Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Sepak Terjang Multatuli, Sosok yang Menginspirasi RA Kartini

Baca di App
Lihat Foto
britannica.com
Eduard Douwes Dekker
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - April adalah bulannya Kartini. RA Kartini yang lahir di Jepara, 21 April 1879, merupakan tokoh Jawa yang dinobatkan sebagai pahlawan nasional berkat jasa-jasa pemikirannya yang mengentaskan kaum wanita dari batasan-batasan sempit ala kolonial.

Anak kelima dari 11 bersaudara ini mengasah pola pikirnya di berbagai tempat, tak mengenal sekat. Pertama, ia belajar bahasa Belanda di Europese Lagere School hingga berusia 12 tahun.

Selepas itu, ketika ia harus masuk pingitan, Kartini mencari celah pengetahuan dari berbagai lembar karya sastra.

Dua di antaranya, yang ia baca berkali-kali dan mungkin yang paling menginspirasi, adalah Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli. 

Dari kegemaran membaca dan menimba ilmu dari karya sastra inilah, Kartini akhirnya punya gagasan megah, yaitu mencerdaskan dan memajukan wanita-wanita pribumi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Biografi RA Kartini, Pejuang Emansipasi Perempuan

Pemberontakan panjang Multatuli   

Multatuli adalah nama pena dari laki-laki kelahiran Amsterdam tahun 1820, Eduard Douwes Dekker.

Multatuli sendiri diambil dari bahasa latin yang artinya adalah, "Aku sudah banyak menderita."

Sedari muda, Multatuli menjadi pegawai pemerintah Hindia Belanda. Tak seperti bangsa kulit putih lainnya, Multatuli tumbuh dengan nurani yang berbeda.

Ia kerap tak tega melihat kaum jajahan yaitu rakyat Indonesia yang hidupnya terus-menerus terampas.

Multatuli pun terus menentang bangsanya sendiri. Ia berjuang membela hak-hak rakyat kecil selama 20 tahun lamanya.

Hingga akhirnya ia memutuskan pergi dari Indonesia dan menetap di Brussel, Belgia, dan meninggalkan anak istrinya tetap di Batavia.

Baca juga: Meratapi Rumah Multatuli

Melahirkan karya sastra dalam himpitan kemiskinan

Merunut Historia.id, Multatuli sempat bekerja sebagai redaktur sebuah surat kabar di Media.

Namun tak lama ia pun hengkang dan mengadu nasib menjadi juru bahasa di konsulat Perancis di Nagasaki. Dimana karir yang ini, juga tak menemukan jalan lain selain kemiskinan.

Dalam himpitan kemiskinan dan pernikahan yang di ambang perceraian, Multatuli menepi di sebuah penginapan sederhana bernama In de kleine prins di ruas De la fourche nomor 52.

Di losmen inilah, Multatuli justru bisa menemukan jalan keluar dari pemikiran-pemikiran anti kolonialnya.

Sel-sel pembangkangan tertuang lugas dalam lembar demi lembar buku Max Havelaar, sebuah buku otobiografi yang menceritakan panjang lebar soal kekejaman pemerintah Belanda terhadap suku pribumi di daerah jajahan.

Dalam Max Havelaar, secara tegas Multatuli menentang sistem tanam paksa yang menyiksa rakyat kecil.

Terbitan pertama meluncur tahun 1860 dan memicu kericuhan di Belanda. Di tahun 1875, Max Haveelar diterbitkan kembali dengan editan penuh dan nama penulis yang ditulis utuh.

Baca juga: Baduy Travel Mart Angkat Kisah Multatuli

Warisan yang dilahap oleh Kartini

Semenjak Max Havelaar, Eduard sudah menggunakan nama Multatuli. Nama ini dipakai terus di karya sastra selanjutnya seperti Minnerbrieven (Surat-Surat Cinta), Dialog-Dialog Jepang, juga Ide-Ide.

Minnerbrieven atau Surat-Surat Cinta adalah buku yang berisi korespondensi antara dirinya dengan Tine (isterinya) dan Fancy (wanita khayalannya).

Meski dari judul dan isinya seolah menceritakan roman percintaan, namun sebenarnya Multatuli tengah mencibir kekuasaan kolonial dalam bentuk sindiran-sindiran satir.

Eduard atau Multatuli berhenti menulis sejak tahun 1877. Meski di usia tuanya ia masih sering melakukan perjalanan melelahkan dari Jerman, tempatnya menetap dengan isteri keduanya, menuju Belanda untuk menjadi pembicara ceramah menyampaikan pemikiran-pemikirannya.

Perjuangan Multatuli baru terhenti total di tanggal 19 Februari 1887. Di sebuah hari yang tenang di tepian sungai Rhein, Multatuli meninggal ketika duduk di kursinya dalam dekapan asma yang sudah lama dideritanya.

Seabad setelahnya, atau seratus tahun peringatan meninggalnya Multatuli, didirikanlah sebuah patung karya Hans Bayens di Amsterdam, Belanda.

Dalam acara yang dihadiri pula oleh Ratu Beatrix tersebut, seorang pembicara bernama Geert van Oorschot mengatakan bahwa meski Multatuli sudah pergi seratus tahun lamanya, namun semangat dan ide pemikiran anti kolonialnya terus ada dan tak pernah padam.

Baca juga: Berkunjung ke Museum Multatuli Lalu Menyusuri Banyak Kisah Sejarah

 

  

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi