Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

[KLARIFIKASI] Kemenkes Rugi Rp 20,9 T Beli Vaksin Sinovac Tak Bersertifikat WHO

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/AKBAR BHAYU TAMTOMO
Ilustrasi klarifikasi
|
Editor: Rendika Ferri Kurniawan

KOMPAS.com - Sebuah unggahan di media sosial Facebook menyebutkan bahwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengalami rugi akibat pengadaan vaksin Sinovac.

Dalam narasi yang beredar, Kemenkes diklaim telah mengeluarkan dana sebesar Rp 20,9 Triliun untuk membeli vaksin Sinovac dari perusahaan farmasi China.

Narasi itu menyebutkan kerugian karena vaksin buatan Sinovac adalah vaksin ilegal yang tidak memiliki sertifikat dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Dari hasil penelusuran dan konfirmasi tim Cek Fakta Kompas.com, ada yang perlu diluruskan dari narasi yang beredar itu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Narasi yang beredar

Narasi tersebut diunggah di media sosial Facebook oleh akun Navya Qaila Putri pada Minggu (11/4/2021).

Berikut narasi selengkapnya:

"Entah memang Dungu, atau memang G*bl** Kementrian Kesehatan akhirnya Menelan kerugian yang lumayan besar
Setelah Menggelontorkan Dana sebesar 20,9 Triliun untuk membayar Vacsin Sinovac buatan China, Ternyata Vacsin Sinovac tersebut Ilegal karena tidak Bersertifikat WHO,"

Narasi tersebut juga menyertakan tangkapan layar judul berita dari CNN Indonesia dan Kompas.com.

Berita dari CNN Indonesia tertanggal 14 Januari 2021 berjudul Menkes Ajukan Anggaran Rp 20,9 T untuk Bayar Vaksin Sinovac.

Sedangkan berita dari Kompas.com tertanggal Sabtu (10/4/2021) berjudul Sinovac Tak Bersertifikat WHO, Jemaah yang Divaksin Pakai Itu Dilarang Umrah?

Penelusuran Kompas.com

Untuk mengetahui kebenaran narasi yang beredar itu, tim Cek Fakta Kompas.com menelusuri isi berita yang judulnya disertakan dalam narasi tersebut.

1. Klaim anggaran Rp 20,9 T habis untuk vaksin Sinovac

Dalam pemberitaan CNN Indonesia, 14 Januari 2021, Menkes Budi Gunadi Sadikin mengaku telah mengajukan anggaran pengadaan vaksin Covid-19 buatan perusahaan farmasi asal China, Sinovac.

Total anggaran yang diusulkan kepada Kementerian Keuangan sebanyak Rp 20,9 triliun.

Potongan berita tersebut kemudian digunakan untuk membangun klaim bahwa Kemenkes telah menghabiskan dana Rp 20,9 triliun untuk membeli vaksin buatan Sinovac.

Anggaran Rp 20,9 triliun merupakan usulan anggaran dari Menkes Budi Gunadi Sadikin ke Kementerian Keuangan untuk pembelian vaksin Sinovac.

Mengutip Kompas.com, 9 Desember 2020, untuk membeli 3 juta dosis vaksin Sinovac pada tahun 2020, pemerintah membelanjakan anggaran sebesar Rp 637,3 miliar.

Sebanyak 3 juta dosis vaksin tersebut diberikan kepada tenaga kesehatan di 34 provinsi di Indonesia, yang merupakan prioritas pertama dalam program vaksinasi Covid-19 nasional.

2. Klaim vaksin Sinovac ilegal tak bersertifikat WHO

Dalam pemberitaan Kompas.com, Sabtu (10/4/2021) Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengatakan, salah satu syarat untuk mengikuti ibadah umrah adalah sudah disuntik vaksin Covid-19 yang bersertifikat WHO.

Namun, vaksin Sinovac belum memiliki sertifikat tersebut. Padahal, seperti diketahui, vaksin ini paling banyak diberikan kepada masyarakat Indonesia.

Sebelumnya, saat rapat kerja dengan Komisi VIII DPR, Jumat (9/4/2021), Yaqut menyebutkan kemungkinan sertifikasi Sinovac masih dalam proses.

"Kalau belum itu bukan berarti tidak, pasti ada proses yang sedang dilakukan agar Sinovac ini bisa teregister oleh WHO," katanya.

Potongan berita tersebut kemudian digunakan untuk membangun klaim bahwa vaksin Covid-19 buatan Sinovac adalah vaksin ilegal karena tidak memiliki sertifikat dari WHO.

Mengenai klaim tersebut, Jubir Vaksinasi Covid-19 dari Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi memberikan penjelasan.

Nadia mengatakan, WHO tidak mengeluarkan sertifikat untuk vaksin Covid-19, melainkan Emergency Use Listing (EUL) yang sifatnya sama dengan Emergency Use Authorization (EUA).

"Ini bukan sertifikat WHO. WHO tidak ada sertifikat tapi yang disebut EUL, ini adalah proses izin di dalam WHO kalau sebuah vaksin akan digunakan WHO," kata Nadia saat dihubungi Kompas.com, Selasa (13/4/2021).

"Jadi (EUL) seperti proses EUA dalam negara. Banyak negara juga menggunakan vaksin yang belum mendapatkan EUL karena proses di WHO sendiri yang sampai saat ini baru 2 vaksin yang sudah keluar EUL," kata Nadia melanjutkan.

Sejauh ini, baru ada dua vaksin yang mendapatkan EUL dari WHO, yaitu vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Pfizer-BioNtech serta AstraZeneca-Oxford.

Nadia mengatakan, banyak negara di dunia menggunakan vaksin yang belum mendapatkan EUL dari WHO.

"Tidak mungkin kalau semua negara menggunakan dua vaksin itu. Karena pasti tidak cukup. Nah, AstraZeneca saja kita ditunda pengirimannya," ujar Nadia.

Kesimpulan

Dari penelusuran dan konfirmasi yang dilakukan tim Cek Fakta Kompas.com, ada yang perlu diluruskan dari narasi tersebut.

Pertama, anggaran sebesar Rp 20,9 triliun itu merupakan usulan anggaran untuk pengadaan vaksin Sinovac yang diajukan oleh Menkes Budi Gunadi Sadikin kepada Kemenkeu.

Sedangkan anggaran yang telah dikeluarkan pemerintah pada tahun 2020 untuk membeli 3 juta dosis vaksin Covid-19 adalah sebesar Rp 637,3 miliar.

Kedua, klaim bahwa vaksin Sinovac ilegal karena tidak memiliki sertifikat dari WHO adalah tidak tepat, karena WHO memang tidak mengeluarkan sertifikat untuk vaksin Covid-19.

WHO menerbitkan Emergency Use Listing (EUL) yang sifatnya sama dengan Emergency Use Authorization (EUA). Sejauh ini, baru ada 2 vaksin yang mendapat EUL.

Kedua vaksin tersebut adalah vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Pfizer-BioNTech dan AstraZeneca-Oxford.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi