Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Ibnu Battutah, Penjelajah Muslim yang Pernah Berkunjung ke Samudra Pasai

Baca di App
Lihat Foto
Twitter/@blueprintafric
Perjalanan Ibnu Battuta
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Sekitar tahun 1345 Masehi, Ibnu Battutah, seorang penjelajah muslim terkenal asal Maroko berlabuh di pantai timur Sumatera.

Mengutip Harian Kompas, 15 November 2003, Ibnu Battutah tiba di Kerajaan Samudera Pasai, yang merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara, setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar).

Baca juga: Benarkah Manusia Pertama yang Mengelilingi Dunia Berasal dari Maluku?

Samudera Pasai

Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menggambarkan Samudera Pasai sebagai kota besar yang sangat indah, dengan dikelilingi dinding dan menara kayu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perdagangan di daerah itu juga sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas.

Namun yang lebih membuat takjub sang penjelajah itu adalah sosok pemimpin yang saat itu memerintah Samudra Pasai, Sultan Malikul Dhahir.

Dalam kisah perjalanannya ke Pasai, Ibnu Battutah menggambarkan Sultan Malikul Dhahir sebagai raja yang sangat saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian kepada fakir miskin.

Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Malikul Dhahir tidak pernah bersikap jemawa. Kerendahan hatinya itu ditunjukkan sang raja saat menyambut rombongan Ibnu Battutah.

Para tamunya dipersilakan duduk di atas hamparan kain, sedangkan ia langsung duduk di tanah tanpa beralas apa-apa.

Baca juga: Mengapa Orang Mesir Kuno Terobsesi dengan Kucing? Ini Alasannya

Perjalanan panjang Ibnu Battutah

Kisah kedermawanan penguasa Samudra Pasai itu merupakan satu dari sekian banyak kisah dari negeri-negeri yang pernah dikunjungi oleh Ibnu Battutah dalam perjalanannya.

Melansir History, separuh hidup Ibnu Battutah dihabiskan dalam pengembaraan mengelilingi belahan timur bumi.

Terkadang dia mengikuti rombongan unta, di lain waktu dia menumpang kapal, dan tak jarang Ibnu Battutah juga berjalan kaki untuk mencapai negeri tujuannya.

Selama 29 tahun, Ibnu Battutah telah berkelana ke lebih dari 40 negara. Kisah-kisah perjalanannya itu kemudian ditulis menjadi sebuah buku berjudul Rihla.

Bagi banyak sejarawan, Rihla menjadi salah satu sumber pengetahuan, untuk mengetahui seperti apa kehidupan pada abad ke-14.

Baca juga: Update Corona Global 20 April 2021: New Delhi Lockdown Seminggu

Awalnya berangkat Haji

Ibnu Battutah lahir di Tangier, Maroko, dari keluarga yang terpandang dan berpendidikan.

Pada tahun 1325 M, ketika berusia 21 tahun, dia meninggalkan kampung halamannya menuju Mekkah, untuk menunaikan ibadah Haji, selain juga untuk mempelajari Islam lebih dalam lagi.

"Aku memulai perjalanan itu sendirian, tanpa ada rekan musafir yang menemani perjalanan, atau karavan pedagang tempat aku bisa menemukan keceriaan," kata Ibnu Battutah menggambarkan kisah awal mula perjalanannya dalam Rihla.

"Namun dalam diriku bersemayam gejolak dan hasrat luar biasa, yang mendorongku untuk terus berjalan menuju Tanah Suci," tulis dia. 

Pada awal perjalanan, Ibnu Battutah mengendarai keledainya sendirian. Namun, ketika sampai di daerah Afrika Utara, dia bertemu dengan rombongan lain yang juga akan menunaikan Haji.

Dalam perjalanan menuju Mekkah, dia menyempatkan diri singgah sejenak di Mesir untuk mempelajari hukum Islam, dan untuk menjelajahi kota Alexandria serta Kairo, yang dia sebut sebagai "indah dan megah".

Baca juga: Ramadhan di Yerusalem Tahun Ini, 11.000 Orang Tarawih di Masjid Al Aqsa

Menjelajahi negeri muslim

Ibnu Battutah kemudian meneruskan perjalanan ke Mekkah, dan menunaikan ibadah Haji.

Perjalanannya bisa saja berhenti di situ, namun seusai menunaikan Haji, Ibnu Battutah justru memutuskan untuk menjelajahi negeri-negeri muslim yang lain.

Ibnu Battutah mengatakan, alasannya mengambil keputusan itu adalah karena dia mendapat mimpi, yang mana dalam mimpi itu dia dibawa terbang ke timur oleh seekor burung raksasa, dan ditinggalkan di sana.

Seorang cendekiawan kemudian menerjemahkan makna mimpi itu kepada Ibnu Battutah. Dia mengatakan, mimpi itu berarti bahwa Ibnu Battutah akan pergi menjelajahi bumi.

Keliling dunia

Setelah memutuskan untuk mengunjungi setiap negeri-negeri yang ditinggali oleh umat Islam, Ibnu Battutah menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam perjalanan.

Bersama karavan pedagang, dia berkunjung ke Persia dan Irak, lalu mengunjungi wilayah yang kini dikenal sebagai Azerbaijan.

Dari sana, dia meneruskan perjalanan ke Mogadishu, lalu meneruskan petualangannya ke Kenya dan Tanzania.

Baca juga: Arkeolog Temukan Kota Kuno Firaun Berusia 3.000 Tahun di Mesir

Dia kemudian melanjutkan perjalanan ke Turki, dan akhirnya sampai di Konstantinopel. Di kota itu, Ibnu Battutah menyempatkan diri mengunjungi Hagia Sophia.

Setelah beberapa bulan singgah di Konstantinopel, Ibnu Battutah meneruskan perjalanan menuju India, dan akhirnya tiba di kota Delhi pada 1334.

Di sana, Ibnu Battutah mendapat pekerjaan sebagai hakim, di bawah kepemimpinan Sultan Muhammad Tughluq.

Lalu, pada 1341, Sultan mengirimnya ke China sebagai utusan. Bersemangat akan tugas itu, Ibnu Battutah segera berangkat bersama karavan yang dipenuhi hadiah untuk negeri tujuan.

Meski demikian, perjalanan menuju China rupanya tidak mudah. Ibnu Battutah dan rombongan dihadang serangkaian kesulitan dalam perjalanan tersebut.

Sempat terdampar di Maladewa cukup lama akibat badai, Ibnu Battutah kemudian meneruskan perjalanan. Dia singgah sejenak di Sri Lanka, kemudian menumpang kapal dagang melalui kawasan Asia Tenggara.

Pada tahun 1345, setelah empat tahun meninggalkan India, Ibnu Battutah akhirnya menginjakkan kai di daratan China, tepatnya di pelabuhan Quanzhou.

Baca juga: Arkeolog Temukan 500 Benda Kuno Berusia 3.000 Tahun yang Jelaskan Asal Mula Bangsa China

Akhir perjalanan

Setelah menjelajahi China, Ibnu Battutah akhirnya memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Maroko. Pada tahun 1349, dia tiba di tempat kelahirannya di Tangier.

Pada saat itu, kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Sehingga Ibnu Battutah hanya tinggal sejenak di kampung halamannya, sebelum memulai perjalanan ke Spanyol.

Dari Spanyol, dia kemudian melanjutkan perjalanan ke Timbuktu, yang berada di wilayah Kekaisaran Mali di Gurun Sahara.

Sepanjang perjalanannya itu, Ibnu Battutah tidak pernah menulis cerita atau pengalaman yang dia alami. Namun, ketika pulang ke Maroko pada 1354, Sultan negeri itu memerintahkannya untuk mengumpulkan kisah perjalanannya.

Selama setahun berikutnya, Ibnu Battutah menghabiskan waktu mendiktekan perjalanannya kepada seorang penulis bernama Ibnu Juzayy.

Baca juga: Sejarah Kulkas, Ilmu Kuno yang Disempurnakan dari Abad ke Abad

Hasilnya adalah sebuah catatan sejarah lisan yang diberi judul Sebuah Hadiah bagi Mereka yang Merenungkan Keajaiban Kota dan Keindahan Bepergian, yang lebih dikenal sebagai Rihla (yang berarti perjalanan).

Setelah Rihla selesai ditulis, Ibnu Batutah menghilang dari catatan sejarah.

Dia diyakini bekerja sebagai hakim di Maroko dan meninggal sekitar tahun 1368, tetapi hanya sedikit yang diketahui tentang akhir hayatnya.

Tampaknya setelah menghabiskan seumur hidup di jalanan, sang pengembara hebat itu akhirnya puas tinggal di satu tempat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi