KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan limbah batu bara dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Adapun limbah batu bara yang dikeluarkan dari kategori B3 adalah limbah yang bersumber dari proses pembakaran batu bara pada fasilitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) atau dari kegiatan lain yang menggunakan teknologi selain stocker boiler dan/atau tungku industri.
Payung hukum yang mengatur tentang ketentuan itu adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Baca juga: Menyoroti Pembuangan Limbah Medis pada Masa Pandemi Virus Corona...
PP tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Berdasarkan lampiran 14 PP Nomor 22 Tahun 2021 disebutkan, jenis limbah batu bara yang dihapus dari kategori limbah B3 adalah fly ash dan bottom ash.
Pada bagian penjelasan Pasal 459 huruf C PP 22/2021 diatur fly ash dan bottom ash hasil pembakaran batu bara dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan kegiatan lainnya tak termasuk sebagai limbah B3, tetapi non-B3.
Baca juga: Masker Bekas Menumpuk, China Berjuang Atasi Tumpukan Limbah Medis akibat Epidemi
Lantas, apa itu fly ash dan bottom ash?
Peneliti dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Iwan Setiawan mengatakan, fly ash dan bottom ash merupakan produk sisa dari pembakaran batu bara.
"Batu bara yang dibakar itu menghasilkan produk sisa berupa material-material yang 'terbang' dan 'terendapkan', yang terbang itu disebut fly ash, yang mengendap di bawah itu bottom ash," kata Iwan saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (13/3/2021).
Iwan mengatakan, secara fisik, fly ash dan bottom ash terlihat seperti debu halus atau pasir halus, mirip seperti abu yang dikeluarkan oleh gunung api.
Bedanya, fly ash dan bottom ash memiliki tekstur yang sedikit lebih halus jika dibandingkan dengan abu vulkanik yang kasar seperti pasir.
Dia menambahkan, wujud fisik dari limbah tersebut juga dapat dengan mudah dilihat oleh mata manusia.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Ledakan Gas Hancurkan Tambang Batu Bara di Inggris, 439 Tewas
Jadi pro-kontra
Pengeluaran limbah batu bara jenis fly ash dan bottom ash dari daftar limbah B3 menuai sejumlah pro-kontra di kalangan masyarakat.
Sebagian pihak secara vokal menyuarakan bahwa penghapusan kedua jenis limbah itu dari daftar limbah B3 justru akan berdampak kontraproduktif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat yang tinggal di dekat area PLTU.
Di sisi lain, sebagian pihak lainnya mengatakan bahwa fly ash dan bottom ash tidak hanya membawa dampak negatif saja, karena kedua jenis limbah itu juga bisa diolah menjadi sesuatu yang bernilai, salah satunya untuk membuat batako.
Baca juga: Ramai soal Pabrik Tahu yang Gunakan Sampah Plastik, Ternyata Sampahnya dari Limbah Impor
Senyawa berharga di dalam limbah
Iwan membenarkan, fly ash dan bottom ash memang masih bisa dimanfaatkan atau diolah kembali sebagai salah satu campuran untuk membuat batako.
"Abu terbang dan abu yang terendapkan itu memang masih bisa diolah. Itu bisa jadi media partisi ruangan, dan batu bata ringan itu bisa," kata Iwan.
Namun menurut Iwan, saat ini ada temuan menarik terkait potensi pemanfaatan limbah fly ash dan bottom, yakni ditemukannya kandungan REE atau unsur tanah jarang (rare earth) pada kedua jenis limbah batu bara tersebut.
"Sekarang itu yang lebih menariknya untuk ini REE, atau unsur tanah jarang. Jadi pada abu itu, menurut para peneliti kandungan REE-nya 10 kali lebih kaya dari REE pada batu bara-nya," katanya lagi.
Baca juga: Limbah Plastik Impor yang Dianggap Racuni Indonesia dalam Sorot Media Internasional...
Iwan mengatakan, temuan soal kandungan REE yang kaya pada fly ash dan bottom ash itu, membuat kedua jenis limbah batu bara tersebut menjadi menarik untuk diolah kembali, namun tidak hanya sekadar untuk membuat batako.
"REE atau unsur tanah jarang itu adalah unsur strategis yang sekarang itu sedang viral-lah ya. Jadi itu (REE) yang dibicarakan oleh Pak Luhut Binsar Pandjaitan (Menko Kemaritiman dan Investasi) sama pak Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan), untuk kepentingan material industri pertahanan," kata dia.
Iwan mengungkapkan, unsur tanah jarang itu dapat digunakan sebagai bahan untuk banyak industri maju, termasuk untuk smartphone dan teknologi pertahanan, seperti radar, persenjataan, laser, dan pesawat anti-radar.
Baca juga: Melihat Dua Drone Canggih Turki, Pengubah Permainan di Suriah
Berpengaruh pada penurunan kualitas hidup
Meski demikian, Iwan tidak menampik bahwa limbah fly ash dan bottom ash memang memiliki potensi negatif memengaruhi kualitas lingkungan hidup dan masyarakat.
"Saya tidak tahu persis kalau dampaknya ke lingkungan. Ya ada, tapi bisa di-treatment. Cuma kalau treatment-nya seperti apa saya kurang tahu," kata Iwan.
Sehubungan dengan pengeluaran fly ash dan bottom ash dari daftar limbah B3, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai, kebijakan tersebut merupakan bentuk kejahatan sistematis terhadap masyarakat pesisir.
Baca juga: Limbah Plastik Impor yang Dianggap Racuni Indonesia dalam Sorot Media Internasional...
Sementara itu, Koordinator JATAM, Merah Johansyah mengatakan, fly ash dan bottom ash memiliki potensi untuk mencemari sungai dan laut yang menjadi pusat kehidupan masyarakat pesisir.
"Limbah ini kalau tercemar ke air membuat biota ikan mati, itu terjadi baik di masyarakat yang hidup di pesisir sungai dan laut. Padahal 82 persen perusahaan batu bara di Indonesia letaknya di wilayah pesisir. Jadi ini kejahatan sistematis pemerintah pada masyarakat pesisir," kata Merah, seperti diberitakan Kompas.com, Jumat (12/3/2021).
Menurut Merah, pemerintah hanya menghitung potensi investasi yang didapat dari pengeluaran fly ash dan bottom ash dari daftar limbah B3, namun mengabaikan ancaman kerusakan lingkungan yang dapat terjadi sebagai implikasi dari penerbitan aturan tersebut.
Baca juga: Ramai soal Video Daun Kelor yang Disebut Dapat Menetralisir Racun, Ini Penjelasan Dokter...
Padahal masyarakat di sekitar PLTU batu bara itu menghadapi kematian dini. Mereka paru-parunya hitam, dan juga terkena kanker," ujar Merah.
Dia menambahkan, saat ini pengawasan hukum pada pengelolaan limbah bottom ash dan flying ash masih bermasalah. Apalagi, kata dia, jika dua jenis limbah batu bara tersebut dikeluarkan dari kategori limbah B3.
"Penegakan hukumnya akan keropos, pengawasan lemah, akan membuat perusahaan batu bara makin ugal-ugalan. Jadi peraturan pemerintah ini tidak tepat dikatakan untuk perlindungan lingkungan hidup," kata Merah.
Baca juga: Indonesia Masuk 10 Negara Produsen Emas Terbesar, Berapa Banyak Emas yang Tersisa di Bumi?
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.