Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pemimpin Redaksi Kompas.com
Bergabung sejak: 21 Mar 2016

Wartawan Kompas. Pernah bertugas di Surabaya, Yogyakarta dan Istana Kepresidenan Jakarta dengan kegembiraan tetap sama: bersepeda. Menulis sejumlah buku tidak penting.

Tidak semua upaya baik lekas mewujud. Panjang umur upaya-upaya baik ~ @beginu

Idul Fitri, Ketidakpatuhan dan Lingkaran Kekuasaan

Baca di App
Lihat Foto
Ilustrasi mudik yang diminta putar balik karena larangan mudik oleh pemerintah lantaran pandemi oleh Hari Prast
Editor: Heru Margianto

Hai, apa kabarmu? Semoga kabarmu baik karena anugerah kesehatan di pengujung Ramadhan 2021.

Sebulan penuh umat Muslim di seluruh dunia menjalankan ibadah dalam suasana yang berbeda.

Tahun lalu, kita mengalami hal yang kurang lebih sama. Namun, tahun ini suasananya sedikit berbeda.

Tahun lalu, larangan mudik lebih dipatuhi karena kekhawatiran kita begitu tinggi akan penyebaran virus Covid-19 yang belum banyak kita ketahui.

Tahun ini, larangan mudik seperti membentur tembok. Mungkin karena kejenuhan yang menumpuk. Mungkin karena perasaan lebih aman lantaran vaksin dan klaim kemampuan pemerintah mengendalikan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memang banyak yang sadar tidak mudik karena mempertimbangkan kesehatan, keselamatan dan kehidupan bersama yang lebih baik. Namun, banyak juga yang mengabaikannya dan nekat karenanya.

Rombongan pemudik beberapa kilometer panjangannya yang memaksa melintas di tengah larangan adalah gambaran ketidakpatuhan. Sebuah cermin yang membahayakan.

Polisi dan aparat keamanan kemudian mengambil diskresi untuk meloloskan lantaran menghindari kerumuman. Pemeriksaan di pos berikutnya jadi andalan pencegahan. Semoga benar-benar dilakukan.

Jika ternyata tidak dilakukan dan diloloskan sampai kampung halaman, bagaimana sikap kita menghadapi situasi seperti ini?

Sebelum sampai bagaimana seharusnya sikap kita, data yang dihimpun Kepolisian Republik Indonesia bisa jadi acuan.

Polri melakukan tes acak terhadap masyarakat yang melakukan perjalanan selama larangan mudik. Datanya, 4 dari 6 terdeteksi positif Covid-19. Angka persisnya, dari 6.742 yang diuji secara acak, 4.123 di antaranya positif Covid-19.

Dari data yang mencengangkan ini, 1.686 orang direkomendasikan untuk isolasi mandiri dan 75 orang dirawat di rumah sakit. Penjelasan berhenti di sini. Tidak jelas sisa 2.362 orang positif diapakan. Klarifikasi tidak diberikan.

Anggap saja, data ini benar. Ada 2.362 orang positif Covid-19 ini bisa melanjutkan perjalanan sampai kampung halaman.

Bagaimana sikap kita sekarang menjadi terang benderang. Benteng pertahanan terakhir kini ada pada diri kita masing-masing.

Terbiasanya kita berjuang sendiri-sendiri mengatasi semua persoalan termasuk ancaman kesehatan dan keselamatan akan mendapat ujian lagi. 

Saat Idul Fitri, tidak bersalaman dengan para pendatang meskipun dia kerabat atau keluarga dekat adalah langkah pencegahan yang mujarab. Data acak 4 dari 6 pelaku perjalanan positif Covid-19 kita jadikan acuan kehati-hatian.

Selain tidak salaman, jangan lelah menerapkan disiplin protokol kesehatan. Selalui memakai masker secara benar, menghindari kerumunan dan senantiasa menjaga jarak aman agar tidak tertular virus dari droplet.     

Pengalaman yang dialami India April lalu yang berlarut-larut sampai hari ini setidaknya dapat kita jadikan pegangan untuk pencegahan.

Perasaan lebih aman karena pengendalian Covid-19 di India membuat situasi berangsur-angsur normal. Pernikahan digelar dengan undangan ratusan orang tanpa protokol kesehatan.

Pasar tradisional ramai dan membeludak. Demonstrasi dilakukan di jalan-jalan diikuti ribuan orang. Sekitar satu juta orang hadir bersamaan dalam mandi massal untuk acara keagamaan. Semua dilakukan tanpa protokol kesehatan.

Hasilnya, tsunami Covid-19 terjadi di India 15 hari kemudian. Data positif Covid-19 dan korban meninggal selama setahun di India langsung dilampaui dalam waktu 15 hari saja. Layanan kesehatan dan kematian tumbang.

Keteledoran menjadi penyebab gelombang kedua di India lebih mematikan. Selain karena varian virus baru, skala penyebaran lantaran masyarakat sebelumnya merasa aman lantas tidak patuh menjadi ancaman mematikan.

Kita punya potensi yang sama dengan India karena tanda-tandanya nyata. Keteledoran bukan khas India tetapi kita juga mewarisinya. Varian baru virus juga sudah masuk ke Indoensia.

Ketidakpatuhan atas banyak hal dengan berbagai alasan juga kita jumpai di banyak tempat dengan beragam skala.

Ketidakpatuhan warga pada otoritas adalah tanda bahaya untuk pemegang kekuasaan sejatinya.

Kepekaan melihat tanda-tanda ini perlu dipertajam bukan malah dipertumpul oleh hadirnya banyaknya ring atau lingkaran pada kekuasaan yang membuat pemilik otoritas justru imun.

Imun memang bagus, tetapi tidak untuk situasi seperti saat ini yang justru membutuhkan kepekaan-kepekaan.

Oya, soal kepekaan dan lingkaran pada kekuasaan, saya jadi ingat soal Bipang Ambawang.

Tanpa peran lingkaran pada kekuasaan yang menari-nari ke sana dan ke sini dan cenderung salah arah, saya tidak tahu apa itu Bipang Ambawang.

Semoga salah arah tidak terus-teruskan dan segera bisa putar balik tanpa perlu dipaksa di jalan-jalan seperti layaknya para pemudik.

Salam putar balik, 

Wisnu Nugroho

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi