Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkaca dari Kasus Sopir Avanza Tewas Diamuk Massa, Mengapa Orang Mudah Terprovokasi?

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ilustrasi kekerasan
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Dua orang pria diamuk massa di kawasan Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, Minggu (14/3/2021), setelah menyenggol pengemudi sepeda motor.

Diberitakan Kompas.com, Senin (15/3/2021) salah seorang korban, RAN (38), pengemudi mobil Toyota Avanza yang menyenggol sepeda motor itu, tewas setelah mengalami luka berat di sekujur tubuhnya.

Satu korban lainnya, penumpang berinisial MS (33) mengalami luka-luka, namun nyawanya masih bisa diselamatkan.

Kasat Reskrim Polres Padang Pariaman, AKP Ardiansyah Rolindo, mengatakan, kedua pria itu menjadi korban amukan massa karena diteriaki maling, setelah mobil yang mereka kendarai menyenggol seorang pengendara motor hingga jatuh.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Padahal mereka bukan maling. Mereka (korban) orang baik-baik bekerja sebagai pemasang CCTV dan hendak ke Bukittinggi," kata Ardiansyah.

Baca juga: Berkaca dari Kasus Artis TikTok di Madiun, Mengapa Para Remaja Cenderung Abai Prokes Saat Kasus Covid-19 Terus Meningkat?

Kronologi kejadian

Ardiansyah mengatakan, pengeroyokan bermula dari mobil Toyota Avanza yang dikemudikan korban menyenggol sepeda motor.

Setelah itu, korban menghentikan kendaraannya dan turun dari mobil untuk melihat kondisi pengendara sepeda motor.

Ardiansyah mengatakan setelah korban turun dan mengecek kondisi pengendara sepeda motor, korban kemudian pergi, dan selanjutnya diteriaki maling oleh pengemudi sepeda motor.

Baca juga: Berkaca dari Kasus WhatsApp dan Eiger, Bagaimana Seharusnya Brand Menyikapi Karakteristik Pengguna Medsos?

"Korban awalnya turun dari mobil dan melihat kondisi pengemudi sepeda motor yang disenggol. Tapi selanjutnya korban pergi sehingga diteriaki maling," kata Ardiansyah.

Mendengar teriakan dari pengendara sepeda motor, massa yang cukup ramai saat itu mengejar korban dan kemudian menganiaya dengan cara memukul dan menginjak korban.

"Korban mengalami luka-luka di tubuhnya. Korban RAN mengalami luka berat dan kemudian dilarikan ke rumah sakit, tapi nyawanya tidak tertolong," kata Ardiansyah.

Baca juga: Berkaca dari Airlangga Hartarto, Bisakah Orang yang Belum Terinfeksi Covid-19 Jadi Donor Plasma Konvalesen?

Kekerasan kolektif

Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono mengatakan, peristiwa yang menewaskan sopir mobil Avanza itu adalah bentuk kekerasan kolektif atau kekerasan yang melibatkan banyak orang.

Menurut Drajat, dalam kerumunan massa, kekerasan kolektif tidak memerlukan rasionalitas untuk bisa terjadi.

Dia menyebut, dalam sosiologi hal ini dikenal dengan teori looking self glass, atau peristiwa ketika banyak orang melakukan tindakan yang sifatnya ikut-ikutan atau meniru.

Baca juga: Viral Prank Sembako Sampah, Ferdian Paleka, dan Ketiadaan Empati...

Menurut Drajat, ada beberapa faktor yang menyebabkan kekerasan kolektif itu terjadi.

Pertama, adalah adanya kultur kekerasan dan heroisme atau kepahlawanan yang masih terpelihara dalam masyarakat. 

"Ketika dikatakan maling, orang bertindak untuk melindungi korbannya itu, dan korbannya (pengendara motor) itu ternyata adalah pelakunya sendiri," kata Drajat saat dihubungi Kompas.com, Rabu (17/3/2021).

Baca juga: Ricuh Demonstrasi Tolak Omnibus Law, Bolehkah Polisi Pakai Kekerasan?

Aksi main hakim sendiri

Selain faktor kultur kekerasan, Drajat menilai, menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum formal juga menjadi salah satu pemicu mereka melakukan aksi main hakim sendiri. 

"Adanya ketidakyakinan terhadap penegak hukum, seperti polisi, untuk menyelesaikan kasus secara cepat, membuat orang kemudian memilih melakukan dengan caranya sendiri," kata Drajat.

Drajat berpendapat, untuk menanggulangi kekerasan kolektif semacam itu, penegak hukum perlu menunjukkan bahwa mereka bisa diandalkan oleh masyarakat.

Baca juga: Viral Prajurit TNI Rebut Pistol Milik Polisi, Ini Penjelasannya...

Dalam hal ini, dia menyebut bahwa polisi harus menangkap semua pelaku yang terlibat dalam pengeroyokan tersebut.

"Karena kekerasan kolektif itu tidak mempunya nama. Semua orang yang terlibat adalah pelaku," kata Drajat.

Dikonfirmasi terpisah, praktisi psikologi dari kota Surakarta, Hening Widyastuti, mengatakan, kasus pengeroyokan itu terjadi karena ada kumpulan individu-individu yang situasi mentalnya labil.

Baca juga: Soal Kawin Tangkap di Sumba dan Budaya Kekerasan terhadap Perempuan...

Bukan semata aksi spontan

Menurut Hening, dalam situasi berkerumun, individu-individu itu akan lebih cepat terpengaruh pada satu teriakan instruksi dari salah satu di antara mereka.

"Tanpa pikir panjang ikut-ikutan saja, tanpa berpikir lebih jauh dan berpikir, apakah sikap dan perilakunya salah atau benar, merugikan orang lain atau tidak," kata Hening saat dihubungi Kompas.com, Rabu (17/3/2021).

"Ini sangat berkaitan dengan psikologi massa, di mana sangat mudah sekali untuk mempengaruhi kerumunan massa," kata dia.

Baca juga: Mengapa Kasus Kekerasan di Sekolah Taruna Masih Terjadi?

Hening mengatakan, secara psikologis, kerumunan atau massa merasa memiliki kekuatan bersama untuk melakukan suatu hal. Mereka merasa aman karena berkelompok.

"Berbeda sekali ketika individu hanya dalam situasi sendiri. Secara psikologis tidak memiliki kekuatan untuk melawan, lebih pasif dan terkendali sifatnya," kata Hening.

Hening juga menilai, pengeroyokan yang terjadi itu bukan semata aksi spontan. Ada latar belakang kuat yang kemudian meletup menjadi kekerasan kolektif.

Baca juga: Marak Kasus Kekerasan Seksual, Apa Isi dan Polemik RUU PKS?

"Kondisi psikologis masyarakat kita saat ini mudah sekali tersulut emosi. Hal ini dipengaruhi secara langsung maupun tidak, dengan situasi politik, ekonomi, dan sosial yang tidak stabil," kata Hening. 

Dia menyebut, ketidakstabilan situasi politik, ekonomi, dan sosial, telah memicu banyak individu untuk memendam stress akibat tekanan hidup yang mereka rasakan.

"Individu yang mengalami stres dan tekanan hidup, akan mudah tersulut emosi. Nalar dan logika terabaikan, sehingga mengakibatkan pengambilan keputusan yang salah, bisa merugikan diri sendiri atau orang lain," pungkas Hening.

Baca juga: Garis Kotak Kuning di Tengah Jalan, Namanya Yellow Box Junction, Apa Fungsinya?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi