Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerumunan Pasar Tanah Abang, Ketua Satgas IDI Singgung Kejadian di India

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA
Sejumlah warga memadati Blok B Pusat Grosir Pasar Tanah Abang untuk berbelanja pakaian di Jakarta Pusat, Minggu (2/5/2021). Gubernur DKI Anies mengakui adanya lonjakan pengunjung di pusat tekstil terbesar se-Asia Tenggara tersebut, dari sekitar 35.000 pengunjung pada hari biasa menjadi sekitar 87.000 orang pada akhir pekan ini sehingga pihaknya menyiagakan sekitar 750 petugas untuk menjaga kedisiplinan protokol kesehatan untuk mencegah penularan COVID-19.
|
Editor: Rendika Ferri Kurniawan

KOMPAS.com - Kerumunan pengunjung yang memadati Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat dan daerah lain menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak.

Pasalnya, kerumunan itu terjadi di tengah masih tingginya angka kasus penularan Covid-19 di Indonesia, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan klaster penularan baru.

Diberitakan Kompas.com, Minggu (2/5/2021) dari data yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, jumlah pengunjung Pasar Tanah Abang, Sabtu (1/5/2021) kemarin 85.000 orang.

Lonjakan pengunjung itu terjadi saat makin banyak warga yang ingin berbelanja kebutuhan untuk Hari Raya Idul Fitri 1442.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Viral Video Penumpang Berdesakan di Stasiun Tanah Abang, Ini Kata KAI

Potensi klaster baru

Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban mengatakan, terjadinya kerumunan pengunjung di Pasar Tanah Abang dan juga berbagai pusat perbelanjaan lain merupakan fenomena yang sangat mengkhawatirkan.

"Karena begitu banyak masyarakat yang berkumpul di satu tempat, yang kita tahu akan amat mudah menyebabkan klaster-klaster baru infeksi, yang kemudian akan menular juga ke masyarakat yang lain," kata Zubairi saat dihubungi Kompas.com, Senin (3/5/2021).

Kendati demikian, di media sosial banyak masyarakat yang berdalih bahwa timbulnya keramaian di pusat perbelanjaan bukan sepenuhnya salah masyarakat.

"Belanja lebaran tidak salah tentu saja. Anjuran pemerintah untuk memperbaiki perekonomian juga tidak salah. Namun belanjanya kan tidak harus menyebabkan kerumunan," ujar Zubairi.

Zubairi mengatakan, dengan perkembangan teknologi, aktivitas belanja Lebaran di masa pandemi Covid-19 bisa dilakukan dengan lebih aman, misalnya melalui belanja online.

"Tidak harus hadir untuk pesan barang, amat sangat mudah. Jadi sekarang bagaimana mendidik masyarakat agar membiasakan diri membelanjakan barang melalui handphone, melalui komunikasi media sosial," kata Zubairi.

Baca juga: Tsunami Covid-19, India Disarankan Lakukan Penguncian

Singgung kejadian di India

Zubairi mengatakan, berkaca dari fenomena yang tengah terjadi di India, Indonesia memiliki potensi untuk mengalami hal serupa jika kerumunan masyarakat masih terus berlanjut.

"Tentu saja bisa. Karena berbagai faktor yang menyebabkan India meledak itu juga ada di Indonesia. Termasuk juga kemungkinan (varian) virus India itu, B.1.617 itu sudah ada di Kanada, di Amerika, di Eropa. Jadi tidak tertutup kemungkinan sebetulnya varian yang amat mudah menyebar ini sudah ada di Indonesia," kata Zubairi.

Selain varian virus yang lebih mudah menular, Zubairi menyebutkan, ledakan kasus Covid-19 di India juga terjadi karena adanya kerumunan acara keagamaan di Sungai Gangga.

"Di kita, kita masih melihat banyak kerumunan di tempat-tempat ibadah. Di pesantren, di masjid, di gereja, dan juga sewaktu buka bersama, kemudian tarawih," ujar Zubairi.

Selain dua faktor tersebut, euforia pasca-vaksinasi juga ditengarai menjadi salah satu penyebab penularan Covid-19 di India menjadi tidak terkendali.

"India itu euforianya sebenarnya tidak tepat. Karena baru sekitar 100 juta lebih sedikit yang divaksinasi. Memang itu banyak banget, namun kalau melihat dari total penduduk menjadi sedikit banget. Total penduduk India 1,3 miliar. Jadi belum ada 10 persen yang divaksinasi," kata Zubairi.

Baca juga: 24 Pasien Covid-19 di India Tewas Diduga Kekurangan Oksigen

Kesungguhan pemerintah

Zubairi mengatakan, untuk mencegah terjadinya kerumunan masyarakat terus berlanjut, ada beberapa hal yang seharusnya dilakukan pemerintah.

"Harus tegas pemerintah. Harus ada pendisiplinan oleh aparat negara untuk law enforcement dari peraturan yang dibikin itu. Kebijakan yang dibikin kalau tanpa pendisiplinan ya kurang banyak manfaatnya," kata Zubairi.

"Tapi juga jangan menunggu kerumunan terjadi baru dibubarkan. Saya lihat misalnya pada waktu di Tanah Abang ada pedagang kaki lima (PKL). Nah, jangan setelah PKL-nya hadir di situ baru kemudian dibubarkan, tapi lebih baik mencegah waktu PKL itu mau membuka dagangannya," katanya melanjutkan.

Zubairi menambahkan, pendisiplinan tidak hanya diterapkan pada pedagang tradisional, tetapi harus juga diterapkan pada pusat-pusat perbelanjaan modern.

"Demikian pula mall yang penuh. Jangan mengusir orang yang sudah ada di mall. Jadi pada waktu mau masuk mall, (pengunjung) dihitung. Kalau sudah mencapai jumlah tertentu ya distop," kata Zubairi.

Dengan cara itu, jumlah pengunjung dan waktu kunjung mall dapat dibatasi. Menurut Zubairi, akan lebih baik jika mall hanya dibuka untuk dua gelombang pengunjung saja tiap hari.

"Misalnya jam 9 sampai jam 12, kemudian setelah itu keluar. Jam 1 sampai jam 4 itu rombongan kedua. Sesudah rombongan kedua jangan dibikin rombongan ketiga, kalau bisa cukup dua kali saja," ujar Zubairi.

Zubairi mengatakan, pengaturan jumlah pengunjung dan waktu kunjung semacam itu telah terbukti berhasil mencegah terjadinya penularan virus corona.

"Waktu Haji tahun 2020 itu tidak ada satupun laporan yang menyatakan ada penularan. Karena rombongannya dibikin kecil-kecil dan ketat banget, diawasi," kata Zubairi.

Zubairi berpendapat, pada dasarnya masyarakat bisa diminta untuk disiplin dan mematuhi peraturan pencegahan Covid-19, dengan catatan Pemerintah sungguh-sungguh dalam penerapannya.

"Kalau kita amat sangat ketat dan aturannya jelas, dendanya jelas, konsekuensinya jelas, maka saya masih optimis sebagian besar masyarakat akan patuh," pungkas Zubairi.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi