Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Massa Aksi Myanmar Jemur Pakaian Perempuan untuk Perlindungan, Ini Alasannya

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA/REUTERS/STRINGER
Warga mengikuti aksi protes menolak kudeta militer di Yangon, Myanmar, Selasa (2/3/2021). Gambar diambil dari balik jendela. ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/WSJ/djo
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Para pengunjuk rasa di Myanmar membentangkan pakaian perempuan di garis depan, melintasi jalanan, untuk memperlambat gerak polisi dan tentara.

Orang Myanmar memiliki tradisi atau kepercayaan bahwa laki-laki yang berjalan di bawah pakaian perempuan yang sedang digantung, akan membawa sial bagi si laki-laki.

Dilansir dari Reuters, Sabtu (6/3/2021), kain pembungkus yang dikenal sebagai longyi ini, digantung pada tali pencucian. Bahkan, pakaian dalam perempuan juga turut digantungkan.

Seperti diketahui, Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer melakukan kudeta awal Februari 2021.

Junta militer menahan pimpinan yang terpilih, Aung San Suu Kyi, dengan alasan adanya kecurangan dalam pemilihan November yang dimenangkan oleh Suu Kyi secara telak.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aksi protes warga Myanmar pun bergejolak. Berbagai cara mereka lakukan ketika menyuarakan pendapat di jalanan, salah satunya menjemur longyi.

Baca juga: Makna Salam Tiga Jari pada Aksi Protes di Myanmar

Tentara masih percaya

Longyi, pakaian tradisional Myanmar serupa sarung ini, digantung pada tali yang membentang di jalan-jalan tempat aksi protes berlangsung.

Sementara, pengunjuk rasa berdiri dan berbaris di belakang jemuran longyi, sambil memegang perisai saat protes terhadap kudeta militer di Yangon, Myanmar, pada Sabtu (6/3/2021).

"Alasan mengapa kami menggantung longyi di seberang jalan adalah karena kami memiliki kepercayaan tradisional bahwa jika kami lewat di bawah longyi, kami mungkin kehilangan keberuntungan," kata seorang pengunjuk rasa berusia 20 tahun yang menolak menyebutkan namanya.

Pemuda itu menjelaskan, generasinya sudah tidak percaya lagi tradisi itu. Akan tetapi, tentara masih percaya.

Hal ini membantu ia dan teman-temannya untuk mendapatkan lebih banyak waktu saat lari dalam, terutama dalam keadaan darurat.

"Generasi muda saat ini tidak percaya lagi, tapi tentara masih melakukannya, dan itu kelemahan mereka. Jadi, kami mungkin mendapatkan lebih banyak waktu untuk lari jika mereka mendatangi kita dalam keadaan darurat," kata dia.

Baca juga: Status Siaga II, Kemenlu Imbau WNI di Myanmar Tetap di Rumah

Polisi angkat jemuran

Secara tradisional, berjalan di bawah barang-barang yang digunakan untuk menutupi bagian pribadi perempuan bukan hanya nasib buruk, tetapi juga melemahkan si laki-laki.

Reuters tidak dapat menghubungi polisi untuk dimintai komentar mengenai hal ini.

Video di media sosial menunjukkan bahwa polisi menurunkan tali jemuran sebelum melintasinya. Di media sosial juga beredar foto polisi Myanmar yang sedang angkat jemuran.

Persitiwa ini menjadi perbincangan warganet. Beberapa menyinggung aparat keamanan yang berani menembak pendemo, tetapi takut pada mitos.

Komentar semacam itu salah satunya disampaikan oleh akun Twitter @EiThinzarMyo9.

"Teroris yang bisa membunuh orang-orang Myanmar tak berdosa takut lewat di bawah longyi (rok yang dipakai wanita Myanmar). Mungkin mereka lahir dari telur," tulisnya.

Tanggapan lainnya datang dari Yasmin Ullah melalui akun Twitter-nya @YasminJUllah. Dalam deskripsi akunnya, ia adalah seorang Rohingya, kelompok yang mendapat diskriminasi hak di Myanmar.

"Mungkin pakaian wanita (longyi) akan menyelamatkan nyawa... Jika Anda tidak tahu, militer, rezim teroris fasis takut kesakralan mereka dipengaruhi dengan berjalan di bawah longyi atau bersentuhan dengan darah menstruasi. Ternyata fasis itu sangat seksis!" tulis Yasmin.

Aksi protes Myanmar

Selama lebih dari satu bulan, pengunjuk rasa telah berdemonstrasi di seluruh Myanmar menentang kudeta militer 1 Februari dan penangkapan pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi, serta ratusan orang lainnya.

Sebelumnya, pemilihan umum Myanmar dilaksanakan pada November 2020 yang dimenangkan oleh partai Suu Kyi.

Komisi pemilihan telah menepis tuduhan kecurangan yang jadi alasan penangkapan Suu Kyi.

Kekacauan politik ini telah menyebabkan lebih dari 50 pengunjuk rasa telah dibunuh oleh pasukan keamanan.

Akan tetapi, jemuran longyi tidak menghentikan polisi menggunakan gas air mata, peluru karet dan granat kejut. Beberapa pengunjuk rasa juga terbunuh oleh peluru tajam.

Pihak militer mengatakan, pihaknya telah menanggapi protes dengan menahan diri.

Baca juga: Apa yang Sedang Terjadi di Myanmar?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi