KOMPAS.com - Dugaan kasus pelaku pelecehan seksual pada anak ramai dibicarakan di media sosial Twitter dalam beberapa waktu terakhir.
Hal itu bermula dari unggahan akun Twitter @taupikarisandy yang diduga melakukan pelecehan terhadap seorang anak perempuan dengan mengunggah foto bermuatan sensual.
Warganet geram. Mereka beramai-ramai melaporkan akun tersebut kepada pihak Twitter agar diblokir.
Baca juga: Kasus Pegawai Starbucks dan Pemahaman soal Pelecehan terhadap Perempuan...
Sebagian besar warganet juga menandai akun Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Dittipidsiber Bareskrim Polri, dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan agar menindaklanjuti kasus ini.
Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat membenarkan pelaporan tersebut.
"Komnas Perempuan termasuk dalam daftar lembaga yang di-mention oleh warganet menyangkut pelecehan seksual terhadap anak di akun Twitter tersebut," kata Rainy saat dihubungi Kompas.com, Minggu (21/2/2021).
Dari kejadian tersebut diketahui, pelaku sudah ditangkap oleh pihak Kepolisian Daerah Kalimantan Selatan, di Kabupaten Tapin.
"Pelaku sudah ditangkap, Komnas Perempuan berkoordinasi dengan Kominfo untuk take down konten pelecehan anak. Komnas Perempuan mengapresiasi dan berterima kasih untuk jajaran Polri yang sudah gerak cepat," kata Rainy.
Baca juga: Cegah Anak dari Pelecehan Seksual, Bagaimana Mengedukasinya?
Kerentanan berlapis
Menanggapi kasus pelecehan seksual yang terjadi, Rainy menerangkan bahwa anak perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual memiliki kerentanan berlapis.
"Pelecehan seksual terhadap anak menunjukkan kerentanan berlapis anak dalam masyarakat patriarkis dengan rape culture," ujar Rainy.
Kerentanan berlapis tersebut berupa:
- Relasi kuasa antara pelaku sebagai lelaki dengan anak perempuan dan relasi kuasa pelaku sebagai orang dewasa dengan anak.
- Bila pelaku adalah orang terdekat, maka menambah lapisan relasi kekuasaan antara pelaku sebagai misal ayah, ayah tiri, paman atau tetangga.
- Pelaku yang dikatakan memiliki kekuasaan berlapis ini, pun dapat mengakses media sosial, sehingga menambah risiko pelecehan seksual berbasis gender online (KGBO).
"Kekuasaan berlapis inilah yang membuat anak, dalam hal ini anak perempuan, rentan terhadap pelecehan atau kekerasan seksual," tutur Rainy.
Baca juga: Viral, Video Pengakuan Penjual Tahu Bulat Diduga Lakukan Pelecehan Seksual
Rainy juga menyebutkan bahwa pelecehan seksual terhadap anak dapat dikatakan sebagai fenomena gunung es. Yaitu kasus yang muncul di permukaan hanya sebagian kecil saja, sementara banyak kasus lain yang tidak dapat terdeteksi.
Fenomena ini dapat terjadi akibat ancaman pelaku pada korban, yang dalam hal ini merupakan anak-anak.
"Korban tidak melapor pelecehan yang dialaminya bisa saja karena tidak memahami apa yang terjadi pada dirinya, enggan atau takut melapor karena diancam oleh pelaku," jelas Rainy.
Data kasus
Pelaku memotret korban yang menggambarkan pelecehan yang dilakukannya lalu menyebarluaskannya, dapat dikategorikan sebagai pelaku kekerasan siber berbasis gender terhadap anak perempuan.
Rainy mengingatkan bahwa kasus semacam ini dapat dilakukan dan dialami oleh siapa saja.
"Masyarakat perlu memahami bahwa pelecehan atau kekerasan seksual tidak mengenal usia, sebagaimana juga tidak mengenal kelas sosial ekonomi, tingkat pendidikan, profesi, lingkungan sosial," katanya.
Baca juga: Erick Thohir Tegaskan Sanksi Pelecehan Perempuan di Lingkungan BUMN, seperti Apa?
Kasus pelecehan seksual juga tidak memandang fisik tubuh. Bahkan, Rainy menyatakan bahwa di lingkungan berbasis agama pun bisa terjadi pelecehan atau kekerasan seksual terhadap anak.
Komnas Perempuan mencatat, sepanjang 2019 tercatat 2.341 kasus kekerasan terhadap anak perempuan, meningkat 65 persen dibanding tahun 2018 yang mencatat 1.417 kasus.
Dari 2.341 kasus kekerasan terhadap anak perempuan, yang tertinggi kasus inses (770 kasus) dengan pelaku adalah ayah, ayah tiri atau paman sendiri.
Data di atas menggambarkan bahwa perempuan sejak usia anak berada dalam situasi tidak aman.
"Bahkan dalam rumah yang seharusnya menjadi ruang aman dan orang-orang terdekat seperti ayah, ayah tiri atau paman yang semestinya menjadi pelindung anak," imbuh Rainy.
Baca juga: PAN NTB Akan Pecat Kadernya yang Jadi Pelaku Pelecehan Anak Kandung
Jangan sebar foto korban
Rainy tidak membenarkan perilaku warganet yang menyebar foto korban. Maka sebaknya disensor atau tidak perlu menyebarkan sama sekali foto korban di media sosial.
"Hal ini untuk melindungi anak perempuan yang menjadi korban di kemudian hari, mencegah dampak buruk konten yang disebarluaskan pelaku terhadap korban," jelas Rainy.
Selain melaporkan akun pada penyedia layanan media sosial, warganet dapat melakukan hal-hal berikut pada kasus serupa:
- Merekam konten atau unggahan pelaku, dapat berupa tangkapan gambar (screen shoot) sebagai barang bukti
- Melapor ke Patriolisiber.id atau Dittipidsiber Bareskrim Polri
- Mengadu ke lembaga pengada layanan
- Meminta Menkominfo untuk take down akun dan konten media sosial yang dilaporkan.
Upaya pencegahan
Pada dasarnya, kasus kekerasan dan pelecehan seksual bersumber dari pelaku. Tidak ada yang salah dengan pakaian, perilaku, usia, atau apa pun pada korban.
Akan tetapi, ada hal-hal yang dapat diajarkan pada anak untuk menghindari pelaku kekerasan dan pelecehan seksual.
"Pemahaman otonomi atas tubuhnya dan pendidikan seksual perlu diajarkan orang tua kepada anak perempuan," terang Rainy.
Adapun yang dapat dilakukan orang tua atau orang dewasa kepada anak perempuan, yaitu:
- Orang tua perlu memberitahu, siapa saja yang boleh memegang tubuh anak, yakni dirinya sendiri, ibu, perawat atau dokter.
- Perlu ditekankan bahwa tak semua orang boleh menyentuh tubuhnya dan anak harus menolak bila ada yang memegang secara paksa maupun dengan bujukan.
- Mengajarkan pendidikan seks sesuai usia anak agar anak dapat memahami tubuhnya khususnya fungsi-fungsi organ reproduksi.
Baca juga: Kasus Dugaan Pelecehan Anak Berlarut-larut, Ombudsman Datangi Polresta Bogor