Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Warning" dari Lonjakan Kasus Harian Covid-19 di Indonesia...

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/NOVRIAN ARBI
Warga melintasi mural bertema COVID-19 di Bandung, Jawa Barat, Selasa (1/6/2021). Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyatakan Provinsi Jawa Barat siaga satu COVID-19 akibat melonjaknya kasus positif COVID-19 pascakebocoran arus mudik dan libur Lebaran 2021. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/rwa.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Indonesia kembali mengalami lonjakan kasus harian Covid-19.

Berdasarkan data Worldometers, pada Kamis (10/6/2021), ada 8.892 kasus harian. Kemudian, pada Jumat (11/6/2021) ada 8.083 kasus harian.

Terpantau, saat aturan larangan perjalanan berlaku pada pertengahan Mei lalu, angka kasus harian berada pada angka 2.000-3.000 kasus per hari.

Akan tetapi, angka kasus harian semakin hari semakin meningkat dan kini mencapai angka 8.000 kasus per hari.

Baca juga: Catatkan Rekor Dunia Kasus Harian Covid-19 Tertinggi, Rumah Sakit di India Kirim SOS

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akibat mobilitas meningkat

Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono Ahmad mengatakan, peningkatan kasus karena mobilitas yang meningkat saat Lebaran.

"Karena tidak ada event lain yang masif dan signifikan meningkatkan mobilitas manusia kecuali Lebaran dan juga kemudian mobilitas setelahnya," kata Riris, saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (12/6/2021).

Peningkatan kasus memang tidak langsung terjadi. Ada yang disebut dengan masa inkubasi atau masa virus masuk masuk ke dalam tubuh hingga munculnya penyakit.

Masa inkubasi sekitar 2 minggu.

"Nanti akan semakin lama semakin meningkat," kata Riris.

Angka ini, menurut dia, bisa meningkat berkali lipat, terutama jika mobilitas tidak dibatasi. Peningkatan angka berkali lipat ini disebut dengan eksponen.

"Mungkin dua minggu pertama bertambahnya 2-3 kalinya. Kemudian 4 minggu kemudian, 2-3 kali itu menjadi eksponen," ujar Riris.

Baca juga: Kasus Harian Covid-19 di India Tembus 260.000 Kasus, Apa Penyebabnya?

Angka kematian

Riris mengimbau agar pemerintah dan masyarakat tidak meremehkan persentase kematian akibat Covid-19.

"Banyak yang bilang angka kematiannya hanya 1 persen, tetapi 1 persen kalau semakin banyak ya banyak mati juga," kata dia.

Persentase angka kematian bisa meningkat jika jumlah kasus harian membeludak dan rumah sakit kewalahan. Akibatnya, pasien yang sebenarnya bisa sembuh jadi tak tertangani dengan baik.

"Tidak tertangani, angka kematiannya juga jadi naik. Tidak hanya 1 persen tetapi bisa naik lagi," ujar Riris.

Meski demikian, tidak ada kata terlambat untuk pencegahan penularan virus. Dengan peningkatan kasus, mobilitas masyarakat sebaiknya dihentikan.

Ketika situasi sudah terkendali, sebaiknya tidak diberi kelonggaran lagi. 

Ia mengimbau pemerintah dan masyarakat untuk kembali menerapkan protokol kesehatan 5M. Lonjakan ini merupakan konsekuensi dari tingginya mobilitas yang harus dihadapi bersama.

"Tetap harus melakukan 5M ya. Mau tidak mau. Kita boleh lelah, tapi virusnya enggak pernah lelah. Kalau kemudian kita menyerah, yang akan mendapatkan keuntungan virusnya," kata dia.

Peringatan Satgas

Lonjakan kasus akibat mobilitas selama libur lebaran sudah diperingatkan sebelumnya oleh Menko Perekonomian sekaligus Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) Airlangga Hartarto.

Hal ini disampaikannya dalam konferensi pers yang disiarkan di kanal YouTube 24 Mei 2021 lalu.

"Yang perlu diperhatikan adalah dalam siklus 4-5 minggu ke depan," ujar Airlangga.

Berkaca peningkatan kasus harian akibat libur Natal 2020 dan tahun baru, puncak kenaikan kasus terpantau beberapa miggu setelahnya, tepatnya pada 5 Februari 2021.

Oleh karena itu, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro kembali diberlakukan dan berlaku di seluruh Indonesia. 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi