Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dosen Prodi Jurnalistik UMN
Bergabung sejak: 27 Mei 2020

Mantan jurnalis media online. Saat ini bekerja sebagai dosen di Prodi Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Ia sedang menyusun disertasi di Program Pascasarjana, Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia. Minat risetnya adalah kajian media, jurnalisme dan isu keberagaman.

Foto Close Up Jasad Teroris, Perlukah Muncul di Media?

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA
Personel kepolisian dengan rompi anti peluru dan senjata laras panjang berjaga di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (31/3/2021). Mabes Polri memperketat penjagaan pascaserangan dari terduga teroris yang tewas di tempat usai baku tembak. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.
Editor: Heru Margianto

VIDEO penyerangan Mabes Polri bermunculan tak lama setelah peristiwa ini terjadi pada Rabu sore, 31 Maret 2021. Tiap video menampilkan rentetan peristiwa secara mendetail hingga akhirnya si penyerang tewas.

Beberapa jam kemudian, foto jasad terduga teroris lengkap dengan close-up wajahnya yang terpercik darah muncul di salah satu berita media daring besar. Tertulis di bawah foto, sumber gambar: istimewa.

Biodata terduga teroris juga menyertai foto tadi, lengkap hingga keterangan tempat tinggalnya.

Satu jam setelahnya Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika Dedy Permadi menyatakan pihaknya memulai patroli di dunia maya buat merazia konten video atau foto penyerangan di Mabes Polri itu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alasannya, konten video atau foto yang menampilkan aktivitas kekerasan dan gambar korban, bisa menimbulkan keresahan publik.

Baca juga: Kominfo Pantau Foto dan Video Sensitif Terkait Penyerangan Mabes Polri

Foto atau video yang menampilkan kekerasan memang memicu kontroversi di ranah media karena memang tidak selalu ada aturan soal pemuatannya.

Pada Pedoman Media Siber misalnya, hal ini tidak diatur secara khusus walau foto seperti ini kerap muncul, mulai dari aksi kriminalitas, kecelakaan, hingga kasus terorisme.

Ada dua sisi yang punya pandangan berbeda terhadap visual bermuatan kekerasan. Sama seperti prinsip kerja jurnalisme cover both sides, ada baiknya redaksi juga perlu menimbang dua perspektif pada khalayak sebelum memutuskan menayangkannya.

Kelompok pertama adalah yang melihat media yang menayangkan foto kekerasan sejatinya hanya menampilkan realitas yang ada. Tidak semua realitas berisi keindahan. Ada realitas yang membuat orang marah, sedih, atau takut.

Kekerasan yang terjadi di masyarakat perlu juga ditampilkan, karena memang itulah kenyataannya. Menyembunyikannya justru bisa membuat masyarakat malah abai terhadap kenyataan yang ada.

Di lain sisi, ada mereka yang berpendapat foto semacam ini tidak manusiawi untuk ditayangkan. Atau seperti Kominfo yang berpandangan bahwa foto itu bisa menimbulkan keresahan publik.

Sisi Ketiga: Apa Pentingnya Foto Kekerasan dan Korban?

Kedua pandangan tadi layaknya dua sisi mata uang yang bertolak belakang. Tapi tentu saja ada sisi ketiga: perspektif jurnalisme atau pertimbangan internal dari redaksi menelaah apakah ada nilai berita dari foto tersebut.

Pertanyaan ini bisa langsung dijawab, foto mayat tersebut punya nilai berita. Setidaknya foto itu memenuhi kriteria aktualitas berita.

Namun proses pengambilan keputusan memunculkan foto seharusnya tidak berhenti sampai di situ. Apakah karena foto tersebut memiliki nilai berita, maka ia serta-merta layak ditayangkan?

Inilah pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang semestinya dijawab oleh media sebelum menayangkan foto bermuatan kekerasan:

1. Apakah nilai informatif foto bisa tergantikan?

Foto bisa membantu pemahaman masyarakat, terlebih pada masyarakat yang sudah terbiasa dengan konten visual untuk memahami sebuah peristiwa.

Tapi benarkah foto ini tak bisa digantikan oleh teks deskriptif yang menjelaskan peristiwa? Adakah foto lain yang berbobot sama sebagai alternatif foto tadi?

2. Apa dampak foto tersebut pada keluarga pelaku?

Empati menjadi pertimbangan penting selain nilai informasinya. Apakah dampak dari foto tersebut pada keluarganya?

Pada banyak kasus, keluarga pelaku teror tidak mengetahui aktivitas radikal pelaku dan belum tentu sepakat dengan aksi kekerasan mereka.

Memori terakhir dari keluarga bisa jadi adalah foto close-up jasad tersebut yang mungkin akan selamanya ada di dunia maya.

Foto yang akan mengingatkan keluarga tersebut, termasuk yang masih belia, terhadap peristiwa yang bagi mereka mengagetkan, menyedihkan, atau membuat mereka malu.

3. Efek jera bagi teroris, efek balas dendam, atau efek glorifikasi?

Bagi kelompok yang berpaham radikal, foto semacam ini bisa bermuara pada beberapa hal. Di satu sisi, foto ini malah bisa jadi sanjungan bagi pelaku dan kelompoknya dari mereka yang berpandangan serupa.

Jerome Fenoglio, direktur Harian Le Monde di Perancis mengatakan medianya berhenti menayangkan foto teroris demi menghentikan kebencian.

“Sejak penyerangan di Nice, kami tidak akan lagi menayangkan foto dari pelaku pembunuhan, untuk menghindari potensi efek glorifikasi pascakematian.”

Foto dan juga video penembakan berkali-kali pada pelaku bisa memunculkan motif membalas dendam dan mendorong tindakan teror berikutnya.

Di sisi yang lebih mungkin tidak terjadi adalah efek jera, bahwa foto tersebut akan membuat teroris mengurungkan niatnya.

4. Bergunakah bagi masyarakat bila melihat foto tersebut?

Terkait dengan terorisme, foto yang ditayangkan bisa dibenarkan bila bermanfaat, misalnya membuat masyarakat menjadi lebih sadar dan peduli terhadap bahaya terorisme dan ikut mendukung aksi antiterorisme.

Contoh ini bisa dilihat adalah pada kasus Emmett Till, remaja Afro Amerika yang menjadi korban pembunuhan secara brutal di Mississippi.

Media menayangkan foto tubuhnya dalam peti yang terbuka. Langkah ini dibela banyak kalangan karena realitas yang ditampilkan justru mendorong gelombang gerakan menentang rasisme.

Setiap media tentu punya pertimbangan tersendiri. Namun khalayak mengharapkan sebelum konten foto atau video sampai kepada mereka, maka haruslah sudah melewati rangkaian diskusi dan pertimbangan yang matang.

Tanpa justifikasi yang kuat, media yang menayangkan foto bermuatan kekerasan akan dengan mudahnya menerima tuduhan eksploitasi tragedi dan mencari sensasi semata.

Pun jika proses di redaksi berujung pada keputusan untuk mempublikasikan foto jasad teroris, setidaknya media bisa memberi peringatan kepada khalayak sebelum mereka klik tautan dan membaca isinya.

“Berita mengandung foto kekerasan yang mungkin membuat Anda tidak nyaman. Berita tidak cocok dikonsumsi anak anak.”

Cara ini akan membuat mereka yang tak sepakat dengan penayangan foto kekerasan bisa terhindar dari melihatnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi