Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat PPKM Darurat dan Dampaknya terhadap Penanganan Pandemi di Indonesia...

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA
Suasana di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (29/6/2021). Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 mengatakan operasional pusat perbelanjaan dan mall akan dibatasi hingga pukul 17.00, seiring dengan pengetatan aktivitas masyarakat dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) mikro. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/hp.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com – Lonjakan kasus Covid-19 yang terjadi di Indonesia dalam sebulan terakhir membuat sistem layanan kesehatan kewalahan.

Di banyak daerah, khususnya Pulau Jawa, rumah sakit mulai terisi penuh. Kesediaan tabung oksigen tak mencukupi kebutuhan pasien.

Kisah miris banyaknya pasien Covid-19 tak tertolong menjadi bukti atas kondisi penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia yang tak siap menghadapi situasi krisis.

Merespons situasi ini, pemerintah akan menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat untuk Pulau Jawa dan Bali.

PPKM darurat mulai diimplementasikan pada 3-20 Juli 2021.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kebijakan ini diumumkan Presiden Joko Widodo dalam konferensi pers virtual pada Kamis (1/7/2021).

Baca juga: Aturan Perjalanan PPKM Darurat 3-20 Juli: Harus Tunjukkan Kartu Vaksin

Apakah PPKM Darurat efektif menekan angka penyebaran virus corona di Indonesia?

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menilai, PPKM darurat belum merespons situasi darurat yang terjadi saat ini.

“Itu baru tahapan namanya saja darurat. Tapi isinya belum bisa dikatakan merespons situasi yang darurat. Itu pendapat saya,” ujar Dicky saat dihubungi Kompas.com, Kamis (1/7/2021).

Menurut dia, aturan dalam PPKM Darurat masih memberi celah multitafsir, seperti pelaksanaan WFH 100 persen, akan tetapi hanya untuk sektor non-esensial.

Sementara, untuk sektor esensial masih dibagi lagi menjadi sejumlah peraturan lain yang dinilainya tidak akan efektif.

Dicky berpendapat, yang paling tepat tetaplah lockdown.

“Minimal (lockdown) dua minggu,” ujar dia.

Dicky mengatakan, pemerintah bisa menerapkan lockdown bersamaan dengan menambah testing, tracing, karantina, serta vaksinasi. 

“Baru setelahnya PPKM darurat,” kata Dicky.

Langkah seperti ini dinilainya akan membuat angka penurunan kasus menjadi lebih terukur dan bertahap.

Dengan kebijakan saat ini, ia khawatir fasilitas kesehatan akan semakin tumbang jika tak ada langkah agresif.

Baca juga: Aturan Lengkap PPKM Darurat Jawa-Bali, Berlaku 3-20 Juli 2021

Pengawasan ketat

Sementara itu, epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Bayu Satria Wiratama mengatakan, WFH khusus semua sektor non-esensial dalah hal yang sudah baik untuk dilakukan saat ini.

Meski demikian, implementasinya harus diikuti dengan pengawasan yang ketat. 

“Karena selalu masalahnya adalah implementasi di lapangan banyak yang melanggar,” ujar dia saat dihubungi Kompas.com, Kamis (1/7/2021).

Bayu mengatakan, seharusnya ada sanksi bagi yang melanggar aturan PPKM Darurat karena selama ini tidak ada tindakan bagi yang tak taat aturan PPKM.

Untuk aturan lainnya, Bayu menganggapnya sudah cukup baik untuk situasi saat ini. 

“Bepergian harus vaksin plus PCR atau antigen itu bagus karena bisa meningkatkan cakupan vaksinasi dan memastikan paling tidak yang berangkat risikonya rendah karena sudah vaksin,” ujar dia.

Peraturan lain seperti pengetatan wajib masker juga dinilainya baik, tetapi butuh pengawasan dan sanksi.  

Sementara, terkait target testing yang disesuaikan di masing-masing daerah, pemerintah harus mengawasinya dengan ketat dan menindak tegas pemerintah daerah yang "bandel".

Baca juga: PPKM Darurat Jawa-Bali, Ini Daftar Daerah yang Menerapkannya

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: 14 Poin Utama PPKM Darurat

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi