KOMPAS.com - Kementerian Pertahanan (Kemenhan) berencana melakukan modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI.
Rencana itu termaktub dalam Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun 2020-2024 (Alpalhankam).
Angka yang disebutkan dalam rancangan itu mencapai Rp 1,7 kuadriliun.
Namun, Direktur Jenderal Strategis Kemenhan Rodon Pedrason menegaskan bahwa jumlah anggaran untuk alutsista merupakan rahasia negara.
Menurutnya, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menginginkan modernisasi besar-besaran untuk tiga matra TNI sekaligus, yakni Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
Bagaimana tanggapan pengamat militer soal anggaran modernisasi alutsista yang mencapai Rp 1,7 kuadriliun tersebut?
Baca juga: Video Viral 14 UFO Kerumuni Kapal Perang AS, Ini Sejarah Kemunculannya
Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menganggap angka yang disebut dalam rancangan Perpres itu wajar.
"Segitu banyaknya kan dari angkanya saja, sebenarnya kan itu proyeksi untuk rencana 25 tahun. Kalau kita bandingkan dengan PDB, ya memang akhirnya tidak fantastis, masih masuk akal," kata Fahmi kepada Kompas.com, Senin (31/5/2021).
Namun, Fahmi menyoroti tidak adanya peran Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP) dalam rancangan perpres tersebut.
Padahal, peran KKIP dalam hal ini merupakan amanat UU Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan.
Dalam undang-undang itu, disebutkan bahwa KKIP merupakan forum pertemuan lintas lembaga dalam proses pembelanjaan alat pertahanan.
"Tanpa ada peran KKIP, yang jelas kita tidak bisa mengklaim bahwa perencanaan itu dilakukan dengan baik dan melibatkan berbagai pihak," jelas dia.
"Sementara di rancangan perpres ada pelibatan Menteri Keuangan, BUMN, Bappenas, tapi justru tidak disebutkan bahwa forumnya tidak KKIP. Ini aneh, apakah kita ini lupa kalau UU mengatur secara jelas bagaimana proses pembelanjaan pertahanan kita dilakukan melalui forum ini," kata dia.
Baca juga: Kemenhan Bantah Nominal Rp 1,75 Kuadriliun untuk Borong Alutsista
Untuk mencegah adanya pelanggaran, Fahmi menyebut pentingnya membenahi regulasi tentang keterlibatan pihak ketiga dalam perencanaan hingga pembelanjaan.
Sebab, potensi penyimpangan tidak hanya pada pembelanjaan, tapi juga dari tahap perencanaan.
"Sehingga regulasi harus mengatur jelas keterlibatan tahap ketiga ini, mulai dari bagaiaman peran dan kewajibannya," ujar dia.
"Dengan begitu kita juga bisa mengidentifikasi siapa saja aktor-aktor yang terlibat dalam uruan pengadaan ini," sambung dia.
Selain itu, ia juga menyoroti perlunya indikator kemandirian untuk mengetahui kondisi alutsista Indonesia saat ini dan seberapa besar kesenjangan antara kondisi yang ada dengan kebutuhan.
Terkait kompoten yang perlu mendapat perhatian lebih, menurutnya bisa berdar pada capaian target Minimum Essential Force (MEF) antara TNI AD, AL, dan AU.
"TNI AD sampai saat ini capaiannya paling tinggi, hampir 80 persen dari target yang sudah tercapai. TNI AL masih kurang dari 70 persen. Nah TNI AU ini baru tercapai kurang dari 50 persen, harus menjadi perhatian," kata dia.
Ia menjelaskan, pembangunan pertahanan harus proporsional dan tidak boleh menitikberatkan pada satu komponen.
Artinya, harus diperhatikan secara serius bagaimana menyeimbangkan kekuatan darat, laut, dan udara.
Baca juga: DPR Akan Minta Klarifikasi Prabowo soal Anggaran Modernisasi Alutsista Rp 1,7 Kuadriliun
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.