Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komentar Negatif ke KRI Nanggala-402, Psikolog: Tak Ada Empati

Baca di App
Lihat Foto
AP
Kapal Selam TNI Angkatan Laut KRI Nanggala-402 berlayar di perairan Tuban, Jawa Timur, Indonesia, seperti terlihat pada foto udara yang diambil dari helikopter TNI AL Skuadron 400 Udara, pada foto Senin, 6 Oktober 2014 ini.
|
Editor: Rendika Ferri Kurniawan

KOMPAS.com - Duka dirasakan segenap masyarakat Indonesia atas insiden kecelakaan kapal selam KRI Nanggala-402.

Doa dan harapan membanjiri lini masa media sosial, kepada 53 awak kapal yang gugur saat menjalankan tugas.

Namun, masih saja ada segelintir netizen yang menyampaikan komentar tidak pantas, dan guyonan yang tak sopan atas musibah yang terjadi.

Ulah mereka yang tidak elok itu dikecam segenap warganet. Seperti yang diunggah oleh akun @ndorobeii.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa hal ini masih terjadi? Psikolog menjelaskannya.

Baca juga: KRI Nanggala-402 On Eternal Patrol, Selamat Jalan Para Patriot...

Tak ada empati dan simpati

Psikolog Tika Bisono menyebut, pihak-pihak yang melakukan hal itu adalah orang-orang yang tidak memiliki empati dan simpati.

"Orang-orang yang seperti itu, Satu, empati enggak ada. Kedua, simpati enggak ada," kata Tika saat dihubungi Kompas.com, Senin (26/4/2021).

Ia menjelaskan, dalam ilmu psikologi empati merupakan bagian dari kecerdasan emosi.

Secara lebih luas, ia merupakan bagian dari kematangan seseorang dalam merespons peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

Kematangan ini disebutnya tidak tergantung pada usia seseorang.

Bisa saja usia masih muda namun kematangan emosinya sudah baik. Bisa juga sebaliknya.

"Enggak, sama sekali enggak (terkait dengan usia). Itu hasil dari pola asuh dan selain itu kalau dari psikologi sosial itu bagaimana seseorang mengelola kecerdasan sosial dia juga," ujar dia..

"Jadi selain empati juga ada simpati. Nah, simpati itu sebenarnya sebuah rasa atau proses mental bukan hanya belas kasihan, tapi di sini kan ada honor ya, suatu penghormatan terhadap TNI," ucap dia.

Semestinya, kita bisa lebih menaruh empati dan simpati terhadap peristiwa tenggelamnya KRI Nanggala-402.

Hal ini karena kejadian tersebut mengorbankan para prajurit yang selama ini menjaga kedaulatan negara.

"Dia (para prajurit yang gugur) explore untuk menjaga kedaulatan laut Indonesia. Kita enggak mau di posisi itu, mereka mau. Jadi kalau kita enggak mau tukar tempat, seyogyanya kita juga menghormati risiko pekerjaan yang mereka pegang," papar Tika.

Menurutnya, jika seseorang tidak merasa begitu terpukul atas peristiwa ini, mereka cukup tidak menuliskan apa pun.

Bisa juga cukup menunjukkan simpati sekadarnya, seperti ucapan duka cita.

"Sementara (tuliskan) innalillahi wa innailaihi rojiun biasa aja sudah cukup kok," sebut Tika.

Tidak perlu sampai menuliskan kalimat-kalimat yang tidak sesuai dengan situasi yang ada.

Hal ini justru menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki simpati juga empati atas musibah yang terjadi.

Baca juga: Profil Letkol Laut Heri Oktavian, Komandan KRI Nanggala-402

Pelaku relatif muda

Terkait pelaku yang kebanyakan masih muda, Tika menyebut rentang usia ini memang masih rentan terhadap pengaruh lingkungan luar.

"Anak usia muda ini gampang banget di-swing sana swing sini, apalagi prinsip yang mereka pegang itu lemah. Jadi manusia yang berprinsip lemah itu gampang banget di-brain wash (untuk melakukan hal-hal yang bertentangan)," papar dia.

Lalu, ada pula musuh negara yang memang dalam artian kelompok-kelompok radikal penentang NKRI, atau kelompok politik aliran tertentu yang tidak senang dengan konsep NKRI.

Situasi kemarin, menjadi bahan segar bagi mereka untuk menunjukkan eksistensi dan mengukuhkan nilai yang dipegang.

"Peristiwa-peristiwa seperti ini lah yang akan mereka pakai untuk mendiskreditkan kepatriotisan mereka (prajurit TNI yang merupakan bagian dari Negara), mendiskreditkan unsur kepahlawanan mereka, mendiskreditkan penghormatan kepada mereka, (yang memberi penghormatan) malah dianggap alay," ujar Tika.

Secara psikologis, ia menyebut hal semacam ini menjadi proses pelemahan identitas TNI.

"Tuh TNI saja lemah, berarti butuh yang lebih kuat. Walaupun itu kecelakaan, mereka akan membungkusnya bukan kecelakaan, alutsista yang lemah, uang yang begini. Mereka (pelaku) jika diajak berempati ke keluarganya, bagi mereka keluarga sama bersalahnya dengan yang menjadi TNI," ujar dia.

Baca juga: 5 Fakta Penemuan KRI Nanggala-402: Kapal Terbelah Tiga, 53 Awak Gugur

Berlindung di balik anonimitas

Terakhir, Tika menjelaskan para pelaku yang berkoar di media sosial penakut, karena hanya berlindung dibalik anonimitas media sosial.

Hal yang perlu dilakukan oleh masyarakat luas adalah melawannya.

Misalnya dengan melaporkan kepada pihak yang berwajib.

Alasannya, pelaku memiliki kecenderungan akan kehilangan aroganitasnya apabila sudah tertangkap dan diketahui identitas aslinya di dunia nyata, bukan dunia maya.

Terkait hal ini, Tika berpesan agar kita sebagai manusia sebisa mungkin menjadi pribadi yang cukup baik bagi sesama.

"Kalau kita belum bisa menjadi baik di mata Allah SWT, setidaknya kita bisa cukup baik kepada orang lain," pungkas dia.

Baca juga: KRI Nanggala-402 On Eternal Patrol, Selamat Jalan Para Patriot...

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi