Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

3 Alasan Mengapa Konflik Israel-Palestina Sulit Didamaikan

Baca di App
Lihat Foto
AP PHOTO/KHALIL HAMRA
Warga Palestina menggelar shalat jenazah untuk dua wanita dan delapan anak dari keluarga Abu Hatab di Gaza City, yang tewas setelah serangan udara Israel pada Sabtu (15/5/2021).
|
Editor: Rendika Ferri Kurniawan

KOMPAS.com - Konflik dan ketegangan antara Israel dan Palestina tak kunjung reda.

Aksi saling serang terus dilancarkan kedua belah pihak.

Kota dan bangunan hancur. Ratusan jiwa meninggal dunia.

Memanasnya suhu konflik Israel-Palestini ini ternyata dipicu berbagai faktor dan alasan.

Dari alasan klaim agama dan sejarah, hukum internasional yang dilanggar, hingga minimnya dukungan bangsa-bangsa Arab.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Mengapa Negara Arab Kini Banyak Diam dalam Konflik Israel-Palestina?


Mengapa konflik Israel-Palestina sulit dihentikan?

Dosen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Siti Mutiah Setiawati menilai, ada 3 alasan utama mengapa Israel dan Palestina sulit untuk berdamai.

1. Klaim agama dan sejarah

Mutiah menuturkan, sejumlah pendapat mengatakan bahwa bangsa Yahudi berhak atas tanah Palestina karena mereka pernah tinggal di sana.

"Kemudian diusir di zaman Romawi dan tersebar di Eropa, Amerika, dan sebagian Asia. Mereka sudah ribuan tahun terusir," kata Mutiah saat dihubungi Kompas.com, Minggu (16/5/2021).

Pada 1897, bangsa Yahudi ingin kembali ke wilayah Palestina. Alasannya, tanah itu telah dijanjikan oleh Tuhan mereka.

Klaim agama itu kemudian didukung Inggris melalui Deklarasi Balfour pada 1917 dengan mengizinkan wilayah Palestina menjadi national home bagi bangsa Yahudi.

"Jadi kalau ada orang bilang konflik ini tidak ada kaitannya dengan agama, saya tidak setuju. Karena orang Yahudi klaimnya atas dasar agama bahwa Palestina itu wilayah yang dijanjikan untuk mereka," jelas dia.

Ia menjelaskan, penduduk asli Palestina dulunya adalah bangsa Falistin yang berasal dari wilayah dekat Yunani dan telah mendiami wilayah itu selama ribuan tahun.

Ketika Islam disebarkan ke wilayah itu, kemudian terjadi proses arabisasi dan islamisasi, sehingga dinamakan Arab Palestina.

"Jadi selama ribuan tahun bangsa Falistin ini mendiami wilayah Palestina. Namanya saja Palestina, dulunya Kan'an, kemudian berubah menjadi wilayah Palestina," katanya lagi.

 Baca juga: Dewan Keamanan PBB Belum Ambil Tindakan Terkait Konflik Palestina-Israel

2. Hukum internasional yang dilanggar

Menurut dia, sampai saat ini Israel belum diakui sebagai negara oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pasalnya, Israel tak mau menaati Resolusi PBB 242 dan 338 yang mengharuskan mereka keluar dari wilayah pendudukan di Gaza, West Bank, dan dataran tinggi Golan.

"Jadi Israel ini tidak menaati tentang negara di masa modern, tapi didukung Amerika yang menawarkan konsep-konsep politik modern, seperti kedaulatan dan perbatasan," kata dia.

Akan tetapi, dukungan negara superpower seperti Amerika Serikat membuat mereka merasa aman, meski terus mencaplok wilayah Palestina.

Sebab, semua konflik di dunia ini tergantung pada political will dari negara superpower. Jika negara itu membiarkan, konflik akan terus berjalan.

"Tidak ada ketaatan-ketaatan pada kesepakatan hukum dan hubungan internasional. Itu dilanggar semua. Jadi bagaimana mau menyelesaikannya?" tutur dia.

"Oke dengan perundingan. Perundingan juga ditengahi AS, syarat penengah itu kan harus netral, tapi dia pro Israel," sambungnya.

Selain itu, salah satu syarat perdamaian adalah jaminan keamanan dari dua pihak, sementara Israel tidak pernah menjamin keamanan Palestina.

Konflik antara penjajah dan dijajah yang mengharuskan adanya janji kemerdekaan pun tidak pernah ada.

Sebab, Israel tidak pernah menjanjikan kemerdekaan, tetapi otoritas terbatas.

 Baca juga: Peliknya Konflik Israel-Palestina dan Bumerang Atas Serangan Hamas

3. Minimnya dukungan Liga Arab

Mutiah mengatakan, minimnya dukungan dari Liga Arab dikarenakan adanya kepentingan masing-masing, sehingga membuat mereka terpecah.

"Misalnya Mesir yang terobsesi Jalur Gaza dan Sinai tetap miliknya. Yordania menghendaki West Bank miliknya. Jadi negara Arab yang tidak bersatu itu menyulitkan penyelesaian konflik," kata dia.

Selain kepentingan, Liga Arab sudah banyak menghadapi konflik internal yang terjadi di setiap anggotanya.

Misalnya, Arab Saudi dengan Yaman dan Suriah yang menyelesaikan perang saudara berkepanjangan.

Sementara itu, Uni Emirat Arab dan Bahrain secara resmi menjalin hubungan diplomatik dengan Israel belum lama ini.

"Liga Arab penuh masalah, tidak bisa kita harapkan menyelesaikan masalah Palestina ini," pungkas dia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi