Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 18 Mei 2016

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Radhar Panca Dahana, Merantau di Tanah Kelahiran Sendiri

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pembacaan puisi spiritual oleh Radhar Panca Dahana dalam ?LaluKau? di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (19/20/2020) malam. Karya panggung terbaru dari Teater Kosong ini mengungkapkan perjalanan spiritual Radhar Panca Dahana yang kontemplatif tentang hidup dan proses berkaryanya. LaluKau merupakan buku keempat dari tetralogi puisi Radhar Panca Dahana dengan tajuk ?Lalu?.
Editor: Heru Margianto

JUDUL yang patik gunakan dalam risalah sederhana ini merupakan penggalan dari prinsip hidup Radhar Panca Dahana yang wafat pada malam kesebelas Ramadhan 1442 H (23 April 2021) di RSCM, Jakarta.

Ia pergi selamanya dari dunia kita, meninggalkan begitu banyak kerja budaya yang menjadi tugas generasi kiwari, para pelanjut bangsa bahari.

Baca juga: Budayawan Radhar Panca Dahana Meninggal Dunia akibat Serangan Jantung

Pada 2003 adalah kali perdana patik mengenal Mas Radhar--begitu sapaan karib kami kepadanya sebagai anggota keluarga besar Teater Kosong.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat itu kami tengah mempersiapkan pagelaran teater dari naskah Perguruan karya Wisran Hadi yang akan dipentaskan di Graha Bhakti Budaya oleh Kelompok Siluet.

Saat melepas lelah usai berlatih di atas panggung Gelanggang Remaja Bulungan, Jakarta Selatan, tiba-tiba Mas Radhar muncul.

Kabar yang kami dengar kala itu, ia sudah tiga tahun di Indonesia, usai merampungkan studi di Université de French Comte, Besançon, Perancis (CLA, 1997-1998). Dua tahun sebelumnya, ia berhasil menuntaskan pelajaran tingkat master di Ecole des Hautes Études en Science Sociales, Paris, Perancis (DEA, 1998-2000).

Baca juga: Obituari Radhar Panca Dahana: Berjuang untuk Seni dan Budaya Indonesia hingga Napas Terakhir

Sebagai remaja bau kencur yang baru mulai menggeluti dunia tulis menulis, kehadiran Mas Radhar malam itu bagaikan rembulan malam kelimabelas. Tanpa berpikir panjang, segera patik sodorkan padanya sebuah cerpen yang ditulis tangan, dalam lembaran folio.

Di luar dugaan, Mas Radhar menerima cerpen picisan itu dengan ringan tangan dan berkenan memberikan komentar secara tertulis pada keesokan pagi di kediamannya.

Selepas itu, garis hidup patik berubah total. Mas Radhar yang semasa mudanya pernah nyantrik di Bengkel Teater Rendra juga memfungsikan rumahnya untuk kami para cantrik. Kami berbagi ruang hidup yang sama, selama berbilang tahun.

Gelora spiritnya yang membara, baru mulai terasa manakala kami memanggungkan dramatikalisasi puisi Lalu Batu di Jakarta, Denpasar, Malang, Jogjakarta, dan Bandung.

Nyaris di semua kota, jantung kami dibuat mencelos oleh kondisi tubuh Mas Radhar yang melorot usai cuci darah. Sementara waktu pertunjukkan dimulai, sisa setengah jam lagi.

Tak patah oleh sakit

Namun beliau selalu berhasil menghidupkan spirit pentas, dengan tampil prima. Barangkali tak satu pun penonton yang menyadari bahwa penampil utama yang mereka saksikan sedang menenggang sekian banyak penyakit akibat gagal ginjal yang ia derita.

Mereka tak pernah tahu betapa setelah pertunjukkan dipungkasi jantung kami kembali berdegup kencang melihat Mas Radhar ambruk di belakang panggung.

Baca juga: Radhar Panca Dahana Bertahun-tahun Berjuang Lawan Gagal Ginjal, Seminggu 3 Kali Cuci Darah

Bertahun kemudian, kondisi itulah yang kerap kali terjadi selama kami mengawal Mas Radhar dalam segala kesempatan.

Melihat sosoknya yang ripuh dari jarak teramat dekat, membuat kami sadar betapa batas antara kehidupan-kematian begitu halus. Peluang kita tumpas oleh waktu, sama besar dengan kesempatan kita bertahan dalam lajunya.

Bukan tak sering kami diliputi rasa malu teramat sangat bila melihat Mas Radhar tak henti berkarya. Buku, esai, dan puisi yang ditulisnya tetap jenial lagi bernas. Sarat dengan nilai luhur kebudayaan.

Pentas teaternya selalu menawarkan gagasan yang adekuat. Semacam rekaman skenografik kehidupan manusia dalam keadaan-kenyataannya. Satu lagi, kualitas bicaranya, bahkan sama bagus dengan ketika ia menulis.

Baca juga: Meninggal Dunia, Berikut Kiprah dan Perjalanan Hidup Sastrawan Radhar Panca Dahana...

Sejak kembali dari Prancis, lantas menerbitkan Jejak Posmodernisme: Pergulatan Kaum Intelektual Indonesia (2004), Mas Radhar terbilang getol menyuarakan pembelaannya pada rumah kebudayaan Indonesia yang diblejeti, dikebiri, bahkan diberangus dari akarnya--yang mirisnya, dilakukan oleh anak kandung negeri ini.

Ia tak henti menuai gelisah demi menjaga suluh yang kian padam itu. Saat pengampu kebijakan tak menaruh perhatian pada pegiat teater, misalnya, ia tampil di garda depan dengan mendeklarasikan Federasi Teater Indonesia pada 27 Desember 2004.

Pengabaian pada kebudayaan itu, sebenarnya sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka. Para pendiri negara ini sibuk memodernisasi semua yang semula tradisional, dan lupa bahwa tak semua yang diwariskan masa lalu adalah kemunduran.

Padahal tanpa gotong-royong, musykil kiranya perjuangan kemerdekaan kita gilang gemilang. Begitulah kira-kira kritik pedas Radhar pada kesalahpahaman berpikir anak bangsa ini tentang jati dirinya yang asali.

Melampaui seni murni

Radhar adalah jenius Indonesia yang menyerap dengan baik peradaban Barat, tanpa kehilangan pamor yang ia punya selaku orang Timur. Ia meramu pergulatan kemanusiaannya sedemikian rupa, sehingga jadi kekayaan tak terkira bagi kami--terutama untuk bangsa Indonesia.

Suatu hari pada akhir 2020, pascamengalami stroke otak, Mas Radhar memanggil patik ke kediamannya di Pamulang. Waktu itu ia sudah kesulitan berbicara dan juga kehilangan banyak ingatan.

Malah sudah tak lagi menulis selama tiga bulanan. Sesak dada rasanya menyaksikan beliau dalam kondisi demikian. Ada airmata yang meleleh dalam hati ini.

Ajaibnya, lambat laun ia mulai kembali bisa menemukan diri nun jauh di kedalaman kesadarannya. Radhar yang menggentarkan itu hadir kembali. Tan Malaka, Sukarno, Hatta, Habibie, bahkan Gus Dur, habis ia kritisi. Hanya Sosrokartono yang ia puji. Sebuah kebiasaan yang jarang kami dengar dari Mas Radhar.

Kenapa ia menaruh hormat pada kakak kandung Kartini itu? Tak lain karena sosok itulah wujud manusia Indonesia sejati. Tiga dasawarsa mukim di Eropa, tak membuatnya tercerabut dari akar. Malahan ia berhasil menemukan mata air kesadaran yang khas masyarakat Bahari.

Begitulah kerja kebudayaan yang sesungguhnya diusung Radhar Panca Dahana. Ia sudah melampaui persoalan sumir seni murni. Peradaban manusia bahari adalah lokus utama yang melapiki spirit hidupnya. Di tengah himpitan perubahan zaman kiwari, Radhar merupakan cermin air bagi adab kita.

Ia seharusnya jadi pengingat bagi kita, betapa selama ini kita terasing di negeri sendiri. Berkhianat pada leluhur mulia. Ingkar pada amanah merawat-meruwat ibu pertiwi. Kita laksana perantau yang bahkan tak tahu hendak menuju ke mana. Lalu tumpas oleh waktu. Purnasia.

Radhar seperti mengajak kita menziarahi diri berulangkali. Tiada henti. Karena masing-masing kita di Nusantara tercinta ini, membawa sel punca kehidupan adiluhung yang pernah ada nun jauh di belakang waktu.

Bagi Radhar, jalan hidupnya adalah kebersahajaan. Ibu bumi, bapak langit, orangtuanya. Siapa pun yang mau membina diri jadi manusia, saudaranya. Islam yang ia peluk teguh, agama dengan corak kebaharian. Menampung seluruh aliran sungai kasunyatan.

Mugiya urat emas kehidupan Radhar Panca Dahana, menjadi inspirasi bagi para pelanjut peradaban--yang kelak menciptakan cakrawala pengetahuan baru, yang belum sempat digali oleh kita selaku penyaksi Abad-21.

Mas, derajat panjenengan inggil sanget... 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi