Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Vaksin Nusantara Abaikan Saran BPOM, Epidemiolog Ingatkan Bahayanya

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/RISKA FARASONALIA
Pelayanan laboratorium di RSUP Kariadi Semarang, Rabu (17/2/2021).
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, apa yang dilakukan oleh peneliti vaksin Nusantara sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat.

Hal ini disampaikannya merespons tim peneliti vaksin Nusantara yang tidak melakukan penghentian uji klinik.

Bahkan, sejumlah anggota DPR diketahui menjadi relawan Vaksin Nusantara di RSPAD Gatot Soebroto.

"Yang jelas sangat berbahaya untuk kesehatan masyarakat. Riset produk kesehatan itu masalah besar yang menyangkut hajat hidup orang banyak," kata Dicky kepada Kompas.com, Kamis (15/4/2021).

Baca juga: Riwayat Vaksin Nusantara, Digagas Terawan hingga Dianggap BPOM Tak Sesuai Kaidah Medis

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kalau satu lembaga yang punya otorisasi dalam hal riset kesehatan ini diabaikan, berarti pelaku riset ini tak memahami kaidah ilmiah," lanjut dia.

Sebelumnya, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) menegaskan, vaksin Nusantara belum layak mendapat izin uji klinis fase II.

Dalam temuan BPOM, sebanyak 71,4 persen relawan uji klinis mengalami Kejadian Tak Diinginkan (KTD), berupa nyeri otot hingga gatal-gatal.

Selain itu, ada sejumlah syarat yang juga belum dipenuhi.

Syarat yang belum dipenuhi di antaranya adalah cara uji klinik yang baik, proof of concept, good laboratory practice, dan cara pembuatan obat yang baik.

Langkah BPOM sudah tepat

Menurut DIcky, langkah BPOM untuk tidak mengeluarkan izin uji klinis fase II sudah tepat.

Jika ada pihak yang menolak rekomendasi itu, Dicky mengatakan, pemerintah harus berani bertindak tegas karena berbahaya dan tidak memahami prosedur atau metode ilmiah.

Ia mengatakan, salah satu contoh ketidakpahaman pelaku riset di balik Vaksin Nusantara adalah melibatkan relawan yang sudah divaksin.

"Yang namanya riset uji fase I dan II itu ada metodologinya dan tidak boleh orang yang sudah divaksin dijadikan relawan, sudah tidak masuk kriteria," kata Dicky.

"Ini salah kaprah. Ini berbahaya ketika ada satu riset yang tidak merujuk dan berpedoman pada kaidah ilmiah. Namanya bukan riset, dan itu tidak bisa menjamin keamanan. Harus ada ketegasan dari pemerintah," lanjut dia.

Dicky menyebutkan, strategi pandemi harus memilih teknologi riset yang jelas dan memiliki dasar ilmiah yang kuat dalam memberikan dampak pada kesehatan masyarakat.

Misalnya, penggunaan mRNA dalam vaksin Covid-19. Meski relatif baru, vaksin dengan metode mRNA memiliki rujukan ilmiah yang kuat.

"Nah kalau bicara vaksin Nusantara, teknologinya saja masih dalam kajian panjang. Studi praklinis masih terus dilakukan karena banyak hal yang belum mendapatkan hasil meyakinkan," ujar Dicky.

Terkait metode dendritik yang digunakan vaksin Nusantara, Dicky menilai, kurang tepat untuk digunakan sebagai strategi kesehatan masyarakat.

Selain membutuhkan SDM yang banyak dan intensif, vaksin itu juga membutuhkan biaya yang sangat mahal.

Terlepas dari itu, Dicky mengingatkan, suatu riset disebut valid dan akurat jika tahapan ilmiahnya ditaati dan dibuktikan.

Baca juga: Vaksin Nusantara Diklaim Karya Anak Bangsa, tetapi Komponennya Impor

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi