Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penangkapan Adelin Lis dan Rencana DPR Bikin Aturan Penjara Seumur Hidup bagi Perusak Lingkungan

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA
Tangkapan layar buronan Kejaksaan Agung, Adelin Lis saat tiba di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Sabtu (19/6/2021) malam.
Penulis: Farid Assifa
|
Editor: Farid Assifa

KOMPAS.com - Adelin Lis (63), buronan kasus pembalakan liar, direpatriasi dari Singapura.

Adelin diterbangkan dari Singapura langsung ke Jakarta, sesuai permintaan Indonesia melalui Jaksa Agung.

Mengutip dai KompasTV, Sabtu (19/6/2021), buronan kelas kakap itu tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, sekitar pukul 19.30 WIB.

Adelin Lis terlibat kasus pembalakan liar dan dijatuhi hukuman 10 tahun penjara serta denda lebih dari Rp 119 milir oleh Mahkamah Agung pada 2008.

Ketika vonis itu diterima, Adelin kabur dari Indonesia. Keberadaannya terungkap setelah ditangkap otoritas Singapura.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pada 9 Juni 2021, Pengadilan Singapura menjatuhi hukuman denda 14.000 SGD dan deporttasi dari Singapura karena pemalsuan dokumen imigrasi.

Baca juga: Adelin Lis dan Kronologi Pemulangannya dari Singapura ke Indonesia

Kapuspenkum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, setelah tiba di Indonesia, Adelin akan dikarantina selama 14 hari. Ia ditempatkan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung.

Kemudian eksekusi penjara dan denda Rp 119 miliar itu akan dilakukan setelah buronan kasus pembalakan liar ini usai menjalani karantina selama 14 hari.

Adelin Lis dengan perusahaan miliknya, PT Mujur Timber Group dan PT Keang Nam Development Indonesia terbukti melakukan pembalakan liar di hutan Mandailing Natal.

Ia ditangkap di Beijing, China, akhir 2006 saat akan memperpanjang paspor di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Beijing, China.

Namun Pengadilan Negeri Medan akhirnya membebaskan Adelin, sebagaimana diberitakan Harian Kompas, 7 November 2007.

Sejak itu, Adelin menghilang hingga akhirnya ditangkap otoritas Singapura karena pemalsuan dokumen imigrasi.

Hukuman penjara seumur hidup

Di sisi lain, DPR sedang merancang hukuman penjara seumur hidup dan denda ratusan miliar serta dimiskinkan untuk pelaku perusakan lingkungan, yang salah satunya pembalakan liar dan perburuan satwa yang dilindungi.

Pembuatan aturan tegas tersebut dilakukan dengan merevisi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem.

Ketua Panitia Kerja (Panja) Revisi UU tentang Konservasi yang juga Wakil Ketua Komisi IV Dedi Mulyadi mengatakan, di dalam yang direvisi itu, terdapat upaya perlindungan, upaya paksa ancaman pidana dan denda bagi para perusak lingkungan, termasuk pemburu satwa liar yang dilindungi.

"Kami usulkan pidana berat bagi siapapun yang melakukan kejahatan lingkungan," ujar Dedi kepada Kompas.com via sambungan telepon, Sabtu (19/6/2021).

Dedi mengatakan, UU No 5/1990 sekarang ini memiliki kelemahan, yakni hukuman bagi pelanggar terlalu ringan. Misalnya, pidana denda hanya Rp 100 juta, tidak sebanding dengan harga orangutan yang dibunuh.

"Jadi teman-teman Komisi IV sudah sepakat memberi denda tinggi, bisa jadi puluhan miliar. Perusak lingkungan dan pemburu satwa liar harus dimiskinkan," tegas politisi Golkar ini.

Sementara, hukuman pidananya, Dedi mengatakan, pihaknya akan mengusulkan ancaman hukuman seumur hidup.

"Saya usulkan pidana seumur hidup, dan denda ratusan miliar rupiah bagi perusak lingkungan dan pemburu satwa liar," tegasnya.

Baca juga: DPR Rancang Aturan Penjara Seumur Hidup untuk Pemburu Satwa Liar

Dedi mengatakan, perusak lingkungan dan pemburu satwa liar yang dilindungi sudah mematikan siklus kehidupan, sehingga layak mendapat pidana seumur hidup.

"Begini, orang jahat mencuri anak orangutan, caranya kan membunuh induknya. Dia sudah mematikan siklus kehidupan dan layak penjara seumur hidup," kata mantan bupati Purwakarta itu.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi