Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berkaca dari Kritik Tere Liye soal Buku Bajakan, Ini Faktor yang Mendorong Pembajakan Buku Kerap Terjadi

Baca di App
Lihat Foto
PIXABAY/MARISA SIAS
Ilustrasi buku, koleksi buku.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Maraknya peredaran buku bajakan di Indonesia baru-baru ini menjadi perbincangan hangat di media sosial.

Salah satu penulis Indonesia, Tere Liye, secara tegas mengungkapkan kritiknya terhadap pembajakan buku, termasuk terhadap pembeli buku bajakan.

Penulis novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah itu juga menyoroti peredaran buku bajakan di laman-laman e-commerce Indonesia.

Baca juga: Kisah Syaiful, dari Jualan Pecel Lele, Merintis Usaha dari Nol, hingga Bawa Pulang Lamborghini Aventador

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Hari Kartini, Bagaimana Isi Buku Habis Gelap Terbitlah Terang?

Unggahan Tere Liye yang bernada keras itu lantas mengundang reaksi beragam dari warganet.

Ada warganet yang menyebutkan bahwa Tere Liye keliru jika menyalahkan pembeli buku bajakan, dan menyebut para pembeli itu sebagai orang dungu.

Di sisi lain, ada juga yang menyebut bahwa pemilihan kata-kata keras yang dilakukan Tere Liye adalah hal yang tepat, karena isu pembajakan buku akhirnya menjadi sorotan.

Baca juga: Foto Viral Indomaret Berlokasi di Versailles, Perancis, Memangnya Ada?

Menanggapi kritik dari Tere Liye, e-commerce Tokopedia dan Lazada mengungkapkan, platform mereka selalu berkomitmen untuk melindungi hak kekayaan intelektual (termasuk hak cipta).

Kedua e-commerce itu menyatakan, penjualan buku bajakan termasuk pelanggaran hak kekayaan intelektual, dan akan ditindak tegas sesuai ketentuan yang berlaku di setiap platform.

Baca juga: Ramai Tere Liye Kritik Buku Bajakan di E-commerce, Ini Kata Tokopedia dan Lazada

Wajar jika penulis marah

Dosen Sastra Indonesia dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Dwi Susanto mengatakan, pihaknya bisa memahami jika ada penulis yang bersuara keras terhadap pembajakan buku.

Dia mengatakan, penulis adalah salah satu pihak yang sangat dirugikan dari adanya praktik pembajakan buku.

Dwi menyebutkan, dari satu buku yang terjual, penulis hanya mendapatkan royalti sekitar 5 persen dari harga jual buku tersebut.

"Kan kasihan sekali penulis itu. Maka kalau penulis itu muni-muni gitu, itu ya wajar menurut saya. Saking jengkelnya. Karena hanya 5 persen lho itu (royaltinya). Kalau laku Rp 50.000 ya dapatnya Rp 2.500," ujar Dwi kepada Kompas.com, Selasa (25/5/2021).

Dengan royalti yang sangat kecil itu, penulis masih harus dihadapkan dengan kenyataan langgengnya pembajakan buku di Indonesia, yang jelas tidak berkontribusi apapun terhadap pendapatan penulis buku.

Baca juga: Mengenal Modus dan Tujuan Pembajakan Akun WhatsApp

Permasalahan kompleks pembajakan buku

Dwi mengatakan, fenomena pembajakan buku di Indonesia merupakan permasalahan kompleks, yang terdiri dari berbagai faktor.

Menurut Dwi, permasalahan pertama yang menyebabkan masih langgengnya pembajakan buku adalah karena belum ada tindakan tegas terhadap pelaku pembajakan. 

"Sebenarnya menurut Undang-Undang itu ya ada (hukumannya), pembajakan didenda sekian miliar, tapi pada praktiknya itu tidak dilakukan. Jadi tidak jera dia (pembajak). Seandainya itu ditegakkan, pasti pembajakan buku itu tidak dilakukan," kata Dwi.

Baca juga: Kasus Novel Baswedan, Buku Merah, dan Beban Kapolri Baru

Perlindungan atas Hak Cipta penulis buku telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

"Setiap orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan,"  demikian bunyi Pasal 9 ayat 3 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Adapun sanksi bagi pembajak, diatur dalam Pasal 113 ayat 4.

"Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah),"  demikian bunyi Pasal 113 ayat 4.

Baca juga: Pembuatan Duplikat Buku Nikah Gratis, Bagaimana Prosedurnya?

Buku mahal tapi minat baca rendah

Dwi mengatakan, selain lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku pembajakan, faktor yang turut mendorong langgengnya pembajakan adalah mahalnya harga buku di Indonesia.

Di sisi lain, harga buku yang tinggi itu berbanding terbalik dengan minat baca masyarakat Indonesia yang rendah.

Berdasarkan survei OECD Programme for International Student Assessment (PISA) 2018, Indonesia menempati peringkat ke 75 dari 81 negara soal minat membaca.

Sementara itu, UNESCO menyebutkan, dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca.

Baca juga: Soal Skor PISA 2018, dari Wejangan Nadiem hingga Perlunya Perubahan Budaya Belajar

Dwi mengatakan, mahalnya harga kertas menjadi salah satu faktor yang menyebabkan harga buku menjadi mahal, dan akhirnya melahirkan pembajakan.

"Buku itu kalau di Indonesia mahal, mahal sekali menurut saya. Sementara daya beli masyarakat itu rendah. Karena, satu: ekonomi, yang kedua: tidak punya daya literasi. Ditambah lagi kok ya dibajak bukunya. Kasihan penulisnya kan," ujar dia.

Dia mengatakan, di negara-negara lain, harga buku tidak semahal di Indonesia. Pengalaman itu dia dapatkan, salah satunya, ketika membeli buku di China.

"Saya waktu itu di China beli buku Sigmund Freud Interpretation of Dream, beberapa buku. Itu murah, cuma 2-3 yuan. Kalau di uang kita mungkin sekitar Rp 6.000-7.000, dan itu bukunya bagus-bagus. Kertasnya lux. Itu kalau di Indonesia bisa Rp 100.000 lebih," ungkap Dwi.

Baca juga: Viral Bikin Duplikat Buku Nikah Diminta Bayar Rp 250.000, Ini Cerita Lengkapnya

Perlu intervensi pemerintah

Menurut Dwi, solusi untuk memberantas pembajakan buku di Indonesia adalah dengan adanya intervensi serius dari pemerintah. 

"Memang harus ditindak tegas (pembajakan), yang kedua buku-buku itu harus ada subsidi pajak dan kertas. Kertas kan mahal, pajak iya, terutama distribusi. Kalau bisa royalti penulis itu pajaknya jangan tinggi-tinggi. Kasihan penulisnya," kata Dwi. 

Baca juga: Hari Ini 46 Tahun Lalu, JRR Tolkien, Penulis The Lord of The Rings Meninggal Dunia

Tidak cukup dengan memberikan subsidi terhadap buku, Dwi mengatakan, pemerintah juga harus mengampanyekan literasi, mendorong agar masyarakat gemar membaca buku.

"Jadi harus ada kebijakan, regulasi, untuk meningkatkan daya literasi, dan juga kesejahteraan penulis, serta sirkuit bisnis perbukuan. Pemerintah harus turun tangan untuk mengintervensi harga buku yang murah, dengan misalnya pajak kertas untuk cetak buku itu dimurahkan," kata Dwi.

Menurut Dwi, langkah-langkah intervensi tersebut bukan hal yang mustahil atau sulit dilakukan pemerintah, tetapi memang membutuhkan kemauan dan komitmen serius.

"Masalahnya apakah itu jadi prioritas atau tidak oleh negara? Gitu aja masalahnya," kata Dwi menandaskan.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Charles Darwin Terbitkan Buku tentang Seleksi Alam

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi