KOMPAS.com - Sepanjang sejarah peradaban umat manusia, berbagai jenis pandemi datang silih berganti, dan selalu mengakibatkan jatuhnya korban yang tak sedikit.
Pandemi juga menciptakan garis tegas antara "sebelum" dan "sesudah". Sebuah gambaran jelas tentang bagaimana kehidupan bisa sangat jauh berbeda ketika pandemi datang.
Ini pula yang tengah kita alami saat ini, ketika terjadi pandemi virus corona.
Melansir CNN, 28 Juni 2021, perubahan lanskap kehidupan akibat pandemi tidak hanya terjadi ketika Covid-19 merebak ke seluruh dunia.
Jauh sebelum itu, pandemi flu pada 1918 yang mengakibatkan kematian jutaan orang, turut membentuk sikap sosial masyarakat pada saat itu.
Baca juga: Panic Buying Susu Beruang dan Tantangan Berpikir Rasional di Tengah Pandemi...
Seperti apa kehidupan setelah pandemi nanti?
Profesor psikiatri dan ilmu perilaku di Fakultas Kedokteran Feinberg Universitas Northwestern, Chicago, Jacqueline Gollan, mengatakan, ketika pandemi Covid-19 kelak mereda, akan ada sejumlah tren kehidupan yang masih tetap bertahan.
Beberapa hal itu, menurut dia, seperti belanja online, konsultasi medis jarak jauh, bekerja dari rumah, dan penggunaan teknologi untuk kumpul-kumpul masih akan tetap relevan, meski pandemi sudah berlalu.
"Berkaca dari krisis global ini, kemungkinan besar kita akan selalu menyiapkan perlengkapan sanitasi dan alat perlindungan diri. Kita juga akan lebih mudah mengadopsi gaya hidup yang menitikberatkan pada kebersihan," kata Gollan.
Sementara itu, Analis Medis CNN Dr. Leana Wen mengatakan, banyak orang akan mengevaluasi gaya hidup mereka, berkaca dari sebelum dan selama pandemi.
Pelajaran dari pandemi flu 1918
Pembatasan itu, misalnya, anjuran untuk mengurangi kontak fisik dengan orang lain, seperti berjabat tangan ketika bertemu dengan seseorang.
Tak hanya itu, pemakaian masker dan serangkaian protokol pencegahan lainnya juga gencar dikampanyekan, terutama di ruang-ruang publik.
"Pandemi flu menegaskan perbedaan antara rumah yang aman dengan ruang publik yang berbahaya, yang telah lama disadari pada akhir abad ke-19," tulis Tomes.
Pandemi flu 1918 juga memengaruhi aspek ketenagakerjaan serta industri pada saat itu.
Menurut arsip CDC Amerika Serikat, selama gelombang kedua pandemi 1918, komite kesehatan mengeluarkan rekomendasi bagi toko dan pabrik untuk mengurangi jam kerja.
Para pekerja juga dianjurkan berangkat kerja dengan jalan kaki, untuk menghindari terjadinya kerumunan pada transportasi publik.
Kendati protokol kesehatan tersebut tidak benar-benar bisa sepenuhnya dilaksanakan atau dipatuhi, namun terlihat bahwa upaya untuk memitigasi dampak pandemi sudah ada pada saat itu.
Akan tetapi, upaya-upaya tersebut tidak bertahan lama. Ketika pandemi flu 1918 akhirnya mereda, kebiasaan-kebiasaan selama pandemi menjadi terlupakan dan tidak dilakukan lagi.
Baca juga: [HOAKS] Penyebab Pandemi Flu Spanyol 1918 karena Percobaan Vaksin Meningitis
Kehidupan setelah pandemi
“Perusahaan cenderung menganggap kerja jarak jauh sebagai mekanisme kelangsungan bisnis, yang dapat mereka ubah dengan mudah jika varian baru dari virus corona muncul, yang melampaui perlindungan yang diberikan vaksin saat ini,” kata Gajendran.
Gajendran mengatakan, lebih banyak kehidupan sehari-hari, seperti rapat, janji temu, pelatihan dan kegiatan baik di dalam maupun di luar pekerjaan, kemungkinan akan lebih banyak dilakukan secara online.
"Kantor akan didesain ulang dengan asumsi bahwa banyak pekerjaan dan kolaborasi akan melibatkan proporsi interaksi online yang lebih tinggi daripada sebelumnya," ujar dia.
Sementara itu, Dr. Leana Wen mengatakan, kebiasaan kecil seperti menyapa orang lain dengan berjabat tangan, kemungkinan besar juga akan berubah pasca-pandemi Covid-19.
"Saya juga berharap ada alternatif jabat tangan. Mungkin alih-alih melakukan jabat tangan, kita memiliki sapaan siku atau sapaan namaste untuk menyapa, terutama antara orang asing," kata Wen.
Tak hanya itu, menurut Wen, setelah pandemi orang-orang akan menaruh perhatian lebih pada tempat tujuan mereka ketika akan bepergian, misalnya mencermati kasus-kasus penularan virus corona, flu, atau penyakit lain di daerah itu.
Hal tersebut mulai terlihat dari kecenderungan wisatawan baru-baru ini, yang lebih memilih berkunjung ke tujuan yang dekat dengan rumah, daripada terbang ke tempat yang jauh.
Kecenderungan itu mengindikasikan bahwa masih ada kekhawatiran tentang risiko Covid-19.
"Dalam beberapa tahun ke depan, kita akan melihat virus corona 'mengamuk' di beberapa bagian dunia yang tidak dikendalikan dengan baik," kata Wen.
Badai pandemi masih belum berlalu dari Indonesia
Kasus harian Covid-19 meningkat pesat, pasien yang antre dirawat mengular di halaman rumah sakit, sementara mereka yang dalam kondisi kritis mesti berjuang dengan keterbatasan tabung oksigen.
Bencana kemanusiaan ini telah merenggut puluhan ribu nyawa penduduk Indonesia. Entah itu tua-muda, anak-dewasa, rakyat-pejabat, virus corona tak pandang bulu dalam menyasar korbannya.
Situasi krisis tampak semakin nyata, manakala kematian-kematian yang seharusnya bisa dicegah, berujung terjadi lantaran ketidaksiapan pemerintah mengendalikan pandemi.
Terbaru, sebanyak 63 pasien di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta, meninggal dalam sehari semalam.
Keterlambatan pasokan oksigen diduga turut menyebabkan meninggalnya pasien dengan jumlah yang belum pernah terjadi dalam sejarah rumah sakit ini.
Mengutip Kompas.id, pasien yang meninggal di RSUP Dr Sardjito pada Sabtu (3/7/2021) hingga Minggu (4/7/2021) dinihari terdiri dari 9 orang di ruang intensif, 30 di bangsal rawat inap, dan 12 di instalasi gawat darurat.
Mereka merupakan pasien Covid-19 yang rata-rata mengalami pemburukan dan butuh pasokan oksigen. Namun, RSUP Dr Sardjito kekurangan oksigen sejak Sabtu sore.
Situasi-situasi memilukan seperti itu tidak hanya terjadi di RSUP Dr Sardjito.
Kondisi yang sangat miris, mengingat sudah lebih dari setahun sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020.
Ahli epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono mengibaratkan, melihat puncak pandemi di Indonesia bak menyusuri lorong gelap.
"Kita di posisi jalan yang tak berujung. Kita masih dalam kegelapan gulita, dan cahayanya belum kelihatan," kata Pandu Riono, seperti diberitakan Kompas.com, 22 September 2020.