Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Survei Sebut 41 Persen Masyarakat Tidak Bersedia Divaksin, Ini Saran Sosiolog

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/HO/SETPRES/MUCHLIS J
Presiden Joko Widodo (kiri) disuntik dosis kedua vaksin Covid-19 produksi Sinovac oleh vaksinator Wakil Ketua Dokter Kepresidenan Prof Abdul Mutalib di halaman tengah Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (27/1/2021). Penyuntikan dosis kedua vaksin Covid-19 ke Presiden Joko Widodo tersebut sebagai lanjutan vaksinasi tahap pertama 13 Januari 2021 .
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

 

KOMPAS.com - Hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) menunjukkan hanya 55 persen masyarakat Indonesia yang bersedia untuk divaksin Covid-19. 

Sementara itu, 41 persen masyarakat lainnya tidak bersedia divaksin, sedangkan 4,2 persen sisanya tidak menjawab.

"Data kami menunjukkan, survei Indikator 1 sampai 3 Februari yang mengatakan sangat bersedia itu 15,8 persen, cukup bersedia 39,1 persen. Kalau saya jumlah, itu kurang lebih 55 persen," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam rilis survei secara daring, Minggu (21/2/2021).

Baca juga: Survei Indikator, 41 Persen Warga Enggan Divaksin, Vaksinasi Jokowi Tak Berdampak Signifikan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Padahal, agar bisa tercapai herd immunity atau kekebalan kelompok, setidaknya ada 70 persen populasi yang divaksin atau kebal dari Covid-19. 

Lantas, apa yang harus dilakukan agar warga yang mau divaksin meningkat?

Menemukan jawabannya

Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono mengatakan, pemerintah terlebih dahulu harus menemukan alasan mengapa banyak orang tak mau divaksin.

Menurutnya, ada kemungkinan orang tak mau divaksin karena demonstration effect, yaitu mengikuti orang yang ada di sekitarnya.

"Kalau itu bisa dengan mudah diatasi, yaitu mengirim para pengubah tindakan, misalnya para tokoh, orang-orang penting, atau artis untuk kemudian mereka menunjukkan diri sudah divaksin," kata Drajat kepada Kompas.com, Senin (22/2/2021).

Ia menjelaskan, faktor demonstration effect memang cepat merambat dan memengaruhi, tetapi juga mudah diubah.

Baca juga: Gara-gara Baca Berita Hoaks, Warga Takut Divaksin Covid-19, Lalu Sembunyi di Hutan

Aspek ideologis

Kemungkinan kedua adalah terkait ideologi atau nilai-nilai yang menganggap bahwa vaksin itu haram, konspirasi, dan lain-lain.

Untuk kemungkinan ini, Drajat menyebut cara mengatasinya agak berat.

"Kalau aspeknya ideologis, maka tidak bisa sekadar artis disuruh vaksin di depan publik, tapi harus dicari tokoh-tokoh pemikirnya, gagasan-gagasan pokoknya ada di mana," jelas dia.

"Nah, tokoh-tokoh ini perlu di-counter, dilawan," sambungnya.

Selain itu, karena vaksin merupakan sebuah inovasi, Drajat mengatakan bahwa ada beberapa sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat, di antaranya yaitu selalu mengikuti inovasi atau hal-hal baru.

Baca juga: Gagap Teknologi, Lansia Antre Daftar Vaksin Covid-19 di RSUD Kembangan

Kemudian, lead majority atau baru mengikuti ketika ada contohnya, sedangkan yang lainnya adalah kelompok yang tak pernah mau berubah.

"Ini yang jadi masalah. Ia memang memiliki rasa takut yang sangat tinggi terhadap risiko inovasi, sehingga tak mau menggunakannya sama sekali karena alasan-alasan tertentu," ujarnya.

"Jadi 41 persen tersebut mungkin ada yang termasuk kategori-kategori itu," lanjutnya.

Perbaiki pendekatan

Di sisi lain, Drajat juga menyoroti pendekatan yang diambil pemerintah dalam hal komunikasi terkait vaksinasi virus corona.

Menurutnya, pemerintah harus memiliki pendekatan yang tidak memaksakan dengan kekuatan atau ancaman.

Dalam hal ini, Drajat melihat pemerintah menggunakan perspektif difusi atau menyebarkan sesuatu dengan pendekatan seragam, yaitu kesehatan.

Baca juga: Simak, Menolak Divaksin Covid-19 Bisa Didenda hingga Tak Dapat Bansos

Padahal, pendekatan difusi inovasi di dalam komunikasi pembangunan itu tak bisa dipahami dengan pendekatan satu arah.

"Harus berbasis komunitas, melibatkan masyarakat. Ini yang pemerintah tidak lakukan," kata Drajat.

"Kalau ada resistensi, pemerintah harus menambah pendekatan ke masyarakat supaya tidak single," ungkapnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi