Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa
Bergabung sejak: 6 Jun 2021

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Hujan Salah Musim, Puisi Sapardi, dan Krisis Iklim

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/RIZA FATHONI
Mendung menyelimuti kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, Selasa (26/6/2018).
Editor: Palupi Annisa Auliani

HUJAN masih saja setia menyambangi Pulau Jawa pada Juni 2021. Padahal, pelajaran sekolah bilang, bulan ini seharusnya sudah masuk musim kemarau di sini.

Mendiang Sapardi Djoko Damono bahkan menjadikan hujan bulan Juni sebagai kiasan bagi cinta tak tersampaikan dan disimpan dalam diam. Ya karena Juni seharusnya memang bukan musim hujan.

Baca juga: In Memoriam Sapardi Djoko Damono

Harian Kompas edisi 22 Juni 2021, dalam artikel berjudul Anomali Hujan Bulan Juni, menyebutkan, kisah hujan lebat salah musim pada tahun ini diperkirakan berlangsung hingga 24 Juni 2021.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lalu, hujan dengan intensitas lebih rendah masih akan turun pada 25-30 Juni 2021. Barulah pada Juli 2021, nuansa kemarau yang sesungguhnya diperkirakan bakal tiba di wilayah Pulau Jawa.

Prakiraan ini mengutip Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), Siswanto. 

Masih dari tulisan yang sama, Peneliti Klimatologi di Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer-Lembaga Penerbangan dan Antariksa (Lapan), Erma Yulihastin, menyebut fenomena ini merupakan pengaruh dinamika laut-atmosfer di Samudera Hindia.

”Dinamika ini ditunjukkan dari pembentukan pusat tekanan rendah berupa pusaran angin yang dinamakan dengan vorteks di selatan ekuator dekat pesisir barat Sumatera dan Jawa,” kata Erma.

Dari dinamika tersebut, Erma memperkirakan kemarau yang segera menjelang pun masih akan terasa basah.

Kemarau basah

Sebelumnya, harian Kompas edisi 12 Juni 2021 telah pula memberitakan peluang kondisi cuaca yang berbeda di antara satu wilayah dan wilayah lain di Indonesia.

Misal, di kawasan Nusa Tenggara dan sekitarnya, kemarau sudah melanda sejak Mei 2021. Adapun kawasan Maluku, Papua, dan sebagian Sulawesi punya cuaca seperti di Jawa dan sebagian Sumatera: basah.

Di artikel berjudul Intensitas Hujan Mulai Berkurang, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanti, menyebut sirkulasi siklonik terpantau di Samudra Pasifik utara Papua dan di Samudra Hindia barat Sumatera. 

”Kondisi ini bisa meningkatkan potensi pertumbuhan awan hujan di sekitar area sirkulasi siklonik dan di sepanjang daerah konvergensi tersebut,” ujar Guswanti.

Baca juga: Fenomena La Nina Picu Potensi Musim Kemarau Basah 2021

Prediksi tentang kemarau yang basah pada 2021 telah pula diungkap oleh Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati.

Dikutip harian Kompas edisi 26 Maret 2021, Dwikorita menyebutkan bahwa 34,8 persen wilayah di Indonesia akan tetap hujan dengan intensitas di atas normal pada kamarau tahun ini.

Selain kemarau basah di sebagian wilayah itu, 53,2 persen wilayah akan mengalami kemarau yang normal. Kalaupun hujan ya rintik-rintik saja sekilas.

Namun, Dwikorita menggarisbawahi pula bahwa 12 persen wilayah yang mencakup 41 zona musim diperkirakan berhadapan dengan kemarau kerontang, lebih kering dari rata-rata.

"Lebih kering artinya risiko kebakaran hutan dan lahan lebih tinggi sehingga harus diwaspadai," ujar Dwikorita, Kamis (25/3/2021).

Deputi Bidang Iklim BMKG Herizal menambahkan, berdasarkan peta kerentanan bencana kebakaran hutan dan lahan 2021, ada sejumlah daerah yang perlu mewaspadai kebakaran hutan.

”Ada potensi kebakaran hutan.... Juli berkembang di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, dan juga Nusa Tenggara Barat. Pada Agustus meluas risikonya hingga Nusa Tenggara Timur dan Papua,” kata Herizal, dikutip di artikel yang sama.

Menurut Herizal, Papua sejak beberapa tahun terakhir menjadi langganan kebakaran hutan dan lahan sehingga harus lebih waspada.

”Untuk September, potensi kebakaran hutan dan lahan di Riau dan Jambi berkurang. Tetapi, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan masih rentan, termasuk juga NTT dan Papua bagian selatan,” imbuh dia.

Krisis iklim

Perbedaan kondisi iklim antar-wilayah memang bukan khas Indonesia. Terlebih lagi, luasnya wilayah Indonesia pun menyebabkan ada lebih dari seratus zona iklim. 

Saat satu wilayah memiliki curah hujan tinggi, bukan mustahil wilayah lain kering kerontang selama berhari-hari. 

Kepala Subbidang Peringatan Dini Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Supari, menyebutkan ada sejumlah sebab yang memicu hujan lebat di Indonesia.

Baca juga: Pemulihan Ekonomi di Tengah Pandemi dan Krisis Iklim

Biasanya, sebut Supari, hujan ekstrem dipengaruhi kombinasi Madden-Julian Oscillation (MJO) alias aliran udara sepanjang khatulistiwa yang membawa siklus basah dan kering bergantian, terjadinya siklon tropis atau tekanan rendah di dekatnya, menguatnya La Nina, atau adanya pertemuan massa udara dari belahan bumi utara dan belahan bumi selatan atau disebut sebagai Intertropical Convergence Zone (ITCZ).

Namun, hujan ekstrem yang belakangan terjadi di Indonesia ternyata tak lagi menganut "rumus" biasanya itu. 

”Perubahan iklim menyebabkan jeda antarkejadian ekstrem makin lama makin pendek. Misalnya, pada kondisi iklim zaman dulu, hujan 200 mm per hari itu periode ulangnya adalah 100 tahun. Nah, di kondisi iklim sekarang, hujan sebesar itu periode ulangnya menjadi 50 tahunan atau bisa lebih cepat lagi,” ungkap Supari, seperti dikuti harian Kompas edisi 6 Januari 2020 di artikel Krisis Iklim Percepat Siklus.

Salah satu peristiwa hujan ekstrem terkini di Indonesia terjadi pada 31 Desember 2019-1 Januari 2020. Curah hujan di Bandara Halim Perdanakusuma pada 31 Desember 2019, misalnya, tercatat 377 milimeter. Ini merupakan curah hujan tertinggi di Jakarta dan sekitarnya sejak 1866.

Baca juga: Setelah 2020 yang Penuh Pilu, di Mana Posisi Krisis Iklim Saat Ini?

Terpisah, peneliti yang juga Kepala Subbidang Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, Siswanto, menambahkan bahwa sejak Juni 2019, indeks IOD+ (Indian Ocean Dipole positif) menguat dan menjadi yang terkuat dalam sejarah 150 tahun pengukuran suhu muka laut Samudra Hindia.

Setidaknya, ini data IOD+ hingga Juni 2020, seperti dikutip harian Kompas di artikel edisi 6 Januari 2020 di atas.

Fenomena IOD+ ditandai dengan mendinginnya suhu muka air laut barat Sumatera hingga selatan Jawa, sebaliknya suhu muka air laut di timur Afrika menghangat.

Kondisi ini menyebabkan tingginya penguapan air di sekitar perairan Afrika yang memicu hujan lebat dan banjir sepanjang 2019 di wilayah tersebut. Sebaliknya, wilayah Indonesia dan Australia sejak Juli 2019 mengalami kurang hujan serta memicu kekeringan dan kebakaran hutan di Indonesia dan Australia.

Di artikel Sebagian Wilayah Bakal Lebih Kering, tayang di harian Kompas edisi 8 Juli 2020, Siswanto pun menyebut sekitar 50 persen wilayah Indonesia cenderung memiliki curah hujan di atas rata-rata jika dibandingkan data curah hujan atau rata-rata iklim 1981-2010.

Kondisi iklim yang berubah tersebut antara lain menjadi penyebab sejumlah bencana banjir bandang, termasuk di Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu.

Baca juga: Haru, Menteri Bintang Peluk Josh, Bayi 9 Bulan yang Selamat dari Banjir Bandang di Alor NTT, Orangtuanya Meninggal

Siswanto pun mengingatkan, kondisi yang lebih basah ini berisiko meningkatkan populasi nyamuk pembawa virus demam berdarah.

Sebaliknya, di daerah yang cenderung kering, perlu menyiapkan mitigasi kebakaran hutan dan lahan, pengelolaan budidaya pertanian yang tak butuh banyak air, dan penghematan air bersih.

Krisis iklim adalah kenyataan yang dihadapi seluruh makhluk Bumi pada saat ini. Khalisah Khalid dalam opini Bumi dan Krisis Iklim—tayang di harian Kompas edisi 23 April 2021— menyebut kondisi Bumi sekarang tidak sedang baik-baik saja.

"Indonesia tak dalam situasi perang, tetapi kelambanan dalam adaptasi dan mitigasi bencana ekologis telah mengakibatkan 4.508.605 orang mengungsi sejak awal 2021," tulis Kepala Departemen Kajian dan PSD Head of Research and Resource Mobilization Department tersebut. 

Hujan salah musim dan bencana ekologis bak penanda bagi tuntutan komitmen dan upaya lebih nyata mengembalikan keselarasan alam. Bukan main tunjuk, karena kita pun harus menunjuk diri memenuhi tuntutan itu. 

Jadi, akankah hujan bulan Juni akan kembali setabah di puisi Sapardi?

 

Naskah: Kompas.com/Palupi Annisa Auliani

Catatan: Semua arsip Kompas yang dikutip di artikel ini dapat diakses publik melalui layanan Kompas Data

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi