Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tutup Usia, Ini Profil Artidjo Alkostar, Mantan Hakim Agung yang Ditakuti Koruptor

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Artidjo Alkostar
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Mantan hakim Mahkamah Agung (MA) Artidjo Alkostar meninggal dunia hari ini, Minggu (28/2/2021).

Informasi tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM Mahfud MD melalui akun twitter resminya.

"Kita ditinggalkan lagi oleh seorang tokoh penegak hukum yang penuh integritas. Mantan hakim agung Artidjo Alkostar yang kini menjabat sebagai salah seorang anggota Dewan Pengawas KPK telah wafat siang ini. Inna Lillah Wainna Ilahi raji'un. Allahumma ighfir lahu," ujar Mahfud MD pada akun Twitternya @mohmahfudmd, Minggu (28/2/2021) ini.

Baca juga: Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar Meninggal Dunia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berikut profil Artidjo Alkostar:

Ditakuti koruptor

Artidjo adalah salah satu sosok hakim yang paling ditakuti oleh koruptor kala mengajukan kasasi di MA.

Saat palu hakim di tangan Artidjo, alih-alih para koruptor berharap mendapatkan keringanan hukuman, justru diganjar dengan vonis yang lebih berat.

Dilansir dari Indonesia.go.id, Artidjo Alkostar mengawali karirnya sebagai pembela hukum di LBH Yogyakarta.

Pria kelahiran Situbondo, 22 Mei 1948 ini pernah menjadi hakim agung selama 18 tahun lebih.

Sebelum menjadi Hakim Agung pada 2000, Artidjo berkarier sebagai advokat selama 28 tahun.

Saat menjabat sebagai hakim agung, 19.708 berkas perkara pernah ia tangani. Atau rata-rata setiap tahunnya dia menangani 1.095 perkara.

Selama menjabat, Artidjo tak pernah mengambil cuti dan selalu menolak ketika diajak ke luar negeri.

Alasannya, hal tersebut bisa berimplikasi besar terhadap tugas-tugasnya.

Baca juga: Anggota Dewan Pengawas KPK Artidjo Alkostar Meninggal karena Sakit

Dikenal "galak"

Sebagai Hakim Agung, Artidjo Alkostar dikenal "galak" dalam memberikan hukuman kepada terdakwa kasus korupsi yang mengajukan kasasi.

Dia kerap menambah hukuman bagi mereka yang justru berharap hukumannya dikurangi, bahkan dibebaskan.

Artidjo mempunyai alasan kenapa dia sering memutuskan untuk memperberat hukuman koruptor.

Menurut dia, penegakan kebenaran dan keadilan sesuai fakta yang obyektif dan meluruskan penerapan pasal-pasal yang relevan sesuai kasus, menjadi alasan hukuman terhadap koruptor yang mengajukan kasasi justru dinaikkan.

Penambahan lama maupun jumlah hukuman pengaju kasasi, menurut Artidjo, dilakukan sesuai aturan hukum yang berlaku.

Artidjo juga menjelaskan perbedaan substansial dalam isi Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) meskipun sekilas hampir sama. Dua pasal itu bisa membuat perbedaan hukuman terhadap terdakwa.

Pasal 3 itu kualifikasinya, unsurnya, setiap orang yang menyalahgunakan kewenangan, menguntungkan diri sendiri, juga merugikan keuangan negara.

Baca juga: Artidjo Alkostar Tutup Usia, Mahfud: Dia Menginspirasi Saya Jadi Aktivis...

Berkhidmat pada Mahkamah Agung

Dilansir dari laman resmi Mahkamah Agung, Artidjo memasuki masa pensiun pada 22 Mei 2018 lalu sejak menjadi Hakim Agung pada 2000.

"Dalam rentang waktu 18 tahun saya berkhidmat pada Mahkamah Agung, berkhidmat pada keadilan,” tutur Artidjo.

Artidjo juga pernah mengeluarkan beberapa buku, salah satunya berjudul "Artidjo Alkostar Titian Keikhlasan, Berkhidmat untuk Keadilan".

Buku 445 halaman tersebut berisi pandangan kolega-kolega Artidjo terkiat dirinya, mulai dari pimpinan Mahkamah Agung, Hakim Agung, Pimpinan PolrI, dan yang lainnya.

Selain buku tersebut, Artidjo juga mengeluarkan dua buku lainnya yaitu Dimensi Filosofis Ilmu Hukum dan hukum Pidana (70 Tahun Artidjo Alkostar Mengabdi Kepada Bangsa dan Negara), dan Alkostar Sebuah Biografi yang ditulis oleh Puguh Windrawan.

Artidjo mengatakan bahwa hakim itu harus lebih pintar dari pembuat Undang-Undang, harus lebih pintar dari koruptor. Alangkah malangnya negeri ini, kata dia, jika hakimnya kalah pintar dari koruptor.

Baca juga: KPK: Kami Sangat Berduka atas Wafatnya Pak Artidjo Alkostar...

"Tidak melayani tamu yang ingin membicarakan perkara"

Begitulah kalimat di selembar kertas dengan tulisan berwarna hitam dan tertempel di sebuah pintu ruangan di lantai tiga Gedung MA.

Harian Kompas, 8 Juli 2001 mewartakan, itu "tanda" yang membedakan ruangan Hakim Agung Artidjo Alkostar dengan ruangan lain di gedung yang seharusnya menjadi orang menemukan keadilan tersebut.

Tulisan itu bukan untuk sok, tetapi begitulah Artidjo yang dikenal.

"Saya tak pernah mau membicarakan perkara yang sedang ditangani dengan tamu. Siapa pun boleh datang ke ruangan ini, tapi begitu mulai membicarakan perkara, pasti saya usir," papar suami Sri Widyaningsih itu.

Baca juga: Pukat UGM Nilai Cara Pandang MA terhadap Korupsi Berubah Setelah Artidjo Pensiun

Artidjo memang tidak sekadar bicara soal integritas. Ia menjadi bukti seorang penegak hukum yang berintegritas, sehingga masyarakat mencalonkannya sebagai hakim agung.

Saat masih sebagai pengacara, mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta itu tercatat sering menangani perkara berisiko.

Ia pernah menjadi penasihat hukum kasus Komando Jihad, kasus penembakan gali atau bromocorah di Yogyakarta, kasus Santa Cruz (Timor Timur), kasus pembunuhan wartawan Bernas Muhammad Syafruddin (Udin), dan ketua tim pembela gugatan Kecurangan Pemilu 1997 di Pamekasan, Madura.

Teror sudah menjadi bagian dari pergulatan hidupnya.

Saat membela perkara Santa Cruz (1992), Artidjo berulang kali diteror.

Seorang teman bercerita, mantan staf Human Right Watch di New York ini terpaksa membuat pembelaan bagi kliennya dengan hanya diterangi lilin. Sebab aliran listrik di tempatnya menginap tiba-tiba mati dan tidak menyala lagi.

Baca juga: Cerita Artidjo Bentak dan Usir Pengusaha yang Mau Coba Menyuapnya

Kasus mantan Presiden Soeharto dan Joko Tjandra

Kiprah Artidjo sebagai hakim agung semakin dikenal, karena dia berani berbeda pendapat dengan majelis hakim yang lain pada perkara mantan Presiden Soeharto dan skandal Bank Bali dengan terdakwa Joko Sugiarto Tjandra.

Pada kasus Joko Tjandra, ia menyimpulkan terdakwa bersalah dan dihukum 20 tahun. Dua hakim agung lain membebaskannya.

Putusan Joko Tjandra itu memperkenalkan dissenting opinion. Ini membuat pendapat Artidjo diketahui publik.

"Ya, dengan begitu orang tidak selalu menganggap saya sebagai pecundang, karena, paling tidak pendapat saya ada yang mendukung. Mosok, dari dulu jadi pecundang terus. Sebagai pengacara, saya sering kalah, karena tidak mau menyuap hakim dan jaksa," ungkap alumnus maupun dosen Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta tersebut.

Baca juga: Artidjo Alkostar, 18 Tahun, 19.000 Perkara, dan Urus Kambing...

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi