Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang Nawal El Saadawi, Penulis dan Pejuang Hak Perempuan dari Mesir

Baca di App
Lihat Foto
AFP/MARINA HELLI
Tunisian Egyptian feminist writer Nawal el Saadawi speaks during a radio show hosted by France Inter and daily newspaper Le Monde 8 mars, 8 femmes (March 8, 8 women) on March 8, 2012 in Paris. AFP PHOTO / MARINA HELLI (Photo by MARINA HELLI / AFP)
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Kabar duka menyelimuti dunia sastra. Nawal El Saadawi, seorang sastrawan yang dikenal dengan perjuangannya atas hak perempuan, meninggal dunia pada Minggu (21/3/2021).

Dilansir dari CNN, berdasarkan surat kabar yang dikelola Pemerintah Mesir bernama Al-Ahram, El Saadawi meninggal dunia pada usianya yang ke-89 tahun.

Di hari kematiannya, akun Twitter resmi @NawalElSaadawi1 mengunggah sebuah twit "Aku akan mati, dan kamu akan mati. Yang penting adalah bagaimana hidup sampai kamu mati," tulisnya.

Kabar berpulangnya Nawal El Saadari menjadi duka bagi penggemar buku dan pemikiran El Saadawi.

Bagaimana kehidupan El Saadawi dan perjuangannya dalam menyuarakan hak-hak perempuan?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Profil Samia Suluhu Hassan, Presiden Perempuan Pertama Tanzania

Sempat dipaksa menikah

Nawal El Saadawi lahir pada 1931 di desa Kafir Tahla, Mesir. Ayahnya adalah seorang pejabat pemerintah dengan gaji kecil, sedangkan ibunya berasal dari latar belakang keluarga kaya.

Dilansir dari BBC, keluarga El Saadawi sempat mencoba memenikahkannya saat usia El Saadawi masih 10 tahun.

Ia menolak. Ibunya pun ada di sisinya dan mendukung El Saadawi. Orangtuanya mendukung El Saadawi dalam dunia pendidikan.

Sejak kecil ia sudah sadar, anak perempuan kurang dihargai daripada anak laki-laki.

Pada suatu hari, neneknya mengatakan bahwa seorang anak laki-laki berharga setidaknya 15 perempuan dan perempuan adalah penyakit busuk.

Pengalaman traumatis semasa kecil lainnya adalah mutilasi alat kelamin perempuan (FGM) pada usia 6 tahun.

Dalam bukunya, The Hidden Face of Eve, dia menggambarkan menjalani prosedur yang menyakitkan di lantai kamar mandi, saat ibunya berdiri di sampingnya.

Baca juga: Profil Penemu Seismograf: John Milne

Dipecat karena tulisan

El Saadawi menyelesaikan novel pertamanya pada usia 13 tahun.

Ia lulus dengan gelar kedokteran dari Universitas Kairo pada 1955 dan bekerja sebagai dokter. Sampai akhirnya mengambil spesialisasi di bidang psikiatri.

Karirenya berlanjut sampai kemudian menjadi direktur kesehatan masyarakat oleh Pemerintah Mesir.

Di sela kesibukannya, El Saadawi tetap menulis. Ia pun menerbitkan buku nonfiksi berjudl Women and Sex, yang mengulas tentang hak perempuan, penindasan seksual, dan FGM.

Bukunya kontroversial dan pada 1972. Pemerintah memecat El Saadawi karena buku itu.

Setahun berikutnya, Majalah Health yang dirikan oleh El Saadawi juga dibredel.

Namun, represi pemerintah tak berhenti untuk mengungkapkan kebenaran dan perjuangannya atas hak perempuan di Mesir.

Pada 1975, El Saadawi menerbitkan novel Perempuan di Titik Nol, yang diangkat dari kisah kehidupan nyata seorang wanita terpidana mati yang ditemuinya.

Selanjutnya, pada 1977 terbit dokumentasi Hidden Face of Eve, di mana dia mendokumentasikan pengalamannya sebagai seorang dokter desa yang menyaksikan pelecehan seksual, pembunuhan demi kehormatan dan prostitusi.

Baca juga: Profil Penemu Oven Microwave: Percy Spencer

Menulis dengan pensil alis di bui

Karya-karya El Saadawi membuat kaum patriarki geram. Karya dan pemikirannya menimbulkan kemarahan, bahkan seorang kritikus menuduhnya memperkuat stereotip perempuan Arab.

Dilansir dari Al Jazeera, kelompok agamis menggambarkan El-Saadawi sebagai kekuatan penghancur dalam wacana sosial dan budaya Mesir modern.

Pada September 1981, El Saadawi ditangkap dengan tuduhan pembangkang di masa pemerintahan Presiden Anwar Sadat. Ia ditahan di penjara selama tiga bulan.

Bui tak menghentikannya. Selama di penjara, El Saadawi menulis memoarnya di atas kertas toilet, menggunakan pensil alis yang diselundupkan kepadanya oleh seorang pekerja seks yang dipenjara.

Setelah Presiden Sadat dibunuh, El Saadawi dibebaskan.

Dia telah menulis lebih dari 24 buku dalam bahasa Arab. Akan tetapi, karya-karyanya disensor dan buku-bukunya dilarang di Mesir.

Pada tahun-tahun berikutnya, dia menerima ancaman pembunuhan dari fundamentalis agama, dibawa ke pengadilan, dan akhirnya diasingkan di Amerika Serikat (AS).

Baca juga: Profil Penemu Popok: Marion Donovan

Dituduh bidah

Pada 1982 , ia mendirikan Asosiasi Solidaritas Perempuan Arab dengan El Saadawi sebagai presidennya.

Akan tetapi, pada Juni 1991, Pemerintah Mesir menutup paksa asosiasi tersebut dan mengalihkan dana asosiasi ke Asosiasi Perempuan Islam

El-Saadawi bekerja sebagai profesor tamu di Duke University, di AS, antara 1993 dan 1994 dan mengepalai Program Wanita di UN-ECWA, di Beirut.

Pada Juni 2001 El Saadawi didakwa oleh pengadilan Mesir atas tuduhan ajaran sesat di Kairo.

Seorang pengacara Mesir, Nabil al-Wahsh, mengajukan pengaduan terhadapnya karena dianggap tidak menghormati agama.

Tak menemukan bukti kuat, pengadilan urusan sipil Kairo pun membebaskannya pada 30 Juli 2001 dan membatalkan semua dakwaan terhadapnya.

El Saadawi sempat kembali ke Mesir, negara yang dicintainya pada 1996. Kepulangannya langsung menimbulkan keributan.

Ia sempat mencalonkan diri untuk menjadi presiden dalam pemilihan umum 2004. Ia bahkan berada di Lapangan Tahrir Kairo untuk melakukan pemberontakan tahun 2011 melawan Presiden Hosni Mubarak.

Pemikiran El Sadaawi

El Saadawi sangat vokal terhadap doktrin agama yang menegasikan hak perempuan, kolonialisme, dan kemunafikan 'barat'.

Tak hanya Islam, yang jadi agama mayoritas warga di Mesir, ia bahkan mengkritik semua agama.  

Atas karya dan pemikirannya, El Saadawi menerima banyak gelar kehormatan dari universitas di seluruh dunia.

Pada 2020, majalah Time menobatkannya sebagai salah satu dari 100 Women of the Year dan mendedikasikan sampul depan untuknya.

El Saadawi kerap mengkritik kelompok feminis yang memisahkan antara kesetaraan perempuan dengan kapitalisme.

"Mereka tidak menyadari hubungan antara pembebasan perempuan di satu sisi dan ekonomi dan negara di sisi lain. Banyak yang menganggap hanya patriarki sebagai musuh mereka dan mengabaikan kapitalisme korporat," kata Saadawi.

Di akhir kehidupannya, El Saadawi menghabiskan tahun-tahunnya di Kairo bersama dengan putra dan putrinya.

Selamat jalan dan terima kasih Nawal El Saadawi!

Baca juga: Profil Irene Sukandar, Grand Master Indonesia yang Akan Hadapi Dadang Dewa Kipas

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi