Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Situasi Covid-19 Kian Kritis, Epidemiolog: Kalau Cuma Begini-begini Saja, Kita Akan Hancur...

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO
Suasana pemakaman jenazah Covid-19 di TPU Rorotan, Jakarta Utara, Kamis (24/6/2021). Meningkatnya kasus kematian Covid-19 mengakibatkan kesibukan pemakaman di TPU Rorotan hingga malam hari. Sedikitnya 79 orang dimakamkam hari ini.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Epidemiolog dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengingatkan, situasi pandemi Covid-19 di Indonesia kian mengkhawatirkan.

Menurut dia, hal itu berdasarkan positivity rate atau rata-rata angka positif dalam lima hari terakhir yang berada di atas 40 persen.

Pada 22 Juni 2021, angka positivitas menyentuh 51,6 persen, yang artinya dari 100 orang yang diperiksa, ada 51 yang positif.

"Situasi di Indonesia sudah kritis banget, indikatornya bisa dilihat dari positivity rate, itu nomor satu. Lalu yang kedua, bilangan reproduksi efektif atau tingkat penularan," kata Windhu kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Jumat (25/6/2021) siang.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Windhu menjabarkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah membagi positivity rate dalam 4 gradasi:

Baca juga: Lonjakan Covid-19, 6 Tanaman Herbal Ini Mampu Tingkatkan Imunitas Tubuh

Indonesia, lanjut dia, selama berbulan-bulan menempati gradasi ke-4, atau very high incident, yang paling berbahaya.

Bilangan reproduksi efektif juga mengalami kenaikan secara terus menerus.

"Terakhir hitungan saya tanggal 17 Juni, itu belum setinggi sekarang, angkanya 1,21. Sebenarnya di atas 1 itu enggak boleh, karena untuk bisa disebut terkendali itu kalau angkanya di bawah 1, dan angkanya sampai sekarang naik terus," ujar Windhu.

"Belum lagi kasus hariannya, sudah tajam, curam, dan meningkat. Kan meningkatnya tajam, kalau yang Januari naikknya enggak tajam, akhir-akhir ini kan tajam naiknya," kata dia.

Dengan semakin naiknya angka positivity rate dan bilangan reproduksi efektif tersebut, tentu saja akan berdampak pada situasi sistem kesehatan.

Rumah sakit dan tenaga kesehatan, terang Windhu, kewalahan karena yang terjadi saat ini seperti "banjir bandang".

"Ini kan ibarat banjir bandang yang membawa balok-balok besar, penampungannya sudah meluap-luap. Gampang aja kalau misalnya mau nambah berapa pun bed-nya, tapi gimana dengan dokternya? SDM-nya gimana," kata Windhu.

Baca juga: Lonjakan Kasus Covid-19 saat Liburan Sekolah, Epidemiolog: Tutup Tempat Wisata

Refleksi dan masih banyaknya masyarakat yang abai

Windhu mengingatkan, situasi akan semakin sulit jika pemerintah tidak segera mengambil langkah pasti dalam menangani kekritisan ini.

Pemerintah telah mengumumkan adanya penebalan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat Berbasis Mikro (PPKM Mikro) pada 22 Juni 2021.

Penebalan PPKM Mikro tersebut dianggapnya bukan solusi yang seharusnya diambil oleh pemerintah.

"Ini keadaan luar biasa, kalau kita cuma begini-begini tok, cuma penebalan PPKM Mikro, ya akan hancur kita. Bisa saja seperti India, tapi kita enggak berharap seperti itu," ujar Windhu.

Menurut Windhu, tidak adanya langkah konkret dari pemerintah bukan satu-satunya persoalan penanganan pandemi di Indonesia.

Banyaknya yang masih abai terhadap protokol kesehatan juga semakin menambah kekusutan dalam penanganan pandemi.

"Bukan hanya ada, tapi masih banyak masyarakat yang abai. Kepatuhan masyarakat sekarang enggak sampai 40 persen secara umum, enggak banyak yang mau pakai masker dengan baik, banyak yang masih bepergian ke mana pun, itu sangat berisiko di masa seperti ini," kata Windhu.

Akibatnya, tingkat penularan akan semakin meninggi seperti yang terjadi saat ini. 

"Jadi kondisinya sudah luar biasa, tapi tentu masyarakat enggak bisa disalahkan dong, karena aturan dari pemerintah masih membolehkan begini-begini saja kok," kata Windhu.

Baca juga: 20.574 Kasus Covid-19 dalam Sehari, Ini Provinsi dengan Penambahan Tertinggi

Apa langkah yang perlu diambil?

Windhu menyarankan, pemerintah sebaiknya memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam satu wilayah besar.

Menurut dia, India dapat dijadikan contoh dalam upayanya menurunkan angka penularan.

"Begitu dikecam oleh dunia internasional, India langsung me-lockdown negara-negara bagiannya, langsung banting stir, hanya dalam tempo 1 bulan India bisa menurunkan sampai 1/8 kasus puncak, itu luar biasa," kata dia.

Satu negara bagian di India, menurut Windhu, sama dengan satu provinsi di Indonesia.

Windhu mengatakan, saat lockdown, 98 persen populasi di India tidak keluar dari rumahnya. Hal itulah yang membuat laju penularan menjadi tersendat.

"Seperti itu, pemerintah harus mengambil langkah seperti itu, kalau enggak bisa lockdown seperti India, ya PSBB lah," ujar dia.

Namun, hal itu perlu diimbangi dengan pemberian bantuan sosial dari pemerintah karena masyarakat tidak bisa keluar rumah untuk mencari nafkahnya.

"Tapi saya kira kita bisa meniru India, wong di sana itu soal kemiskinannya sama, pemerintahnya juga tidak kaya, kemudian penduduknya justru jauh lebih besar, mestinya kita bisa," kata Windhu.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi