Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akademisi
Bergabung sejak: 7 Okt 2019

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Menilik Kembali Perjuangan dan Gagasan Kartini

Baca di App
Lihat Foto
(Dok Museum Pusat Jakarta/Arsip Kompas)
Kartini sedang membatik dengan adik-adiknya Rukmini (tengah) dan Kardinah (kiri).
Editor: Heru Margianto

21 April selalu kita peringati sebagai Hari Kartini untuk menghormati jasa-jasa perjuangan pahlawan nasional bernama R.A. Kartini Djojo Adhiningrat (1879-1904) yang juga dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi nusantara dan simbol kemerdekaan bangsa melalui gerakan feminis.

Umumnya, dalam perayaan Hari Kartini di Indonesia perempuan-perempuan kerap mengenakan sanggul dan kebaya sebagai penghormatan simbolik terhadap tokoh perempuan keturunan ningrat Jawa ini. Namun yang jauh lebih penting adalah melihat kontribusi dan pengaruh pemikiran Kartini bagi kemajuan Indonesia.

Gagasan-gagasan Kartini

Merayakan Kartini berarti merayakan serta mengkaji ulang pemikiran-pemikiran Kartini yang sangat inspiratif dalam konteks perjuangannya melawan penjajahan, ketidakadilan berbasis gender, serta berbagai persoalan sosial dan kultural lainnya.

Sebagai perempuan bumiputera keturunan Jawa yang hidup di era kolonial Belanda, perjuangan Kartini bergerak di level ideologis dan intelektual.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melalui tulisan-tulisannya Kartini banyak berbicara tentang keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat pribumi pada masa itu. Gagasan-gagasannya juga meliputi banyak persoalan mulai dari agama, kolonialisme, pendidikan, hingga sastra dan Seni.

Gagasannya ihwal keagamaan misalnya, Lilis Muchoiyyaroh (2019) dalam Rekonstruksi Pemikiran Kartini tentang Keagamaan untuk Memperkuat Integritas Nasional, Kartini sudah menyoal perihal praktik keagamaan yang bersifat ekslusif dan picik.

Kritiknya dialamatkan pada interpretasi teologis yang menekankan perbedaan dan kekerasan. Bagi Kartini, agama seharusnya dipahami dan berfungsi sebagai ajaran yang menekankan pada kasih sayang dan humanisme sehingga seharusnya mampu merangkul umat dengan berbagai latar belakang, dan tidak ada lagi kekerasan atas nama agama.

Sementara itu di level pendidikan, status sosialnya sebagai putri Bupati Jepara membuat Kartini dapat mengakses pengetahuan di Europes Lagere School (ELS) meskipun hanya hingga usia 12 tahun karena pada masa itu perempuan berusia 12 harus tinggal di rumah dan akan dipersiapkan untuk menikah.

Akan tetapi, semangat Kartini untuk melakukan emansipasi tidak lantas surut. Ia bersama saudara perempuannya aktif memberikan pendidikan kepada kaum miskin khususnya anak-anak dan perempuan. Bagi Kartini, pendidikan adalah senjata utama melawan segala penindasan.

Pentingnya pendidikan juga disuarakan Kartini dalam melawan kolonialisme. Okky Madasari dalam artikelnya Teori Kartini untuk Silicon Valley menulis, bagi Kartini penguasaan ilmu dari Barat adalah syarat menyaingi dan mengalahkan dominasi Barat. Namun, menguasai ilmu Barat tidak berarti menghamba pada Barat.

Selain itu, Kartini juga memiliki kegelisahan dalam hal ketidakadilan gender. Ia menggugat tradisi feodalistik Jawa yang dianggap memosisikan perempuan sebagai objek inferior yang hak-haknya banyak ditentukan oleh tradisi dan ideologi patriarki.

Kritiknya terhadap budaya Jawa ini didasari oleh pengalaman hidupnya sebagai puteri ningrat. Ia sangat prihatin akan nasib perempuan pada masa itu, terutama berkaca pada pengalaman saudara perempuannya yang dinikahkan dan dipoligami serta ibu kandungnya yang diperlakukan tidak adil dalam tradisi bangsawan Jawa.

Oleh karena itu, dengan segala keterbatasannya sebagai seorang perempuan, perlawanannya terhadap cengkraman tradisi Jawa ia lontarkan melalui permohonannya kepada suaminya, KRM Adipati Ario Singgih Djojo Adhinigrat, seorang bangsawan Rembang.

Sebelum menikah, Kartini memohon untuk tetap diberikan kesempatan memberikan pendidikan kepada rakyat jelata, menolak dibebani oleh hal-hal yang membuatnya tidak berkembang, serta meminta ibu kandungya (yang saat itu adalah salah seorang selir Bupati) untuk diperlakukan secara layak dan adil.

Setelah menikah, Kartini masih aktif menuliskan pemikirannya, salah satunya di majalah perempuan, De Hoandsche Lelie. Ia juga aktif menulis surat kepada sahabat-sahabatnya di Belanda seperti Stella Zehandelaar dan Rosa Manuela Abdendanon dan menceritakan tentang keprihatinannya akan nasib rakyatnya di bawah pemerintahan kolonial Belanda.

Pemikiran serta gagasan Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya kepada sahabatnya ini kemudian didokumentasikan ke dalam sebuah buku oleh Jacques Henrij Abdenaon (suami dari Rosa Abendanon), Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.

Buku itu berjudul Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya) dan diterbitkan kembali menjadi buku kumpulan surat Kartini pada tahun 1922 oleh Penerbit Balai Pustaka dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Sayangnya, perjuangan Kartini terbilang singkat, ia meninggal di usia muda, yaitu 25 tahun pada 17 September 1904. Meskipun begitu, pemikiran Kartini meninggalkan pengaruh yang luar biasa hingga saat ini karena ia berjuang di level intelektual dan ideologis.

Sejak bukunya diterbitkan, kemudian didirikanlah Yayasan Kartini pada tahun 1916 yang aktif mengkaji dan melanjutkan pemikiran Kartini serta mendirikan sekolah untuk pemberdayaan perempuan di Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Malang hingga Cirebon.

Gagasan yang monumental dan kritik yang fundamental

Meskipun harus berjuang di dalam cengkraman budaya feodalistik Jawa dan Kolonial, melalui gagasan dan pemikirannya Kartini mampu membuktikan bahwa kondisi sesulit apapun bukan rintangan baginya untuk maju secara intelektual dan merdeka dari penjajahan.

Sastrawan besar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer melihat sosok Kartini sebagai pemikir sosial karena gagasan-gagasannya yang analitik dan komprehensif serta kritikan-kritikannya yang bersifat fundamental-radikal.

Sebagai pejuang perempuan bumiputera yang hidup di era Kolonial, Kartini sudah mampu merumuskan dan memperjuangkan kemajuan untuk membebaskan rakyatnya dari kolonialisme. Ia bahkan tanpa ragu mengkritik tradisi bangsanya sendiri yang dinilai menjajah rakyatnya sendiri, terutama perempuan.

Kartini juga merupakan perempuan bumiputera pertama yang berpikir tentang fungsi sastra untuk menaikkan derajat dan peradaban bangsa, dan itu ia buktikan melalui tulisan-tulisannya karena ia sadar bahwa pemikiran bersifat monumental dan tidak akan pernah mati.

Dari Kartini kita belajar bahwa perjuangan sejati harus bertumpu pada kepentingan bangsa dan rakyat. Baginya segala bentuk perjuangan harus mengandung manfaat dan didasarkan kepada realitas demi untuk kepentingan bersama.

Sebagai bangsa yang pluralistik, kita juga belajar tentang pentingnya kemanusiaan di atas segala bentuk perbedaan, serta belajar terbuka dengan segala bentuk pemikiran dan pengetahuan untuk memajukan bangsa serta melawan hegemoni yang bersifat menjajah.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi