Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siswi SMA Dikeluarkan Sekolah karena Hina Palestina, KPAI: Sebenarnya Dia Korban

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG
Umat Islam mengibarkan bendera Palestina saat mengikuti aksi Solidaritas Baitul Maqdis di lapangan Monumen Nasional, Jakarta Pusat, Jumat (11/5/2018). Aksi solidaritas Baitul Maqdis digelar untuk menyoroti konflik antara Palestina dan Israel yang berakar pada perebutan bangunan suci atau Baitul Maqdis dan menolak keputusan pemerintah Amerika Serikat yang memindahkan Kantor Kedutaaan Besar AS untuk Israel ke Yerusalem.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Seorang siswi SMA di Bengkulu berinisial MS dikeluarkan dari sekolah karena mengunggah video yang menghina Palestina.

Ia mengunggah video yang memuat kata-kata kasar terhadap Palestina dan menjadi viral di media sosial.

Dalam pertemuan yang melibatkan orangtuanya, MS sudah menyatakan permintaan maaf dan mengaku menyesali perbuatannya.

"Saya minta maaf atas perbuatan saya. Baik kepada warga Palestina maupun seluruh warga Indonesia," kata MS, Melansir Kompas.com, Rabu (19/5/2021).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun, berdasarkan hasil rapat internal yang telah dilakukan oleh Dinas Cabdin Pendidikan Wilayah VIII Kabupaten Benteng dengan pihak sekolah, MS dikembalikan ke orangtuanya untuk dibina.

MS pun dikeluarkan dari sekolahnya.

Baca juga: Hina Palestina di TikTok, Siswi SMA Dikeluarkan dari Sekolah, Ini Ceritanya

Tanggapan KPAI

Menanggapi kasus ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KAPI) mengatakan bahwa mengeluarkan anak dari sekolah bukanlah solusi yang tepat.

"Anak menjadi begini kan sebenarnya dia korban. Jangan dikeluarkan, itu bukan penyelesaian yang terbaik," kata wakil ketua sekaligus komisioner bidang pengasuhan KPAI, Rita Pranawati, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (19/5/2021).

Pihaknya memang belum mendapat konfirmasi apakah usia MS masuk dalam kewenangan KPAI, yaitu di bawah 19 tahun.

Akan tetapi, ia mengatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk mendapat wajib belajar 12 tahun.

"Ini memang salah kaprah ya karena setiap anak Indonesia, berapapun usianya kita dorong wajib belajar 12 tahun. Itu prinsip dasarnya, bahwa setiap warga negara berhak mendapat wajib belajar 12 tahun," terang Rita.

Baca juga: Gubernur Bengkulu Kritik SMA yang Berhentikan Siswi Penghina Palestina

Kewenangan sekolah

Memnurut Rita, mengeluarkan MS dari sekolah sama halnya dengan mencabut hak pendidikannya.

"Tetapi prinsipnya, hak pendidikan anak ini tetap harus dipenuhi. Sekolah itu bukan penegak hukum yang bisa menghukum, ini kan tempat pendidikan," kata Rita.

Rita menjelaskan, bahwa untuk menangani kasus semacam ini, pihak sekolah perlu melihat situasi tertentu.

Situasi tertentu yang ia maksud, misalnya kondisi rumah tangga dan keharmonisan keluarga siswi tersebut.

Jika anak memiliki perilaku tidak baik dan sekolah tidak sanggup menangani, maka butuh intervensi lain bisa merujuk pada Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau pusat pembelajaran keluarga.

"Sekolah enggak bisa bertindak sendiri. Misalnya, dia tetap sekolah tetapi mungkin butuh konseling, butuh dilihat keluarganya, butuh bantuan pekerja sosial," imbuh Rita.

Baca juga: Pria Pembuat Video TikTok Hina Palestina Terancam 6 Tahun Penjara

Minim literasi digital

Kasus semacam ini menurut Rita, berkaitan dengan kurangnya literasi digital dan pemahaman anak tentang media sosial.

"Ada situasi dampak tertentu yang bisa berdampak hukum, misal berkomentar atau membuat status. Itu literasi digitalnya enggak ada," ujar Rita.

Sebagai solusinya, Rita menyarankan agar Kemendikbud atau Kementerian Agama yang menaungi sekolah, untuk mendorong literasi digital. Terutama memberi pemahaman dan pendampingan pada anak-anak.

Pada 2020, KPAI melakukan survei terhadap 25.164 anak dan 14.169 orang tua di 34 provinsi untuk memantau penggunaan gadget selama pandemi Covid-19.

Hasilnya, sebanyak 79 persen anak diperbolehkan menggunakan gawai selain untuk belajar, 71,3 persen anak memiliki gawai sendiri, dan hampir 79 persen menggunakan gawai dengan orang tua tanpa ada aturan.

Baca juga: Video Viral Pembeli Maki Kurir Saat COD, YLKI: Literasi Digital Rendah

Peran sekolah dan orangtua

Rita menceritakan bahwa ada beberapa orangtua yang mengajukan keluhan karena anak-anak diwajibkan mengunggah tugas video ke media sosial.

"Menguggah tugas di sosial media, tetapi tidak mengajarkan etika di media sosial. Jangan hanya melepas anak di sosial media, tetapi juga memberikan literasi digital," kata dia.

Menurut dia, yang sangat disayangkan, pemberian tugas ini tidak diimbangi dengan pemahaman tentang cara bijak menggunakan media sosial, bahaya UU ITE, keamanan siber dan sebagainya.

Jika anak yang tidak mendapat pemahaman kemudian dikeluarkan dari sekolah, menurut Rita, ini tidak sesuai dengan sekolah inklusif ramah anak.

"Konsep sekolah ramah anak, itu inklusif. Bukan hanya yang baik-baik yang dididik. Justru itu PR-nya," imbuh dia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi