021).

Bahkan, pasal-pasal karet yang ada di UU ITE diminta dihapuskan, karena pasal-pasal tersebut dinilai menjadi hulu dari persoalan hukum UU tersebut.

Baca juga: Polri: Penyebar Hoaks Corona Bisa Kena UU ITE, Terancam 6 Tahun Penjara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda, yang mudah diintepretasikan secara sepihak," kata Jokowi.

Tak hanya itu, Jokowi meminta Kapolri memerintahkan jajarannya untuk selektif dalam menyikapi dan menerima laporan dugaan pelanggaran UU ITE.

Polri diminta membuat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal dalam UU ITE, dan diinstruksikan agar Kapolri meningkatkan pengawasan pelaksanaan UU tersebut secara lebih konsisten, akuntabel, dan berkeadilan.

Baca juga: Aksi KSPI, Demo Buruh, dan Penolakan UU Cipta Kerja...

Lantas, bagaimana perjalanan UU ITE di Indonesia?

Diberitakan Kompas.com, 18 Februari 2016, Manajer Program Yayasan Satu Dunia Anwari Natari menganggap pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE sering digunakan untuk membungkam kritik, shock therapy, balas dendam, dan barter kasus hukum.

Pasal 27 ayat 3 memuat ancaman pidana penjara selama 6 tahun jika seseorang terbukti melakukan pencemaran nama baik.

Dengan adanya ketentuan pidana penjara di atas 5 tahun, tertuduh pencemar nama baik bisa ditahan selama 20 hari dalam proses penyidikan.

Baca juga: Di Balik Permintaan Jokowi agar Masyarakat Lebih Aktif Kritik Pemerintah

Masa penahanan bisa diperpanjang lagi selama 20 hari, jika penyidik membutuhkan waktu lebih untuk melakukan penyelidikan.

Dalam beberapa kasus, pasal ini juga digunakan untuk membungkam kritik terhadap publik.

Bedasarkan data yang dimiliki Yayasan Satu Dunia, pasal pencemaran nama baik sering kali menjerat aktivis, pimpinan organisasi, jurnalis, dan pengkritik pejabat publik.

Baca juga: Mereka yang Dilaporkan atas Dugaan Langgar UU ITE karena Cuitan soal Wiranto...

Data YLBHI

Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) meminta pemerintah memprioritaskan revisi UU ITE.

"Memprioritaskan revisi terhadap UU yang menghambat serta melanggar kebebasan berpendapat dan berekspektasi, antara lain UU ITE," ujar Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur, Rabu (17/2/2021).

Hal ini dilatarbelakangi dengan banyaknya pelanggaran atas kebebasan berpendapat dan berekspresi sepanjang 2020.

Baca juga: Berkaca dari Kasus Djoko Tjandra, Mengapa Penegak Hukum Justru Melanggar Hukum?

Berdasarkan data YLBHI, pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspektasi tersebar di sejumlah wilayah, seperti Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Lampung

Selain itu, juga di Riau, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, Bali, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Papua.

Lebih rinci, terdapat pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara lisan sebanyak 26 persen, pelanggaran hak menyampaikan pendapat melalui unjuk rasa mencapai 25 persen, dan pelanggaran hak berekspresi atau berpendapat secara digital sebanyak 17 persen.

Baca juga: Polri: Penyebar Hoaks Corona Bisa Kena UU ITE, Terancam 6 Tahun Penjara

Tercatat pula pelanggaran hak mencari dan menyampaikan informasi sebanyak 16 persen dan pelanggaran terhadap data pribadi sebesar 16 persen.

Menurut Isnur, berbagai pelanggaran kebebasan berpendapat dan berekspresi ini berakar dari sejumlah kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi dan UU.

Seperti Surat Telegram Kapolri Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 tertanggal 4 April 2020 mengenai penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara, Surat Telegram Kapolri Nomor STR/645/X/PAM.3.2./2020 tertanggal 2 Oktober 2020 untuk menghadapi aksi penolakan Omnibus Law Cipta, Surat Keputusan Bersama (SKB) 11 kementerian dan lembaga terkait penanganan radikalisme dan penguatan wawasan kebangsaan pada Aparatur Sipil Negara (ASN).

Hal tersebut diperparah dengan adanya diskriminasi penegakan hukum dan buruknya hukum acara pidana Indonesia, sehingga tak sedikit lembaga yang memotret indeks demokrasi di Indonesia merosot tajam.

Baca juga: Kasus Parodi Indonesia Raya, Mengapa Pelecehan Simbol Negara Masih Kerap Terjadi?

Revisi UU ITE

Pada 27 Oktober 2016, revisi UU ITE selesai dibahas dan sudah disahkan menjadi UU oleh DPR.

Setelah disahkan, UU masuk tahap pemberkasan di DPR. Selanjutnya, Presiden menuangkannya dalam berita negara, dan Undang-Undang yang telah mengalami perubahan itu pun langsung berlaku.

Baca juga: UU Cipta Kerja Resmi Berlaku, Ini Sejumlah Pasal yang Disoroti Pekerja

Tedapat 7 muatan materi pokok RUU yang direvisi, yaitu:

1. Menambahkan sejumlah penjelasan untuk menghindari multi tafsir terhadap ketentuan penghinaan/pencemaran nama baik pada Pasal 27 Ayat 3.

2. Menurunkan ancaman pidana pencemaran nama baik, dari paling lama 6 tahun menjadi 4 tahun, dan denda dari Rp 1 miliar menjadi Rp 750 juta. Selain itu juga menurunkan ancaman pidana kekerasan pasal 29, sebelumnya paling lama 12 tahun, diubah menjadi 4 tahun dan denda Rp 2 miliar menjadi Rp 750 juta.

3. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi atas Pasal 31 ayat 4 yang amanatkan pengaturan cara intersepsi ke dalam UU, serta menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat 1 dan 2 mengenai informasi elektronik sebagai alat bukti hukum.

4. Sinkronisasi hukum acara penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan dengan hukum acara dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Baca juga: Simak, Berikut Pernyataan Bank Dunia soal UU Cipta Kerja

5. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) UU ITE untuk memutuskan akses terkait tindak pidana TIK.

6. Menambahkan Right to be Forgotten, yaitu kewajiban menghapus konten yang tidak relevan bagi penyelenggara sistem elektronik. Pelaksanaannya dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

7. Memperkuat peran pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten negatif di internet, dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan Pasal 40.

Kewenangan tersebut berupa kewajiban untuk mencegah penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki muatan terlarang, dan kewenangan memutus akses atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap informasi elektronik yang melanggar hukum.

Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 73, suatu RUU disahkan melalui tanda tangan Presiden paling lambat 30 hari setelah disetujui DPR dan Presiden.

Sehingga, pada 28 November 2016, atau 30 hari setelah DPR menyetujui hasil RUU tersebut, maka RUU berlaku sebagai UU.

Baca juga: Presiden Jokowi Umumkan Direksi Lembaga Pengelola Investasi, Apa Itu?

Pasal-pasal karet

Melansir Kompas.com, 16 Februari 2021, Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto menyampaikan, ada sembilan pasal bermasalah dalam UU ITE.

"Persoalan utama pasal 27-29 UU ITE. Ini harus dihapus karena rumusan karet dan ada duplikasi hukum," tulis Damar dalam sebuah twit.

Salah satunya masih terkait dengan pasal 27 ayat 3 tentang defamasi. Disebutkan, pasal ini bisa digunakan untuk mengekang kegiatan berekspresi warga, aktivis, dan jurnalis, serta warga dalam mengkritik pihak polisi dan pemerintah.

Baca juga: Di Balik Permintaan Jokowi agar Masyarakat Lebih Aktif Kritik Pemerintah

Pasal tersebut membahas penghinaan dan pencemaran nama baik melalui media massa.

Butir ini sering digunakan untuk menuntut pidana warganet yang mengkritik lewat dunia maya.

Bunyi pasal tersebut adalah:

"Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."

Berikut daftar pasal-pasal bermasalah karena rumusan pasalnya tidak ketat (karet) dan multitafsir.

1. Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi yang tidak relevan. pasal ini bermasalah soal sensor informasi.

2. Pasal 27 ayat 1 tentang asusila. Pasal ini bermasah karena dapat digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online.

3. Pasal 27 ayat 3 tentang dafamasi, dianggap bisa digunakan untuk represi warga yang menkritik pemerintah, polisi, atau lembaga negara.

4. Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Pasal ini dapat merepresi agama minoritas serta represi pada warga terkait kritik pada pihak polisi dan pemerintah.

Baca juga: Viral Video Kondisi Hati Bermasalah Diduga akibat Sering Konsumsi Alkohol

5. Pasal 29 tentang ancaman kekerasan. Pasal ini bermasalah lantaran dapat dipakai untuk memidana orang yang ingin lapor ke polisi.

6. Pasal 36 tentang kerugian. Pasal ini dapat digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi.

7. Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan sebagai alasan internet shutdown untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan hoax.

8. Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses. Pasal ini bermasalah karena dapat menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.

9. Pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.

Baca juga: Ancam Hengkang dari Australia, Google Pernah Bermasalah dengan 4 Negara Ini

(Sumber: Kompas.com/Fitria C, Kristian E, Yoga H, Galuh P, Achmad N/Editor: Dani P, Bayu Galih, Reza W, Reska K, Krisiandi)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi