Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 30 Mei 2021

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

Memahami Followership: Kunci Sukses di Balik Kepemimpinan Efektif Zaman Now

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/Jirsak
Ilustrasi leadership.
Editor: Heru Margianto

“The real art of leadership is creating a world that other people want to belong to..”
Jim Morris – Pixar.

Kita mungkin menganggap bahwa peran pemimpin jauh lebih dominan dan penting daripada anggota dalam indikator performa organisasi. Anggapan itu wajar saja karena masing-masing punya aspek penilaian tertentu.

Dan memang benar bahwa kepemimpinan yang baik memiliki kontribusi yang signifikan terhadap laju organisasi.

Tetapi, saya ingin melemparkan beberapa pertanyaan sederhana yang mungkin bisa menjadi bahan renungan: siapa pemimpin jika tanpa kontribusi dari para anggota?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bisakah seseorang disebut pemimpin hebat bila tidak memiliki pengakuan dari anggotanya?

Siapakah pemimpin bila tidak ada anggota yang mendukungnya?

Lalu, apakah pemimpin bisa memajukan organisasi jika anggotanya pasif dan selalu menjadi yes man?

Carsten, et.al (2017) menemukan bahwa manajer melaporkan kurangnya dukungan, motivasi, dan kontribusi untuk mencapai tujuan bila bekerja dengan anggota yang pasif yang hanya menunggu perintah dari atasan.

Dampaknya, jika sifat pasif anggota mengakar kuat, pemimpin akan kehilangan daya kepemimpinannya.

Berarti, pemimpin dan anggota hubungannya bersifat dua arah, bukan satu arah. Oleh karenanya, memahami anggota menjadi penting bagi setiap pemimpin.

Followership

Menilik definisi anggota atau bisa disebut followership, David B. Zoogah (2014) dalam bukunya, Strategic Followership: How Followers Impact Organizational Effectiveness, mendefinisikan mereka sebagai sebuah proses di mana individu, berdasarkan saling ketergantungan bersama, secara aktif memengaruhi orang lain dengan cara yang menghasilkan nilai bersama dari hubungan tersebut.

Artinya, mereka bukanlah individu yang pasif, melainkan bersama-sama bergerak untuk mewujudkan tujuan tertentu.

Tom MC Ifle (CEO Top Coach Indonesia) berpandangan, followership itu bukan pengikut yang buta. Tetapi, followership itu harus kritis bahkan berani menantang status quo.

Anggota yang seperti ini justru bisa membangun leadership yang kuat karena mereka berani protes dan memberikan pandangan-pandangan yang bisa meningkatkan daya gedor organisasi.

Lanjut menurut Coach Tom, organisasi yang baik bisa dibangun oleh great followership. Tom memberikan kriteria yang menarik bagaimana mental seorang great followership.

Mereka individu yang penuh dengan rasa syukur. Mereka siap untuk bertanggung jawab penuh atas semua tindakannya dan antusias dalam segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan mereka. Great Followership yang baik juga siap mendukung keputusan organisasi.

Selain itu, di dalam buku karya James H. Schindler (2015), Followership: What it Takes to Lead, dia berpendapat bahwa terdapat empat komponen penting dalam membangun great followership, yakni adanya kepercayaan anggota terhadap visi, misi, dan tujuan organisasi.

Anggota juga rela untuk mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk kemajuan organisasi. Organisasi juga harus membangun kesetiaan anggota dan mereka harus fokus untuk meraih tujuan bersama.

Kesimpulannya, anggota punya peran yang signifikan dalam kemajuan organisasi. Dalam kalimat Gobble (2017), dunia membutuhkan anggota sama seperti dunia membutuhkan pemimpin. Dunia membutuhkan anggota – dalam artian anggota yang kreatif dan berani, sama banyaknya dunia membutuhkan pemimpin.

Mereka mendukung pemimpinnya, tetapi juga menanyakan hal-hal yang kritis, mendetail agar pemimpin mampu menemukan solusi yang lebih komprehensif.

Gobel menyimpulkan betapa pentingnya anggota setelah menganalisis berbagai penelitian tentang followership.

Menjadi anggota bukan berarti mereka lebih rendah dibandingkan pemimpin. Justru, mereka adalah komponen terpenting dalam keberhasilan organisasi.

Turun atau naiknya performa organisasi dipengaruhi oleh kinerja anggota kita. Karenanya, penting untuk mempedulikan dan memperlakukan mereka seperti selayaknya.

Bahkan, sebelum kita menduduki posisi sebagai manajer, direktur, ataupun jabatan C-level, kita harus melalui fase menjadi seorang anggota terlebih dahulu.

Namun, Tom juga bercerita bahwa justru banyak organisasi saat ini yang timpang membangun mental followership. Anggota harus dilengkapi dengan ilmu followership agar mereka bisa berkontribusi maksimal.

 

Membangun jembatan komunikasi dengan pengikut

Kita bisa melihat betapa pentingnya anggota bagi keberhasilan organisasi. Apple, Amazon, Walmart, dan perusahaan besar lainnya tidak akan bisa sebesar sekarang jika tidak memiliki anggota hebat yang mendukung perusahaan.

Tetapi, kebanyakan para pemimpin lupa betapa pentingnya followership dan justru mereka hanya memandang anggota itu sebagai pelengkap dan tim mereka. Bagaimana menilai pemimpin saat ini adalah dengan kacamata anggotanya.

Dale Carnegie dalam studinya membuktikan itu. Mereka mengeluarkan studi yang berjudul Global Leadership Study pada 2017 yang menunjukkan empat blind spots pemimpin.

Pertama, 36 persen atasan yang konsisten menunjukkan apresiasi mereka terhadap karyawannya. Kedua, hanya 37 persen pemimpin yang berani mengakui kesalahan mereka.

Ketiga, hanya 36 persen anggota yang merasa pemimpinnya konsisten mendengarkan aspirasi mereka. Terakhir, hanya 32 persen anggotanya merasa pemimpinnya jujur.

Kemudian, Robert Walters Asia tahun 2019 mengeluarkan survei tentang alasan karyawan di suatu perusahaan mengundurkan diri.

Survei yang melibatkan 771 karyawan dan 496 manajer perekrutan ini menemukan lima penyebab mengapa karyawan resign dari perusahaan, diantaranya terbatasnya ruang berkembang di perusahaan, merasa digaji rendah, tidak lagi tertantang, merasa diremehkan, dan budaya perusahaan yang sudah tidak cocok, khususnya tidak ada budaya komunikasi terbuka.

Kemudian, dalam konteks masa pandemi di mana semuanya berjuang keras untuk bertahan, justru pemimpin tidak menunjukkan empati terhadap anggotanya.

 

Survei dari The Hub Event yang melibatkan 1.115 responden di Britania Raya menemukan fakta bahwa 53 persen anggota merasa bahwa pemimpinnya kurang berempati selama masa lockdown dan work from home (WFH).

Selain itu, 48 persen anggota merasa bahwa pemimpin tidak memeriksa keadaan timnya dan 32 persen mengatakan mereka tidak mendapat cukup dukungan bekerja dari rumah.

Hasil survei diatas bisa menjadi wake-up call bagi para pemimpin. Terlebih, di masa pandemi ini, membangun komunikasi semakin sulit dan menantang. Komunikasi juga menjadi lebih banyak virtual.

Cara biasa tidak akan bisa membangun keharmonisan antara pemimpin dan anggota. Pemimpin harus lebih kreatif lagi berhubungan dengan anggota mereka sendiri.

Survei tersebut dapat menjadi bahan refleksi agar pemimpin memperlakukan anggotanya dengan baik.

Tentunya, pemimpin harus mempertimbangkan kesejahteraan dan kenyamanan anggotanya agar bisa semangat dalam bekerja. Mereka adalah aset yang harus diberdayakan perusahaan.

Bayangkan bila anggota yang resign ini pindah ke perusahaan saingan dan justru mereka memberikan nilai lebih di dalamnya. Saya yakin, ini yang mestinya dihindari oleh banyak pemimpin.

E-leader dan e-followers

Agung Laksamana, Ketua Umum Perhumas Indonesia sadar akan hal itu. Ketika saya hubungi, menurutnya pemimpin harus lebih adaptif lagi dalam berkomunikasi.

Agung berpendapat, dahulu, para leaders bisa komunikasi tatap muka langsung agar terbangun trust dari follower-nya.

Sekarang, mau tidak mau, pimpinan harus beradaptasi berkomunikasi dengan pengikutnya melalui berbagai kanal yang ada, hidup didua alam, daring dan luring.

Pemimpin harus mampu berkomunikasi dengan berbagai media yang ada, baik itu media sosial, media elektronik maupun virtual.

Bahkan, zaman sekarang pun berubah dimana pemimpin harus menjadi e-leaders. Anggota pun juga sudah menjadi e-followers.

Lantas, apa yang pemimpin harus lakukan?

Beradaptasi dengan keadaan. E-followers akan mencari pemimpin yang punya skill digital, virtual, yang memiliki pola pikir global serta technically oriented dengan imlementasi digital leadership yang mumpuni. Lebih dari itu, mereka mencari pemimpin yang people-oriented.

Perspektif ini bisa jadi renungan untuk semua pemimpin, khususnya para pemuda yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan.

Anggota adalah aset yang harus diberdayakan dan diberikan ruang empati yang seluas-luasnya. Manusia itu makhluk sosial yang menginginkan hubungan harmonis.

Filosofi itu yang harusnya dipegang oleh setiap pemimpin untuk membangun kedekatan dengan anggotanya. Terlebih, di situasi pandemi ini, kita semua lelah secara fisik, mental, sampai finansial.

Empati menjadi semakin penting agar anggota tahu pemimpin mereka memperdulikan nasibnya.

Kenapa leader yang harus memulai duluan untuk berhubungan dengan anggota mereka? Karena, menjadi pemimpin harus siap berperan sebagai panutan dan teladan.

Pemimpin harus menjadi contoh yang baik dalam bersikap dan berbuat. Di manapun kita berada, peran pemimpin selalu sama, yakni memanusiakan anggota dan menjadi role model.

 

Membuka ruang interaksi bagi setiap anggota

Melihat bagaimana berdampaknya anggota terhadap organisasi, pemimpin harus bisa membangun iklim budaya organisasi.

Namun, budaya seperti apa yang dimaksud?

Linda Hill, Profesor Harvard Business School, memiliki perspektif yang unik dan saya sangat sependapat dengannya.

Linda mengatakan bahwa pemimpin harus membangun budaya organisasi di mana anggota diberikan ruang yang besar untuk memecahkan masalah secara kreatif atau menghendaki adaya ‘room for failure’ bagi anggota organisasi.

Semakin banyak kesalahan maka semakin banyak belajar dan berkembang, namun tetap pada batas yang wajar.

Inovasi akan tercipta ketika adanya brainstorming antar banyak anggota atau biasa disebut dengan collaborative problem-solving.

Kepemimpinan yang menghadirkan inovasi dalam perusahaan (leading innovation) ditentukan oleh seberapa besar dan luas ruang belajar yang diciptakan dalam organisasi. Inovasi muncul dari interaksi.

Ruang interaksi dari sekumpulan para individu jenius dalam organisasi akan menciptakan hadirnya lebih banyak ‘AHA Moment’, ini juga yang disebut Linda dengan istilah collective genius.

Budaya ini yang harus dibentuk oleh pemimpin masa kini. Pemimpin tidak terancam dengan kualitas anggotanya, namun sebaliknya merasa aman karena didukung oleh para kontributor ide hebat dalam perusahaan.

Collective genius atau jenius kolektif menurut saya tercipta ketika anggota merasa bebas untuk mengekspresikan apa yang dipikirannya. Akan ada banyak solusi kreatif yang bisa dihasilkan ketika pemimpin memberikan kepercayaan terhadap anggotanya untuk menemukan solusinya.

 

Dalam hal ini, saya berdiskusi dengan Presiden Direktur PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Warih Andang Tjahyono. Ia mengatakan perlu adanya sifat kepraktisan dari anggota. Mereka perlu menikmati dan mempercayai prosesnya.

Warih menghendaki adanya kesempatan bagi karyawan untuk mengeksekusi sebuah ide, belajar dari setiap kesalahan dan tidak terlalu banyak pertanyaan kepada atasannya. Di atas itu semua, sifat ketahanan dan pantang menyerah harus dimiliki oleh setiap karyawan.

Peran pemimpin, bagi Warih, adalah bagaimana memotivasi anggota mereka untuk terus maju. Pemimpin bisa memberikan aura dan pola pikir positif agar anggota mendapatkan energi baru untuk terus berusaha.

Namun, bukan berarti pemimpin lepas tangan. Pemimpin juga harus turun ke lapangan, yang dalam bahasa Jepangnya adalah genchi genbutsu atau bahasa populer sekarang adalah blusukan. Pemimpin harus berani untuk memberikan pandangan, masukan, dan strategi, serta mengerahkan sumber daya jika diperlukan.

Budaya tersebut bisa menempa anggota untuk belajar mendengarkan aktif, belajar untuk saling memahami, dan tidak menyerah saat kesulitan melanda.

Biarkan mereka mempertahakan pandangannya. Ciptakan budaya saling memberi ide dan sanggahan agar terciptanya budaya kolaborasi yang apik. Inovasi bisa tercipta jika kita menyambut konflik dan perbedaan.

Situasi ini, menurut CEO PT Paragon Technology and Innovation, Salman Subakat, menuntut kemampuan humility atau mempraktekan humble leadership, kerendahan hati bahwa ide pemimpin tidak selamanya solutif dan terbaik.

Salman Subakat, saat saya hubungi untuk berdiskusi, berpendapat, dalam situasi dunia yang bergerak super cepat seperti sekarang, anggota merupakan fondasi utama.

Bahkan, peran pemimpin akan berkurang jika anggota tidak memiliki sense of followership. Itu akan menghambat inovasi dan kolaborasi.

Performa seorang pemimpin justru akan melemah, bahkan terhambat ketika ketika followership nya itu udah mulai berkurang.

Oleh karenanya, saat ini, pemimpin masa kini harus melakukan reverse-mentoring kepada anak-anak muda. Salman percaya bahwa pemimpin yang baik adalah pengikut yang baik (good leader is a good follower).

Namun, di atas itu semua, sebenarnya fondasi dasarnya adalah bagaimana pemimpin dan anggota saling berhubungan dengan autentik.

Menurut riset dari Leroy, et.al (2012), anggota yang bersikap autentik akan merasa bahwa pekerjaannya sesuai dengan dirinya.

Lebih lanjut, jika pemimpin tidak mementingkan egonya sendiri dan menunjukkan sikap dan sifatnya yang sejati, akan memberikan kepuasaan dasar anggota, yakni kenyamanan dalam bekerja.

Mardi Wu (CEO Nutrifood Indonesia) mengatakan kepada saya bahwa followers dan leaders adalah suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam suatu organisasi.

Followers yang efektif tidak sekedar menjalankan arahan dari leaders, melainkan turut aktif berpartisipasi menyampaikan ide dan solusi di dalam dinamika kelompok.

Efektifnya fungsi followers maupun leaders sangat membantu perusahaan agar tetap agile menghadapi kondisi yang sangat dinamis seperti saat ini.

Followers terbiasa untuk dengan sigap mencari solusi dari sebuah permasalahan ataupun mencari peluang baru tanpa perlu menunggu instruksi dari leadernya.

Ide - ide baru juga lebih beragam karena followers juga dilibatkan secara aktif di dalam diskusi sehari-hari.

Oleh karena itu, inovasi tidak bisa tercipta bila tidak ada hubungan yang autentik antara pemimpin dan anggota. Mereka punya peran yang sebenarnya saling mengisi.

Pemimpin punya kekurangan yang bisa saling diisi oleh anggota. Anggota juga tidak bisa berkontribusi maksimal jika pemimpin tidak memberikan grand design, strategi, visi, dan misi organisasi yang jelas kepada mereka.

Karenanya, pemimpin dan anggota, jika berkolaborasi dengan harmonis, akan membuat organisasi menjadi semakin maju.

Kesimpulannya, anggota berperan penting dalam kemajuan organisasi. Pemimpin perlu untuk menstimulasi mereka, menyediakan ruang pemberdayaan agar anggota nyaman berada di organisasi.

Selain memberikan ruang pemberdayaan, pemimpin bisa lebih terbuka dan menjadi autentik di hadapan anggotanya.

Mereka akan lebih bersemangat karena bisa menjalin hubungan dengan pemimpinnya. Inovasi akan tercipta jika masing-masing menjalankan perannya dan saling mengisi satu sama lain.

Karena itu, mari kita berdayakan anggota organisasi kita untuk kemajuan organisasi dan perusahaan agar menjadi yang terdepan.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi