Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kata YLKI soal Tarif Tak Masuk Akal Warung Makan di Tempat Wisata

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pedagang kaki lima menjajakan dagangan di trotoar Jalan Malioboro, Yogyakarta, Jumat (15/4/2016).
|
Editor: Rendika Ferri Kurniawan

 

KOMPAS.com - Jagat dunia maya diramaikan dengan kasus konsumen mendapat nota tagihan makanan dengan harga yang dinilai mahal di tempat wisata.

Seperti yang dialami seorang pengunjung di sekitar Malioboro, Yogyakarta beberapa waktu lalu. Ia mengeluh karena ditagih harga tak wajar atas menu yang dipesannya.

Terbaru, kejadian di mana seorang konsumen membeli makanan di kawasan Puncak, Bogor.

Pembeli mengeluh karena harga dinilai terlalu tinggi untuk jenis makanan atau minuman yang mereka pesan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nota pembelian itu pun diunggah oleh akun Twitter, @ngegasteruss, Rabu (2/6/2021).

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) buka suara terkait kejadian tersebut.

Baca juga: Penjual Pecel Lele Mahal Bukan PKL Malioboro, Paguyuban Ancam Gugat Wisatawan

Tanggapan YLKI

Sekretaris Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Agus Suyatno mengatakan, kejadian semacam ini bukan hal baru di tempat wisata di Indonesia.

Sejumlah oknum pedagang memanfaatkan situasi dengan menaikkan harga di luar batas wajar pada para pembeli yang merupakan wisatawan luar daerah.

Biasanya, harga "ngawur" ini terjadi pada tempat makan yang tidak menampilkan daftar harga dari makanan dan minuman yang ditawarkannya.

Untuk itu, penting bagi masyarakat yang menjadi konsumen untuk memperhatikan hal tersebut.

"Pastikan bahwa dalam memilih rumah makan (RM) adalah yang menyajikan menu beserta dafar harga. Konsumen berhak mendapat informasi tambahan terkait layanan dan harga sebelum melakukan pesanan," kata Agus, dihubungi Kompas.com, Rabu (2/6/2021).

"Sebisa mungkin hindari RM yang tidak mencantumkan dafar harga," lanjut dia.

Tak hanya bagi pihak konsumen, YLKI memandang peran penting pemerintah daerah untuk membuat kebijakan pencantuman harga di setiap tempat makan.

"Di tataran Pemda juga perlu membuat aturan mengenai kewajiban pelaku usaha RM mencantumkan harga. Terutama RM yang banyak diakses oleh orang luar atau turis," kata Agus.

Baca juga: Ramai soal Harga Pecel Lele di Malioboro, Ini Fakta-faktanya

Apa yang harus dilakukan jika jadi korban warung "nakal"?

Agus mengatakan hal pertama yang paling tepat untuk dilakukan adalah mengomunikasikannya dengan pedagang atau pihak tempat makan yang bersangkutan.

"Pada prinsipnya, paling ideal aduan pertama kali langsung dirujukan kepada pelaku usaha. Ini diperlukan untuk membuka ruang dialog antara pelaku usaha dan konsumen. Acap kali permasalahan muncul karena tersumbatnya saluran komunikasi," jelas dia.

Jadi, sebelum memutuskan untuk mengambil tindakan lebih lanjut, maka konsumen dan pedagang dapat terlibat dalam komunikasi dua arah, agar permasalahan dapat terkomunikasikan dengan baik.

Jika hal itu sudah dilakukan namun pedagang tidak menunjukkan itikad baik, konsumen dapat proaktif mengadukan ke pihak atau badan terkait yang membawahi pelaku usaha warung makan di daerah tersebut.

"Apabila hal ini dirasa deadlock atau tidak mendapat jalan keluar, konsumen bisa mengadukan pada asosiasi pedagang. Di beberapa wilayah pariwisata ada asosiasinya. Aduan bisa di CC-kan ke pemda melalui dinas pariwisata atau dinas Koperasi dan UKM," ujar Agus.

Hanya saja, Agus menyebut sering kali akses poin pengaduan ini tidak tersosialisasikan dengan baik kepada masyarakat.

Mereka pun jadi tidak mengetahui ke mana harus mengadu.

"Ini menjadi PR bagi pemda untuk memberikan ruang bagi masyarakat memberikan masukan atau aduan," ujar dia.

Selain kepada pihak pemerintah daerah, sesungguhnya konsumen juga bisa mengadukan kejadian semacam itu pada lembaga perlindungan konsumen setempat.

Baca juga: Video Viral Wisatawan soal Harga Pecel Lele Malioboro, Ini Kata Pemkot dan Pedagang

Apakah perlu diviralkan dulu?

Sebagian konsumen yang merasa rugi kerap mengunggah pengalamannya ke media sosial.

Mereka menampilkan nota tagihan dengan harga tak wajar, hingga mengunggah nama atau foto lokasi tempat makan yang dimaksud, sehingga berujung viral.

Agus tidak menyebut cara ini sebagai sesuatu yang benar atau salah. Efektif atau tidak.

"Memviralkan aduan ke media sosial bisa saja efektif. Namun, konsumen juga perlu hati hati dan waspada, sebab tidak menutup kemungkinan terjadi kesalahpahaman yang justru akan kontraproduktif dengan maksud dan tujuan si konsumen," papar dia.

Untuk itu, sebelum mengunggahnya ke media sosial, pastikan konsumen melakukan komunikasi atau pengaduan yang sesuai, sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Agus meminta agar konsumen yang mengunggah ke media sosial, berbagi pengalaman dan pelajaran bagi masyarakat lain, bukan untuk mematikan usaha pihak yang telah merugikannya.

"Dalam hal memviralkan, poin yang perlu dipegang adalah untuk pembelajaran konsumen lain serta orientasi pada penyelesaian masalah. Sifat aduan bukan untuk menjatuhkan, tetapi mencari jalan keluar permasalahan," pungkas dia.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi