Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 6 Apr 2018

Jurnalis Kompas TV.

Selamat Jalan Rad(h)ar Kesenian Indonesia

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/RADITYA HELABUMI
Koordinator Tim Mufakat Budaya Indonesia, Radhar Panca Dahana, menyampaikan pemaparan saat bersama sejumlah anggota Tim Mufakat Budaya Indonesia berkunjung ke Redaksi Kompas di Jakarta, Kamis (19/12/2019).
Editor: Heru Margianto

Radhar Panca Dahana adalah mukjizat dalam dunia kesenian Indonesia. Bertahun-tahun mendekap gagal ginjal di tubuhnya, ia terus berkarya.

Ia menulis, berbicara di forum, berteater, dan melawan. Dalam kondisi sakit itu, ia menjadi salah seorang motor gerakan #SaveTim yang berjuang melawan komersialiasi Taman Ismail Marzuki.

Saya menyebutnya mukjizat, karena seakan tubuhnya yang kecil itu, tak akan mati -dikalahkan gagal ginjalnya.

Beberapa kali saya melihatnya terkapar di lantai usai ia membacakan puisi atau menyampaikan makalahnya.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Bentara Budaya Jakarta sekitar 3-4 tahun lalu, usai menjadi salah seorang narasumber, tubuhnya ambruk. Saya kira ia akan tamat saat itu.

Tapi ternyata dari waktu ke waktu bersamaan dengan keharusannya melakukan cuci darah dua kali seminggu, ia malah berlari dan berteriak lebih kencang tentang arah dan situasi kebudayaan Indonesia.

Pilihan katanya selalu menarik dan gaya bicaranya dramatikal seperti sedang berteater. Ia memang malang melintang sebagai pemain teater. Ia juga memimpin organisasi teater.

Di antara reruntuhan gedung-gedung Taman Ismail Marzuki yang hancur, fotonya yang sedang orasi beredar. Terlihat sekali ia sedang marah sekali. Kemarahan yang dramatik.

Pada suatu kesempatan di "pojok merokok" di serambi Menara Kompas, saya pernah bertanya soal sikapnya terkait revitalisasi TIM, yang seolah-olah anti perubahan.

Sebenarnya saya iseng bertanya, selagi menemaninya menunggu waktu siaran di Kompas TV. Tapi ia menjawab dengan serius tentang arti TIM sebagai rumah seniman dan bagaimana kebudayaan dihancurkan dengan pembangunan itu.

Ya, Mas Radhar selalu serius membicarakan soal kesenian.

Ia tak pernah menolak jika diundang menjadi narasumber di program-program Kompas TV, khususnya program Satu Meja maupun Rosi.

Sebagai budayawan, ia selalu memiliki sudut pandang lain dalam melihat persoalan politik dan korupsi yang terjadi.

Jika tak harus menjalani cuci darah atau agenda lain, ia selalu bersedia diundang. Belakangan ia juga selalu mengajak anaknya yang kecil dan istrinya yang setia menemani dan menunggunya selama siaran.

Membaca kisah hidupnya, bagaimana ia menulis sejak usia 10 tahun dan sudah dimuat di Kompas, itu adalah sejenis mukjizat yang lain.

Kini ia benar-benar kalah. Tapi saya yakin, di hati seniman yang bersamanya, ia selalu menang.

Selamat jalan, Mas Radhar.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi