Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 8 Mar 2019

Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya.

Refleksi Hari Kebebasan Pers Sedunia: Tenggelam dalam Banjir Informasi

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi.
Editor: Heru Margianto

DI era merebaknya informasi seperti sekarang, media massa menghadapi tantangan tersendiri dalam mengolah dan menyajikan berita.

Agresivitas masyarakat dalam media sosial berperan dalam mengurangi kepercayaan publik pada institusi pers.

Di sisi lain, kadang jurnalis pun ikut menggunakan informasi dari media sosial tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu.

Analoginya, keberadaan pers dihancurkan dari luar dan dirusak dari dalam. Selalu ada pertempuran dari faktor luar dan dalam yang menggiring pembaca tidak bisa menyaring prioritas berita mana yang layak untuk diberi atensi. Malah berakhir tenggelam dalam arus informasi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Faktor dari dalam

Faktor dari dalam merujuk pada kerja pers yang cenderung bias atau tendensius. Informasi yang melimpah membuat jurnalis tidak bisa membedakan mana kerja jurnalistik yang nyata dan kerja jurnalistik mengaburkan makna.

Dalam praktiknya, kerja jurnalistik yang mengaburkan makna disebut sebagai praktik jurnalisme kuning.

Dikatakan demikian karena berita sebagai produk jurnalistik telah keluar dari substansi oleh sebab didominasi oleh aspek-aspek bersifat sensasi, sadis, vulgar dan bahkan cabul yang didramatisir begitu rupa, jauh dari realita sesungguhnya (Malik:2017)

Di Indonesia, publik lebih mengenal jurnalisme kuning dengan sebutan infotainment. Meski naasnya tidak semua media mau disebut sebagai infotainment, kendati apa yang dilakukan lebih mirip kerja infotainment daripada jurnalisme itu sendiri.

Kerja jurnalisme kuning seringkali melompati proses verifikasi dari kedua pihak yang bersebrangan sehingga akurasinya patut dipertanyakan.

Sumber beritanya pun seringkali anonim, merujuk pada “kata orang” atau memberi porsi lebih pada satu narasumber saja. Sumber yang tidak otoritatif dalam kerja jurnalisme itu tidak bisa dipertanggung-jawabkan.

Dalam menghindari bias kerja, sebenarnya sudah ada kode etik jurnalistik yang mengatur panduan dalam membuat berita hingga tingkah laku jurnalis.

Namun melihat perkembangan informasi yang beredar seperti sekarang, rasanya pers tidak bisa bekerja sendiri.

Dalam buku BLUR: How To Know What’s True in The Age of Information Overload, jurnalis senior Amerika Serikat Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menambah elemen ke-10 dalam elemen kerja jurnalisme mereka.

Dalam elemen ke-10 ini, Kovach dan Rosenstiel mempertanyakan siapa yang bisa disebut sebagai jurnalis. Di era media digital, kini siapa saja bisa memproduksi konten. Warga bukan lagi menjadi konsumen media, masyarakat juga telah menciptakan media mereka sendiri.

Faktor dari luar

Selain faktor dari dalam, ada juga faktor luar dari tantangan kerja jurnalistik di era sekarang. Faktor luar merujuk pada dampak dari kerja jurnalistik.

Dalam proses reportase hingga berita diturunkan, ada hal di luar prediksi yang terjadi pada jurnalis itu sendiri. Misalnya, kekerasan hingga pembunuhan pada jurnalis.

Data Observatory of Killed Journalists Unesco, pada 2010- 2021 terdapat 970 jurnalis yang terbunuh di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut 273 adalah jurnalis asia pasifik dan lima diantaranya dari Indonesia.

Mereka adalah Martua Siregar (terbunuh Oktober 2019 karena sengketa dengan pemilik perkebunan sawit), Muhammad Yusuf (terbunuh Juni 2018 karena menulis sengketa perebutan lahan antara perusahaan raksasa kelapa sawit), Leiron Kogoya (terbunuh April 2021 pada insiden penembakan Trigana Air), Ridwan Salamun (terbunuh Agustus 2010 saat meliput bentrokan antarwarga di Maluku Tenggara), Herliyanti (terbunuh April 2006 karena memberitakan korupsi anggaran).

Lain lagi dengan kekerasan pada jurnalis, data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut pada 2011- Maret 2021 terjadi 580 kekerasan pada jurnalis. Dengan jenis terbanyak dalam bentuk kekerasan fisik, pengusiran/pelarangan liputan, ancaman teror, dan perusakan alat/data hasil liputan.

Kekerasan pada jurnalis

Penganiayaan pada jurnalis baru-baru ini terjadi pada Nurhadi, kontributor Tempo Surabaya. Nurhadi mendapatkan kekerasan saat melakukan reportase terhadap Direktur Pemeriksaan Ditjen Pajak Kemenkeu, Angin Prayitno Aji dalam kasus suap yang ditangani oleh KPK.

Kekerasan yang terjadi di Surabaya pada Sabtu (27/3/2021) itu diduga dilakukan oleh aparat kepolisian yang menjaga acara resepsi pernikahan anak tersangka.

Kronologi singkatnya, Nurhadi masuk Graha Samudra Bumimoro dalam rangka mendapatkan konfirmasi dari Angin mengenai penetapan status sebagai tersangka yang dilakukan KPK pada Febuari lalu.

Nurhadi menyamar sebagai tamu resepsi pernikahan. Meski pada akhirnya terbongkar oleh aparat yang menjaga acara, dan berakhir pada pemukulan, perusakan alat liputan, hingga ancaman pembunuhan.

Sejak melaporkan kekerasan yang terjadi padanya ke Polda Jatim pada 28 Maret lalu, Nurhadi belum mendapatkan kepastian hukum. Polda Jatim belum menetapkan tersangka pada kasus penganiayaan tersebut.

Lantas, mengapa sorotan terhadap kasus ini menjadi penting?

Dalam negara seperti Indonesia yang digerogoti korupsi endemis, kasus Angin tergolong kasus korupsi yang besar.

Angin bersama Kepala Subdirektorat Kerja Sama dan Dukungan Pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak, Dadan Ramdani, diduga menerima suap dan gratifikasi mencapai Rp 50 miliar.

Keduanya ditengarai menerima suap dari tiga perusahaan, yaitu PT Jhonlin Baratama, PT Gunung Madu Plantations, dan PT Bank Pan Indonesia (Panin).

Kembali ke elemen ke-10 jurnalisme versi Kovach dan Rosenstiel, sudah waktunya publik ikut andil dalam advokasi dalam menjalankan fungsi pengawasan.

Dalam era media baru, semua orang bisa menuangkan pikiran lewat blog, jurnalisme warga (citizen journalism), dan media sosial.

Dengan begitu, sorotan terhadap kekerasan yang menimpa kerja jurnalistik hingga orang awam bisa dikawal secara bersama-sama.

Sudah saatnya pers dan masyarakat saling melengkapi dengan membuat informasi yang akurat, berimbang, dan melakukan advokasi beriringan, daripada tenggelam dalam perang informasi yang kurang esensial.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi