Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisruh Sinetron Zahra, Bagaimana Peran Lembaga Sensor dan KPI?

Baca di App
Lihat Foto
Instagram @indosiar
Suara Hati Istri Zahra
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Sinetron Suara Hati Istri atau sinetron Zahra yang tayang di salah satu stasiun televisi swasta menuai polemik.

Salah satu sebabnya adalah adanya pemain di bawah umur yang memerankan adegan terkait suami-istri, tepatnya sebagai istri ketiga.

Sinetron itu ramai dibicarakan karena dinilai telah mempertontonkan dan mempromosikan pernikahan anak.

Baca juga: Berkaca dari Kasus di Lombok Timur, Berikut Dampak Pernikahan Dini bagi Pasangan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diberitakan Kompas.com, Kamis (3/6/2021), Ketua LSF Rommy Fibri Hardianto menegaskan, sinetron tersebut sudah lulus sensor atau tidak memiliki masalah dalam hal konten.

Rommy menjelaskan, LSF sudah menyensor sebelum sinetron tersebut ditayangkan.

Dari proses tersebut, kata dia, tidak menemukan konten adegan dewasa dalam film tersebut.

Baca juga: Kisah di Balik Viral Pernikahan ala Harry Potter dan Narnia...

Pihaknya bersikukuh tidak kecolongan dan telah melakukan sensor yang ketat, karena proses sensor terhadap tayangan televisi jauh lebih ketat daripada proses sensor untuk tayangan di layar lebar.

Sementara itu Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo mengatakan, tahap awal yang melakukan sensor untuk tayangan konten di sebuah program televisi adalah production house (PH) atau rumah produksi.

Tugas KPI adalah mengawasi konten yang telah tayang di televisi sesuai dengan P3 dan SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran).

Baca juga: Mengapa Pernikahan Lintas Generasi Marak Terjadi?

Tidak ada larangan

Menurut Hadi di dalam P3 dan SPS, sebenarnya tidak ada larangan artis anak-anak memerankan tokoh dewasa.

Twitter @kpipusat juga menuliskan bahwa sensor bukan tugas mereka.

"Sensor bukan kami yang melakukan. Posisi kami ada di pasca tayangan. Sensor dilakukan oleh masing-masing lembaga penyiaran," tulis akun @kpipusat.

Baca juga: Mengapa Sinetron Ikatan Cinta Banyak Penggemarnya? Ini Penjelasannya

Lantas, bagaimana tanggapan pengamat terkait peran LSF dan KPI?

Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM Wisnu Martha Adiputra menjelaskan, LSF mengurusi sensor film sebelum tayang, baik di bioskop maupun televisi. Sinetron, imbuhnya termasuk yang disensor LSF sebelum tayang.

Sementara itu KPI mengurusi bidang penyiaran, terutama pemberian/perpanjangan izin siaran.

Dia juga menjelaskan, LSF bisa menyensor tayangan yang tidak senonoh atau tidak memenuhi ketentuan sehingga ketika tayang sudah aman.

"Bisa dong, terutama yang berkaitan dengan pornografi dan kekerasan, walau biasanya juga berkaitan degan hal-hal sensitif tentang agama dan politik. Kan sebelum disiarkan di TV mesti dapat tanda lulus sensor dari LSF," kata Wisnu kepada Kompas.com, Kamis (3/6/2021).

Baca juga: Selain SpongeBob, Ini 13 Program yang Disanksi KPI

Ketika tayang, dalam sebuah sinetron akan ada keterangan "Menyatakan Telah Lulus Sensor" dengan keterangan tanggal sensor, usia, dan lainnya.

Menurutnya yang menjadi masalah saat ini adalah KPI tidak seaktif dulu dan tidak berani mengambil langkah tegas seperti menghentikan penayangan.

"Problem-nya emang KPI tak cepat bereaksi dan enggak berani memberi sanksi yang tegas. Komisionernya harus aktif dong. Saya melihat KPI yang sekarang kurang aktif, malah sibuk ingin memasukkan konten di internet sebagai bagian dari tugas mereka," tuturnya.

Baca juga: SpongeBob Disemprit KPI, Mengapa Kartun Dianggap Bisa Sangat Pengaruhi Audiens?

Dikenai sanksi

Wisnu mencontohkan dulu terdapat tayangan Silet dan Smack Down yang akhirnya dihentikan penayangannya karena mengandung muatan yang bermasalah.

Terkait sinetron Zahra, Wisnu berpendapat sebaiknya sinetron itu dihentikan.

"Dihentikan dan pihak-pihak yang bersalah dikenai sanksi, bahkan bisa dihukum bila menggunakan UU Perlindungan Anak," imbuhnya.

Baca juga: Ramai soal Siaran Pernikahan Atta Halilintar dan Aurel Hermansyah di Televisi, Ini Tanggapan KPI...

Dengan adanya lembaga seperti LSF dan KPI di Indonesia, menurut Wisnu tidak perlu ditambah lembaga baru untuk upaya penegakan tayangan yang sehat.

"Kita punya banyak regulator media/komunikasi yang kurang efektif seperti KPI dan LSF, juga Komisi Informasi, enggak perlu lembaga baru, malah pusing nanti bila tak perform lagi," kata Wisnu.

Pihaknya, menyarankan untuk lebih memaksimalkan atau mengefektifkan lembaga yang ada dengan memilih anggota atau komisioner yang aktif, memahami bidangnya, dan peduli pada kepentingan publik.

Lalu untuk film, menurutnya tidak perlu menggunakan mekanisme sensor tapi kategori usia yang ketat seperti yang pernah diusulkan oleh masyarakat sipil dulu (UU Film lama).

"Selain itu perumusan aturannya sebaiknya diperjelas dan yang paling penting adalah penegakannya," imbuh dia.

Menurutnya, selama ini masih ada aturan yang tak ditegakkan di UU Penyiaran.

Baca juga: Iklan BTS Disebut Mengandung Unsur LGBT, Ini Klarifikasi KPI

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi