Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkaca dari Kasus Gay di Thailand, Mengapa Netizen Gemar Nyinyir dan Komentar Negatif di Jagat Maya?

Baca di App
Lihat Foto
FACEBOOK/SURIYA KOEDSANG via Coconut
Suriya Koedsang (kanan) bersama suaminya dalam pesta pernikahan. Pasangan sesama jenis asal Thailand itu dihujat oleh netizen Indonesia, bahkan mengarah ke ancaman mati.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Media sosial baru-baru ini diramaikan dengan informasi adanya pasangan gay asal Thailand yang mengaku mendapat banyak komentar negatif dari netizen asal Indonesia atas pernikahan yang dilakukan keduanya.

Mereka mempertanyakan mengapa mereka mendapat hujatan itu dari netizen negara lain, padahal mereka menikah di negaranya sendiri secara resmi dan bahagia dengan adanya restu keluarga.

Baca juga: Menilik Penyebab Microsoft Sebut Warganet Indonesia Tidak Sopan Se-Asia Tenggara

Apakah hal ini menunjukkan kebenaran survei Microsoft yang menempatkan netizen Indonesia di jajaran akhir dari urutan netizen tersopan di dunia?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengamat media sosial Enda Nasution menyebut, hal ini sesungguhnya tidak bisa disimpulkan bahwa netizen Indonesia memiliki sifat yang lebih buruk dibandingkan netizen dari negara lain.

Enda menjelaskan pada dasarnya sifat seseorang saat berada di dunia maya memang akan berbeda dengan perangainya di dunia nyata.

"Ada kecenderungan memang di media sosial kita itu jadi lebih julid ya, atau lebih kasar gitu ya, atau lebih berani juga untuk menyampaikan pendapat yang belum tentu benar," kata Enda saat dihubungi Kompas.com, Rabu (14/4/2021).

Baca juga: Ramai soal Penipuan COD di Medsos, Bagaimana Mengantisipasinya?

Sejumlah alasan yang mendasari

Ada sejumlah alasan mengapa hal itu terjadi.

Pertama adalah jarak.

Di media sosial, netizen dan pihak yang mereka komentari berada dalam jarak tertentu yang hanya bisa dijangkau melalui media atau alat, tidak secara langsung.

"Ini membuat kita pun lebih punya sedikit konsekuensinya dibandingkan dengan kalau kita bicara langsung. Kalau kita bicara langsung tentu selalu ada potensi lawan bicara kita ini marah atau mengeluarkan emosi dan lain sebagainya. Kalau lewat medium atau lewat device tentu lebih terlindung kita," kata Enda.

Baca juga: Mengenal Apa Itu Body Shaming yang Sempat Ramai di Media Sosial...

Alasan lain, di media sosial tidak ada reaksi secara fisik atau emosi dari pihak yang dikenai aksi yang dapat dilihat langsung oleh netizen yang dalam hal ini menjadi pelaku penyerangan, penghujatan, dan sebagainya.

"Konsekuensi fisik mungkin orangnya marah, kita pun juga terlindung dari konsekuensi emosional ya, jadi kita tidak perlu melihat orang marah atau orang nangis atau orang sedih gara-gara kata-kata yang kita sampaikan, karena kita tidak akan bisa melihatnya secara langsung. Termasuk juga gestur," papar Enda.

Selanjutnya, mengapa di media sosial netizen cenderung lebih ringan dalam bertindak yang demikian itu dikarenakan adanya kelompok berpikir komunitas atau group think.

"Kita tidak berpikir secara individual tapi mengikuti alur mayoritas atau nada yang sudah disampaikan oleh orang-orang lain dalam forum yang sama dan dengan kondisi itu, maka kita pun seolah-olah jadi kayak berlomba siapa yang bisa paling lucu atau paling kejam atau paling keji atau paling menusuk perasaan orang. Itu juga mengakibatkan intensitas ke dalam "kekejaman" komentar kita juga makin meninggi," papar dia.

Baca juga: Mengenal Apa Itu Microneedling yang Tengah Viral di Media Sosial...

Banyak faktor

Kondisi yang sama juga terjadi pada netizen dari negara mana pun, tidak hanya Indonesia.

Hal itu mengakibatkan adanya kecenderungan untuk berlaku lebih berani dalam artian keji, kasar, dan sebagainya.

"Tapi memang orang Indonesia termasuk negara yang intensitas penggunaan media sosialnya tinggi ya kalau dibandingkan dengan negara-negara lain (sehingga sifat yang demikian lebih menonjol dan seolah-olah lebih identik dengan netizen Indonesia)," pungkas Enda.

Baca juga: Libur Panjang, Perlukah Sejenak Melupakan Media Sosial?

Diberitakan Kompas.com (14/4/2021), psikolong asal Solo, Hening Widyastuti mengatakan munculnya hujatan terhadap pasangan pengantin gay Thailand tersebut dimungkinkan faktor etik budaya Asia, khususnya Indonesia yang pada dasarnya belum bisa diterima masyarakat.

Ada banyak faktor yang menurut Hening membuat para netizen berkomentar negatif terhadap sesuatu.

Dari kondisi sebagian masyarakat yang sudah lelah dan stres dengan situasi saat ini, faktor keluarga yang tidak harmonis, pengguna sosial media anak muda yang belum matang, hingga faktor lainnya.

Hening menambahkan bahwa kecerdasan emosional dalam kaitannya kontrol diri juga memengaruhi perilaku netizen.

Baca juga: Saat Jepang Miliki Menteri Kesepian untuk Cegah Depresi dan Bunuh Diri...

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi