Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenang Ismail Marzuki, Maestro Musik Indonesia yang Meninggal di Pangkuan Sang Istri...

Baca di App
Lihat Foto
Beritabaik.id
Ismail Marzuki
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Siapa yang tidak pernah mendengar tembang Rayuan Pulau Kelapa, Sepasang Mata Bola dan Halo Halo Bandung?

Ya, tembang-tembang klasik dengan semangat kebangsaan dan perjuangan di atas adalah karya Ismail Marzuki, salah satu komponis besar Indonesia yang menghasilkan karya-karya luar biasa.

Bahkan, karyanya masih dinyanyikan hingga kini oleh para musisi Indonesia. Begitu pula namanya yang diabadikan sebagai nama gedung kesenian di Jakarta.

Pada hari ini, 107 tahun yang lalu, tepatnya pada 11 Mei 1914, sang maestro musik Indonesia tersebut dilahirkan di Jakarta.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melansir laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, Ismail Marzuki mendedikasikan dirinya untuk Tanah Air lewat karya-karyanya.

Baca juga: Mengenang Marsinah, Simbol Perjuangan Kaum Buruh yang Tewas Dibunuh

Sang maestro yang tak terlupakan...

Mengenal kembali siapa Ismail Marzuki menjadi langkah untuk menyelami tokoh-tokoh sejarah. Sebab, karya-karyanya abadi dan tak terlupakan serta berperan besar dalam kemajuan musik Indonesia.

Ismail Marzuki lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Marzuki, hanya wiraswasta kecil-kecilan di wilayah Kwitang, Senen, Jakarta Pusat.

Sejak kecil, Ismail Marzuki tak pernah sekalipun melihat senyum dan merasakan hangatnya kasih sayang seorang ibu. Ia tumbuh besar dalam asuhan ayah.

Maklum, ibunda tercinta meninggal tatkala ia dilahirkan. Demikian pula dengan kedua kakaknya. Hanya ada ia dan ayahnya yang tersisa di keluarga kecil itu.

Dunia musik sudah menyelimuti hari-hari Ismail kecil. Sang ayah yang juga seorang pemain rebana yang biasa dinamakan seni berdendang.

Baca juga: Mengenang Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Bangsa

Mengasah keahlian bermusik

Sambil melantunkan kalimat zikir dan menabuh rebananya, suara Ismail Marzuki begitu menggema. Ada pesona dengan gaya cengkoknya yang khas.

Tak heran, dia biasa tampil di acara sunatan, perayaan pengantin, cukuran anak, dan lain-lain. Ibarat pepatah "buah jatuh tak jauh dari pohonnya", lewat sang ayahlah benih-benih bakat Ismail Marzuki tumbuh.

Kemampuan Ismail Marzuki akan dunia musik tidak datang secara instan. Saat berusia 17 tahun, pria yang sering disapa Ma'ing ini mengasahnya dengan berlatih.

Pada 1923, ia bersama teman-temannya menjadi anggota perkumpulan musik Lief Java yang sebelumnya bernama Rukun Anggawe Santoso.

Dari perkumpulan tersebut, bakatnya berkembang dengan baik sebagai instrumentalis, penyanyi, penyair lagu dan juga mulai mengarang lagu-lagu.

Baca juga: Mengenang 14 Tahun Kepergian Penyanyi Legendaris Chrisye dan Perjalanan Hidupnya...

Lagu-lagu daerah sebagai inspirasi

Ia pun betah berlama-lama memutar seribu macam lagu pada gramofon dan mendengarnya tanpa bosan.

Jika sebagian orang hanya mendengarkan lagu-lagu baru, Ismail Marzuki lebih suka meresapi lagu selama puluhan kali dan berulang-ulang. Bukan cuma musik Hollywood dan jazz, ia juga menjadikan lagu-lagu daerah sebagai inspirasinya.

Sebut saja lagu daerah Maluku, Minahasa, Bugis, Melayu, Minang, tembang Cianjuran, gambus, kroncong, serta lagu-lagu ciptaan komponis agung bangsa Eropa dari Schubert, Mozart, Schumann, Mendellshon dan lain sebagainya. Semuanya menjadi sumber keindahan baginya.

Semasa hidupnya, Ismail Marzuki menghasilkan ratusan karya lagu, baik hasil ciptaannya sendiri atau lagu yang ia aransemen ulang.

Beberapa di antaranya Oh Sarinah, Rayuan Pulau Kelapa, Melancong di Bali, Halo-halo Bandung, Mars Arek-arek Surabaya, Indonesia Tanah Pustaka, Gugur Bunga di Taman Bhakti, Sepasang Mata Bola, Selamat Datang Pahlawan Muda, Selendang Sutra dan sebagainya.

Baca juga: Mengenang Pelawak Basuki, Pemeran Mas Karyo di Sinetron Si Doel Anak Sekolahan...

Meninggal di pangkuan istri

Ada peribahasa yang mengatakan kalau "gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama".

Demikian pula yang terjadi pada Ismail Marzuki.

Semasa hidup, ia tidak sedikitpun memiliki gengsi sebagai pahlawan, saudagar besar atau dapat menarik banyak orang yang berpamrih di sekitarnya.

Hanya ada kumpulan-kumpulan karya yang dapat ia dendangkan. Racikan musiknya begitu merasuk ke hati, hingga pada akhir hayatnya pun Ismail Marzuki begitu dikenal sebagai maestro musik Indonesia.

Pada 1950-an, agaknya menjadi tahun-tahun yang cukup sulit bagi Ismail Marzuki.

Terlebih ada beberapa pihak yang berusaha untuk memecah usahanya untuk mengembangkan kesenian daerah. Berulang kali, ia dicecar dengan kata-kata dan kalimat yang sinis.

Baca juga: Mengenang Mantan Penyiar TVRI Inke Maris dan Perjalanan Hidupnya...

Kesehatan mulai menurun

Beruntung, ada sang istri, Eulis, dan Rahmi Asiah, anak adopsi mereka yang selalu menghibur juga memberikan keceriaan tersendiri di bahtera rumah tangga Ismail Marzuki.

Di masa-masa tersebutlah, kesehatan pria tamatan sekolah belanda Hollandsch Inlandsche School (HIS) ini mulai terganggu hingga akhirnya ia mengundurkan diri dari kegiatan orkestra.

Aktivitasnya pun hanya terbatas pada karya komposisi saja.

Rupanya, siang hari pada 25 Mei 1958, menjadi hari terakhir Ismail Marzuki untuk bertatap muka dengan keluarga kecilnya.

Usai makan siang, sang komponis ini bercengkrama dengan Rahmi dan tak luput berbaring di pangkuan sang istri seperti kebiasaannya yang sudah-sudah.

Baca juga: Mengenang Ricky Yacobi dan Kiprahnya di Lapangan Hijau...

Seperti tertidur pulas

Eulis merasa Ismail Marzuki tertidur pulas. Dibelai rambut suaminya dengan penuh kehangatan. Namun ia tidak bergerak, tak ada pula sepatah kata yang diucapkan.

Ia telah kembali ke pangkuan Tuhan Yang Maha Esa tanpa pamit, pesan dan meninggalkan gejala apa pun. Ada duka yang mendalam bagi Eulis dan putrinya. Ismail Marzuki meninggal pada usia 44 tahun.

Ismail Marzuki dimakam di TPU Karet Bivak, Jakarta. Pada batu nisannya dipahatkan lagu Rayuan Pulau Kelapa.

Beberapa puluh tahun setelahnya, pemerintah berniat untuk memindahkan makamnya ke Taman Makan Pahlawan di Kalibata.

Namun keluarga menolak dan menganggap jika hal tersebut bukanlah kepentingan yang mendesak.

Bagi pihak keluarga, di mana pun jasadnya dikubur, karya abadi Ismail Marzuki tetaplah bertumpu di hati rakyat Indonesia.

Baca juga: Mengenang Hari Kelahiran Kobe Bryant, Kisah Hidup, dan Karier Basketnya...

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi