Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

11 Maret 2011, Gempa M 9,1 dan Tsunami di Jepang, Sebabkan Bencana Nuklir

Baca di App
Lihat Foto
Dok Kompas.com/AP
Dampak Tsunami yang melanda Tohoku, Jepang, pada 2011, tepatnya di Bandara Sendai.
Penulis: Mela Arnani
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Hari ini 10 tahun lalu, tepatnya 11 Maret 2011 pukul 14.46 waktu setempat (12.36 WIB) gempa bumi bermagnitudo 9,1 mengguncang Jepang dan memicu gelombang tsunami.

Melansir The Guardian, lebih dari 18.000 orang meninggal dunia akibat gempa bumi dan tsunami tersebut.

Gempa bumi yang terjadi di 43 mil lepas pantai timur laut Honshu, pulau terpadat di Jepang, menjadi gempa terbesar dalam sejarah Jepang, dan salah satu dari lima gempa bumi terkuat di dunia.

Gempa besar yang terjadi juga memicu kehancuran pembangkit nuklir Fukushima Diichi.

Melansir History, bencana Fukushima dinyatakan sebagai bencana nuklir terburuk kedua dalam sejarah. Lebih dari 100.000 orang dievakuasi karena peristiwa itu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sistem di PLTN mendeteksi adanya gempa bumi sehingga secara otomatis mematikan reaktor nuklir.

Generator darurat bertenaga diesel menyala agar pendingin tetap dipompa di sekitar inti reaktif, yang masih sangat panas bahkan setelah reaktor berhenti.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: MacDonald House Dibom, 3 Orang Tewas, 35 Lainnya Luka-luka

Terjangan gelombang tsunami pertama tiba di PLTN Fukushima Daiichi, mampu dihadang tembok penghalang.

Akan tetapi, beberapa menit kemudian, disusul gelombang tsunami kedua setinggi lebih dari 14 meter, yang menembus tembok penghadang dan membuat kekacauan di PLTN.

Saat itu, terjadi keadaan darurat nuklir, dan membuat Pemerintah Jepang mengeluarkan perintah evakuasi penduduk yang tinggal dalam radius 1,9 mil atau 3 kilometer dari pembangkit listrik.

Selama keadaan darurat, masing-masing dari tiga reaktor nuklir yang beroperasi di PLTN Fukushima berhasil ditutup, namun daya cadangan dan sistem pendinginnya gagal.

Akibatnya, panas sisa menyebabkan batang bahan bakar di ketiga reaktor meleleh sebagian.

Reaktor 1 meledak pada 12 Maret 2011, disusul dengan ledakan reaktor 3 pada 14 Maret 2021. Hal ini membuat zona evakuasi diperluas hingga radius 20 kilometer dari PLTN.

Tak hanya itu, terjadi pula sejumlah ledakan zat kimia yang merusak bangunan.

Materi radioaktif mulai bocor ke atmosfer dan Samudera Pasifik, mendorong evakuasi dan meluasnya zona terlarang.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Pesawat Garuda Terbakar di Yogyakarta, 21 Orang Tewas

Tingkat kerusakan terlihat jelas selama bulan-bulan berikutnya. Pemerintah Jepang akhirnya mengevakuasi semua penduduk dalam radius 30 km dari lokasi PLTN.

Tak ada korban jiwa saat bencana nuklir terjadi.

Setidaknya 16 pekerja terluka karena ledakan, sementara puluhan lainnya terpapar radiasi saat berusaha mendinginkan reaktor dan menstabilkan PLTN.

Bencana Fukushima diklasifikasikan sebagai level tujuh oleh Badan Energi Atom Internasional, level tertinggi untuk peristiwa yang sama, dan menjadi bencana kedua yang memenuhi klasifikasi setelah Chernobyl.

Pada 2012, Perdana Menteri Jepang saat itu, Yoshihiko Noda menuturkan bahwa negara turut andil atas bencana ini.

Pada 2019, pengadilan memutuskan pemerintah ikut bertanggung jawab dan wajib membayar kompensasi kepada para pengungsi.

Gempa susulan

Diberitakan Kompas.com, 14 Februari 2021, terjadi guncangan gempa berkekuatan 7,1 magnitudo di prefektur Fukushima, tak jauh dari bekas lokasi tsunami tahun 2011 lalu.

Gempa yang terjadi pada 13 Februari 2021 pukul 23.08 waktu setempat ini mempunyai pusat gempa di kedalaman 60 km di lepas pantai prefektur Fukushima.

Gempa ini membuat tingkat air pendingin mengalami penurunan di beberapa reaktor.

Meski demikian, pihak operator PLTN Fukushima Daiichi, TEPCO, mengklaim efeknya terbatas karena air berada dalam sistem tertutup yang tidak larut ke lingkungan sekitarnya.

Air tanah pegunungan yang bocor ke lapisan tanah di bawah reaktor dan menjadi radioaktif merupakan masalah utama setelah bencana.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Kapal Herald of Free Terbalik, 193 Penumpang Tewas

Rembesan tersebut sebagian besar dicegah oleh "dinding es" dari tanah beku sedalam 30 meter dan panjang 1,5 kilometer yang diselesaikan di tahun 2018.

Hujan dan air lain yang digunakan untuk pendinginan terus menimbulkan masalah, dengan sekitar 140 meter kubik air radioaktif dihasilkan oleh situs tersebut setiap hari pada 2020.

Air yang terkontaminasi disaring untuk menghilangkan sebagian besar bahan radioaktif dan saat ini disimpan dalam ratusan tangki biru, abu-abu, dan krem di lokasi.

Pada musim panas 2022, tidak akan ada lagi tangki penyimpanan yang tersedia dan pemerintah diharapkan menyetujui rencana kontroversial untuk secara bertahap melepaskan air yang diolah ke laut.

Kompas.com, 4 Maret 2021, memberitakan, seluruh reaktor nuklir di Jepang dihentikan setelah bencana PLTN Fukushima dan peraturan keselamatan nuklir diperketat secara signifikan.

Sejauh ini, hanya ada sembilan reaktor yang masih beroperasi, dibandingkan dengan 54 reaktor yang beroperasi sebelum Maret 2011.

Nuklir menyumbang hanya 6,2 persen dari pembangkit listrik di Jepang pada tahun fiskal 2019.

Meski begitu, pemerintah Jepang berkeinginan agar nuklir berkontribusi sebesar 20-22 persen dari total pembangkit listrik pada 2030 demi mencapai target netralitas karbon.

Perbaikan

Melansir BBC Indonesia, sepuluh tahun kemudian, beberapa kota di timur laut Jepang tetap masuk zona terlarang.

Pihak berwenang terus bekerja membersihkan area tersebut agar penduduk dapat kembali.

Masih banyak tantangan besar yang dihadapi atas bencana nuklir yang terjadi ini.

Puluhan ribu pekerja akan dibutuhkan dalam 30-40 tahun ke depan untuk mengeluarkan sampah nuklir, batang bahan bakar, dan lebih dari satu juta air radioaktif dari lokasi.

Namun, beberapa warga telah memutuskan tak akan kembali lagi karena ketakutan akan radiasi, dan telah membangun kehidupan di tempat lain.

Pada 2020, sejumlah media melaporkan bahwa pemerintah dapat mulai melepaskan air yang telah disaring untuk mengurangi radioaktivitasnya ke Samudera Pasifik paling cepat tahun depan.

Sejumlah ilmuwan percaya, samudera besar ini akan mengencerkan air tersebut dengan bahaya yang kecil bagi kesehatan manusia dan hewan.

Organisasi lingkungan Greenpeace menjelaskan, air mengandung bahan-bahan yang berpotensi merusak DNA manusia.

Pemerintah Jepang belum mengambil keputusan mengenai apa yang dilakukan terhadap cairan ini.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Foto Ikonik Pengibaran Bendera AS di Iwo Jima Jepang

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi