Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Imam Al Ghazali, Berpijak dari Kemiskinan Menjadi Mahaguru

Baca di App
Lihat Foto
Dok Tribunnews
Sejarah hidup Imam Al Ghazali
|
Editor: Inten Esti Pratiwi

KOMPAS.com - Imam Al Ghazali mengambil peranan besar dalam perkembangan Islam. Sosok yang mencintai filsafat dan tasawuf ini menularkan pemikiran-pemikirannya ke seluruh sudut dunia Islam.

Terlahir pada tahun 1058 atau 450 H di Iran, Imam Al Ghazali memiliki nama lahir Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i.

Soal peletakan nama Imam Al Ghazali, hingga kini masih menjadi perdebatan pada ulama nasab. Ada yang mengatakan bahwa penggunaan nama ini berkaitan dengan tempat kelahiran Al Gazhali yaitu di daerah Ghazalah, Thusi.

Sebagian lagi mengatakan bahwa penyandaran nama ini berkaitan erat dengan keluarganya, khususnya ayah Al Gazhali, yang bekerja menenun atau memintal bulu kambing di daerah Ghazalah.  

Baca juga: Mengenalkan Anak pada Sejarah Islam di Pameran Artefak Nabi Muhammad SAW

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mencintai filsafat sedari kecil

Melansir dari laman muslim.or.id, Al Ghazali tumbuh dan besar di lingkungan keluarga miskin. Ayahnya hanyalah seorang pengrajin kain shuf, yaitu kain yang terbuat dari bulu kambing. 

Al Ghazali sering bercerita tentang kebaikan ayahandanya. Bahwa ayahnya adalah orang miskin yang shalih, yang tidak memakan apapun selain hasil dari pekerjaannya sendiri.

Dalam kehidupan yang serba terbatas, Al Ghazali mendapatkan pendidikan gratis dari beberapa orang guru. 

Dari sekolah gratis tersebut, Al Gazhali bisa fasih berbahasa Arab dan juga Parsi. Dari modal kemampuan membaca inilah, Al Ghazali melahap berbagai ilmu yang menarik minat dan perhatiannya.

Dari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, ilmu filsafat, ilmu fiqih, juga mempelajari empat mazhab hingga ia menguasai keseluruhannya.

Al Ghazali sempat menepi ke Jurjan untuk menimba ilmu kepada Imam Abu Nashr Al Isma'ili dan menulis buku At Ta'liqat.

Ia juga berguru ilmu fiqih kepada Ahmad ar-Razkani, dan berguru pada Imam Haramain di Naisabur tentang fiqih mazhab Syafi'i dan fiqih khilaf.

Baca juga: Sejarah Masjid Jami Kebon Jeruk, Saksi Bisu Penyebaran Islam dari Tiongkok

Mahaguru di Madrasah An Nidzamiyah

Setelah Imam Haramain wafat, Al Ghazali berpindah ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Di sana Al Ghazali sering berdebat dengan banyak ahli ilmu agama dan para ulama, dan selalu bisa memenangkan debat tanpa ada yang menyanggahnya kembali.

Karena kecerdasannya inilah, Nidzamul Malik langsung mengangkat Al Gazhali menjadi pengajar salah satu madrasahnya yang ada di Baghdad.

Tepat di tahun 484 H itu, Al Gazhali resmi hijrah ke Baghdad untuk menjadi pengajar Madrasah An Nidzamiyah. Madrasah ini adalah universitas yang didirikan oleh perdana menteri Baghdad pada tahun 484 H.

Selain sebagai pengajar yang setara maha guru, Al Ghazali juga dilantik sebagai Naib Kanselor di sekolah tersebut.

Di tahun 489 H, Al Ghazali sempat masuk kota Damaskus beberapa hari dan bahkan diceritakan pernah memasuki Baitul Maqdis dan tinggal beberapa lama di sana. 

Di masa itulah, Al Ghazali menepi dan menyelesaikan penulisan kitab Ihya Ulumuddin. Selain buku yang paling ternama itu, Al Ghazali juga menyelesaikan penulisan Al Arba'in, Al Qisthas, dan kitab Mahakkun Nadzar. 

Baca juga: 5 Fakta Menarik Tentang Masjid Al-Aqsa

Sisa hidup di tanah kelahiran

Al Ghazali sangat mencintai ilmu pengetahuan sehingga rela meninggalkan kehidupan duniawi untuk mengembara mencari ilmu-ilmu baru ke Mekkah, Madinah, Mesir juga Yerusalem selama 10 tahun lamanya.

Di akhir hidupnya, Al Ghazali pulang ke tanah kelahirannya dan mendirikan satu madrasah di samping rumahnya. Ia bahkan juga mendirikan asrama yang diperuntukkan untuk orang-orang Shufi.

Al Ghazali menikmati hari tuanya dengan membaca Al Qur'an, berkumpul dengan ahli ibadah juga mengajar para penuntut ilmu.

Abul Faraj Ibnul Jauzi menceritakan detil dari hari terakhir Al Gazhali dalam kitab Ats Tsabat Indal Mamat.  

Di kitab itu, Abul Faraj menukil kalimat terakhir saudara Al Ghazali, Ahmad : Pada subuh hari Senin saudaraku Abu Hamid berwudhu dan salat kemudian berkata,"Bawa kemari kain kafan saya."

Kemudian Al Ghazali mengambil dan mencium kain kafan itu sembari berkata,"Saya patuh dan taat untuk menemui malaikat maut."

Al Ghazali lantas meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Dikatakan di kitab tersebut, sebelum langit menguning di tahun 1111 itu, Al Ghazali pergi menghadapi Sang Khalik.

Baca juga: Faktor Kemunduran Peradaban Islam    

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi