Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 18 Nov 2020

Pendeta GKI, Mahasiswa doktoral ilmu politik Universitas Indonesia

Relevansi Nilai Spiritual Waisak di Tengah Pandemi Covid-19

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG
Bhiku dan umat Buddha berdoa bersama di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Rabu (26/5/2021). Detik-detik Tri Suci Waisak 2565 BE tahun 2021 yang mengangkat tema Bangkit Bersatu untuk Indonesia Maju itu jatuh pada 26 Mei 2021, pukul 18.13.30 WIB.
Editor: Heru Margianto

HARI ini seluruh umat Buddha di muka bumi merayakan Waisak. Perayaan ini merujuk pada teladan hidup Sidharta Gautama, tokoh suci yang menjadi Buddha (baca: pribadi yang mengalami pencerahan).

Konferensi perayaan Buddhis sedunia di Srilanka (1950) menetapkan Waisak sebagai hari penting untuk mengenang tiga hal terkait Sidharta Gautama: kelahirannya, pencerahan yang dialaminya, dan wafatnya.

Sidharta Gautama adalah anak raja. Dia terlahir di lingkungan istana. Hidupnya nyaman dan sejahtera. Tetapi, karena dorongan rohani untuk bebas dari derita, ia meninggalkan itu semua.

Ia rela terpisah dari keluarga. Ia bersedia hidup terbatas dan sederhana. Sidharta berketetapan hati untuk membebaskan diri dari jerat nafsu dan godaan dunia.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tentang kekuasaan

Teladan Buddha bertolak belakang dengan kecenderungan manusia yang ingin berkuasa. Tentang kekuasaan, Abraham Lincoln pernah berkata : “Banyak orang tahan hidup sengsara. Tetapi jika ingin menguji karakter seseorang, berilah dia kekuasaan”.

Karakter Sidharta Gautama teruji. Dia tidak dibuai dan diperbudak kekuasaaan. Sebaliknya, dia meninggalkan semuanya demi membebaskan manusia dari penderitaan dunia.

Banyak penderitaan dan ketidakadilan di dunia ini. Sebut saja beberapa: jurang lebar antara yang miskin dan kaya, sulitnya rakyat negara miskin mendapatkan jatah vaksin, hak orang miskin melalui dana bansos yang dikorupsi.

Sumber penderitaan dalam hidup bersama, sering disebabkan oleh para penguasa. Mereka memakai kekuasaaan untuk kenyamanan diri dan kelompoknya.

Di tengah pandemi covid 19 ini, para penguasa mestinya belajar dari Buddha: memakai kekuasaan untuk kesejahteraan rakyat, bukan malah diperbudak olehnya.

Pencerahan yang dialami Sidharta Gautama menjadi role model bagi umat Buddha. Mereka berharap dapat mengalami hal yang sama.

Salah satu pencerahan yang diteladankan Gautama adalah perlunya menjalani hidup berdasarkan cinta kasih (karuna). Seseorang hidup dalam cinta kasih ketika bebas dari sikap acuh tak acuh dan kemelekatan terhadap seseorang/sesuatu.

Cinta kasih menolong orang bebas dari ego-sentrisme. Pemahaman ini yang mendasari umat Buddha mengucapkan “Sabbe saatta Bhavantu Sukhitatta” (semoga semua mahluk hidup berbahagia).

Relasi antara manusia

Kepala WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus (mengutip Kompas.com, 27/12/2020) mengungkapkan bahwa pandemi Covid 19 ini bukan krisis terakhir. Manusia perlu siap menghadapi krisis -krisis lain. Baca: WHO: Bukan Pandemi Terakhir, Dunia Harus Belajar dari Pandemi Covid-19

Karena itu, manusia tidak boleh fokus hanya mengatasi pandemi saat ini. Ada yang tidak kalah penting selain mengatasi pandemi covid 19. Yaitu, memperbaiki krisis relasi antara manusia, mahluk hidup lain dan ancaman global warming.

Tedros benar. Paradigma antroposentris membuat manusia egois dan mengabaikan keberadaan mahluk hidup lainnya.

Pandemi covid 19 ini menyadarkan manusia bahwa dirinya bukan penguasa atau pusat dunia. Virus ini mengingatkan, jika manusia ingin hidup dan berbahagia maka ia perlu mengupayakan kebahagiaan mahluk hidup lainnya juga.

Hidup dalam karunia yang ditujukan kepada semua mahluk hidup, sangat relevan di tengah pandemi covid 19 ini.

Waisak juga menunjuk pada peringatan akan parinibbana (wafat dan bebasnya Buddha dari lingkaran samsara) Sidharta Gautama.

Tentang kematian

 

Hal kematian, menurut keyakinan Buddha adalah sesuatu yang niscaya. Anehnya, walau sudah pasti, banyak orang tidak siap mati.

Menurut Buddha, orang tidak siap meninggalkan dunia karena ketika hidup, ia berbuat jahat dan melekat dengan apa yang fana.

Jika seseorang ingin siap saat harus meninggalkan dunia, demikian menurut Buddha, ia perlu hidup dalam cinta kasih dan bebas dari kemelekatan terhadap apa yang fana.

Hidup dalam cinta kasih dan bebas dari kemelekatan, relevan untuk umat beragama di Indonesia. Banyak yang mengaku beragama tetapi hidup dengan dikendalikan hawa nafsu.

Sebagian dari mereka malah menjadikan agama sebagai alat untuk membeda-bedakan, membenci dan memecah belah sesama anak bangsa.

Orang-orang seperti ini bukan hanya masuk pada golongan orang yang takut terhadap kematian tetapi juga orang yang tidak berani menghargai kehidupan dirinya dan sesama.

Di tengah kebencian dan konsumerisme akibat kemelekatan, pesan untuk hidup dalam cinta kasih dari Buddha sangat relevan. Apalagi di tengah pandemi covid 19 ini banyak orang yang mengalami kesulitan. Mereka butuh bantuan agar bisa bertahan.

Selamat hari raya Waisak untuk umat Buddha. Semoga semua mahluk hidup berbahagia.

 
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi