IMBAUAN Presiden Jokowi agar seluruh rakyat Indonesia cinta produk Indonesia, saya sambut antusias dengan gelora semangat patriotik.
Meski belum melakukan tes DNA, namun berdasar fakta ragawi fisiognomik terutama mata sipit, dapat disimpulkan bahwa secara etnobiologis saya sesosok homo sapiens keturunan Chinese.
Anggapan tersebut bertahan sampai pada suatu saat nanti ada pembuktian ilmiah lain bahwa saya bukan keturunan Chinese.
Secara geografis mau pun geopolitis, menurut pengakuan Ibunda yang melahirkan saya, de facto saya dilahirkan bukan di bumi wilayah RRChina mau pun Taiwan atau Hongkong tetapi di Indonesia, tepatnya di Denpasar, Bali.
Pada usia 11 bulan, saya diboyong ke Semarang di mana saya dibuai dan dibesarkan orangtua di lingkungan kebudayaan Indonesia tepatnya kebudayaan Jawa.
Sebagai pembelajar kebudayaan dunia, saya mengagumi kebudayaan China sebagai mahakarya peradaban kaliber unggul namun secara biogastronomis lidah dan perut saya lebih gemar sate, gado-gado, gudek, pecel, rendang ketimbang fuyung-hay, capjay, kolokee, kolobak, gurami asam-manis, zhu she.
Saya menghormati keluhuran kearifan Konghucu, Lao Tse, Chu Yuan, Taichi, San Min Chu I namun secara pribadi lebih berupaya menghayati makna kearifan adiluhur ojo dumeh, rukun agawe sentosa, ngono yo ngono ning ojo ngono, manunggaling kawula Gusti serta Pancasila yang telah merasuk masuk ke lubuk sanubari saya.
Saya lebih intensif mempelajari karakter Semar dan Anoman ketimbang Jilayhud dan Sun Go Kong.
Kakek saya mendirikan perusahaan bukan obat tradisional China tetapi jamu sebagai warisan kebudayaan kesehatan Nusantara.
Komposisi musik saya lebih banyak menggunakan sistem pancanada Jawa ketimbang pentatonik China.
Ketika tim bulutangkis Indonesia berhadapan dengan tim bulutangkis China, saya total berpihak Indonesia.
Segenap buku dan naskah termasuk yang sedang Anda baca ini, saya tulis dalam bahasa Indonesia.
Berpikir pun saya menggunakan bahasa Indonesia.
Saya lebih menghormati Bung Karno, Bung Hatta, Jokowi ketimbang Mao, Deng, Xi.
Sukma saya lebih tergetar ketika lagu Indonesia Raya dikumandangkan ketimbang Jilay, Jilay.
Saya lebih cinta tanah kelahiran sebagai tanah air udara saya ketimbang tanah leluhur.
Akibat secara batin memang kalbu sanubari saya sudah telanjur sangat terpengaruh oleh lagu dan syair Indonesia Pusaka mahakarya abadi Ismail Marzuki:
Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Selalu dipuja-puja bangsa
Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Tempat akhir menutup mata
Maka mohon diijinkan saya cinta Indonesia. Merdeka!
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.