Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jangan Beli dan Lakukan Tes Antigen Covid-19 Sendiri, Ini Bahayanya

Baca di App
Lihat Foto
marketplace
Di berbagai marketplace, banyak yang menjual alat tes Covid-19 untuk swab antigen. Masyarakat diimbau tak membeli dan menggunakannya sendiri. Ketahui, ada risikonya.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Beredar sebuah video di media sosial TikTok yang merekam seseorang tengah mencoba menggunakan alat tes swab antigen yang dibelinya secara daring.

Video yang diunggah pada 18 Februari 2021 ini menyertakan narasi cara penggunaan alat tes dengan air liur dan menyebut harga yang ia beli di toko online, yaitu sebesar Rp 75.000 sampai Rp 85.000.

Hingga Minggu (14/3/2021) pukul 15.00 WIB, video ini telah ditonton sebanyak 788,7 ribu kali dan mendapatkan 17.000 like.

Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKln) Prof. DR. Dr. Aryati, MS, Sp.PK (K) mengingatkan, penjualan alat tes Covid-19 secara bebas tidak diperbolehkan.

"Yang dijual-jual online itu tidak boleh, karena apa? Sebetulnya pemerintah itu sudah mengeluarkan Kemenkes 3602/2021," kata Aryati saat dihubungi Kompas.com, Minggu (14/3/2021).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keputusan Menteri Kesehatan tersebut mengatur dengan rinci bagaimana ketentuan dan prosedur tes rapid berbasis antigen.

Baca juga: Video Viral Tes Swab Antigen Sendiri, Perhatikan Pesan Ahli Ini

Ketentuan alat tes

Rapid Diagnostic Test Antigen atau disebut juga RDT-Ag adalah tes yang memperhatikan akses terhadap nucleic acid amplification test (NAAT).

Kriteria akses dan kecepatan pemeriksaan NAAT harus berdasarkan ketentuan laboratorium.

Ada tiga kriteria yaitu A, B dan C. Ketiganya dibedakan berdasarkan durasi pengiriman, waktu tunggu, dan kriteria akses terhadap NAAT.

"Itu ada aturannya menggunakan antigen. Jadi sampai serinci itu. Di sisi lain pemerintah sudah menata begitu, di sisi lain si (penjualan) online kayak melecehkan pemerintah yang sudah berusaha," ujar Aryati.

Dalam Kepmenkes telah diatur produk atau alat yang digunakan untuk tes rapid antigen, harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

Setiap produk harus dievaluasi setiap 3 bulan oleh Litbang Kemenkes dan lembaga independen yang ditetapkan oleh Kemenkes.

Alat kesehatan yang telah mendapat izin edar, semuanya tercatat dalam infoalkes.kemenkes.go.id.

Akan tetapi, masyarakat tidak bisa sembarangan membeli alat kesehatan. Untuk alat kesehatan seperti alat tes rapid antigen, tidak boleh dibeli dan dipakai secara mandiri.

Tidak pakai APD

Aryati menjelaskan, salah satu syarat pengambilan sampel saat tes adalah penggunaan alat pelindung diri (APD) bagi petugas.

"Kami selalu tekankan, hati-hati mengambilnya harus pakai APD yang sesuai," kata dia.

Tujuan menggunakan APD adalah mencegah risiko penularan virus. Jika pengambilan sampel dilakukan sendiri, kemungkinan besar mereka tidak mengenakan APD.

"Tujuannya supaya nanti pas ngambil, ada potensi-potensi aerosol yang bisa kena ke yang ngambil. Itu yang harus diperhatikan," tutur Aryati.

Penjualan online memberi peluang masyarakat melakukan tes sendiri, tanpa memperhatikan penggunaan APD. Hal ini dapat meningkatkan risiko penularan.

Tempat tes

Pada Agustus 2020 lalu, pemerintah sempat menetapkan ketentuan tempat pengambilan sampel untuk tes Covid-19, yaitu menggunakan bioseptilab.

Bioseptilab menerapkan protokol ketat dan tidak boleh ada sembarangan orang masuk. Kini protokol lebih longgar, asalkan sirkulasi udara baik dan tidak berkerumun. 

Pembelian dan penggunaan alat tes rapid antigen mandiri berisiko melanggar ketentuan ini. Apalagi, jika sampelnya diambil dari hidung atau nasofaring.

"Apalagi mereka yang mengerjakannya sendiri ya. Misal, ngerjakannya kurang bisa masuk sampai ke nasofaring kan ada aturannya," kata Ariaty.

Limbah medis

Alat tes rapid antigen yang beredar secara ilegal di masyarakat juga dapat menimbulkan bahaya limbah medis.

Prosedur dan panduan tes dirancang sedemikian rupa, agar limbah medis tidak mencemari lingkungan hidup. 

Limbah infeksius adalah limbah medis yang berisiko menularkan atau telah tercemar oleh penyakit pasien.

Aryati memberi gambaran perbedaan alat tes infeksius dan bukan infeksius. Ia membandingkan alat tes kehamilan dan alat tes repid antigen.

Alat tes kehamilan dikatakan tidak infeksius karena mengambil sampel urin dan tujuannya untuk mendeteksi janin, bukan penyakit menular.

Sementara, alat tes rapid antigen ditujukan untuk mendeteksi penyakit menular. Maka, baik hasilnya positif atau negatif, limbah dari alat tersebut ada kemungkinan sudah tercemari oleh virus. 

Aryati menjelaskan, meski cara kerjanya tampak sederhana, tetapi alat tes rapid antigen termasuk dalam limbah infeksius, sehingga tidak bisa sembarangan membuangnya. 

"Bisa timbul klaster baru karena pengambilan sampel dan pembuangan limbahnya tidak memperhatikan segala macam aturan itu," kata Aryati.

Tidak ada pelaporan

Aryati juga menjelaskan bahwa setiap tes Covid-19 yang dilakukan harus dilaporkan kepada pemerintah.

Data inilah yang jadi acuan jumlah atau tingkat testing di suatu negara.

Jual beli alat tes rapid antigen ini akan mengacaukan data dan sulit untuk memantau data testing.

"Ini kan tambah susah memantaunya," kata dia.

Aryati juga mengkhawatirkan pemahaman masyarakat soal interpretasi bahwa hasil dari tes antigen tidak dapat sepenuhnya akurat. 

Yang dimaksud interpretasi adalah, hasil tes antigen positif hanya dapat terdeteksi pada fase akut. Fase akut berbeda dengan tingkat keparahan penyakit Covid-19.

"Itu adalah fase di mana bisa menularkan, bukan parah. Orang OTG bisa positif dan tidak bergejala. Jadi tidak menunjukkan keparahan, tetapi positivitas itu menunjukkan ada virus SARS-CoV-1, yang bisa berpotensi menularkan," jelas Aryati.

Keterbatasan dari tes antigen adalah, hanya dapat mendeteksi positif pada 5 sampai 7 hari pasca seseorang terinfeksi atau terpapar virus corona.

"Kalau lebih dari 7 hari, disesuaikan dengan PCR ada CT value, itu maksimumnya 40, di bawah 20 saja dia terdeteksi. Padahal di atas 25-30 saja dia sudah bisa menularkan," kata Aryati.

Artinya, jika seseorang terserang virus di atas 7 hari, terdeteksi negatif, dia berisiko menularkan.

"Hasil negatif tidak menyingkirkan kenyataan bahwa (sebelumnya) dia positif atau bisa menularkan," imbuh Aryati.

Oleh karena itu, penting bagi setiap orang menjalankan protokol kesehatan 5M meski hasil tes antigen menunjukkan reaksi negatif. 

Aryati juga menyoroti banyaknya influencer atau figur publik yang secara tidak langsung menyepelekan protokol Covid-19.

Ia mencontohkan unggahan-unggahan artis di YouTube yang mencoba melakukan tes mandiri dengan sembarangan, mencolok hidung atau nasofaring padahal bukan tim medis, berkerumun, dan sebagainya. 

"Apalagi public figure. Menurut saya mereka harusnya diperingatkan. Mereka merekam dalam video dan diposting, itu bahaya lho menurut aku. Ini kan dalam tanda petik mengacaukan program pemerintah," kata Aryati. 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi