KOMPAS.com - Program Vaksinasi Gotong Royong (VGR) berbayar untuk individu menggunakan vaksin Sinopharm dimulai pada hari ini, Senin (12/7/2021).
Vaksinasi Covid-19 berbayar ini bisa didapatkan di 8 klinik Kimia Farma di Jawa-Bali,.
Individu yang ingin mendapatkan akses vaksinasi melalui jalur ini akan dikenakan biaya maksimal Rp 879.140 untuk 2 dosis vaksin.
Biaya itu meliputi harga vaksin dan biaya layanan vaksinasi.
Wakil Menteri BUMN, Pahala N. Mansyuri mengklaim, langkah ini sebagai salah satu upaya percepatan vaksinasi di Indonesia.
Baca juga: Vaksinasi Covid-19 Berbayar di Kimia Farma, Berapa Harga dan Vaksin Apa yang Digunakan?
Seharusnya gratis
Pelaksanaan vaksinasi berbayar ini dikritisi oleh epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riyono.
"Klaim palsu (percepat vaksinasi). Ya cari duit (tujuannya)" kata Pandu saat dihubungi Kompas.com, Minggu (11/7/2021).
Ia berpendapat, vaksin tidak seharusnya dikomersilkan, apalagi dalam kondisi krisis seperti saat ini.
"Lho vaksin itu public health good, bukan commercial products. Hapus Vaksin Gotong Royong," kata dia.
Hal senada juga disampaikan pakar epidemiologi dari Griffith University, Dicky Budiman.
Menurut Dicky, kebijakan komersialisasi vaksin Covid-19 hingga saat ini, sepengetahuannya belum terjadi di negara lain.
"Prinsip pemberian vaksin di tengah situasi wabah, apalagi pandemi sebesar Covid-19 adalah diberikan secara gratis untuk semua kelompok masyarakat. Sejauh ini saya sudah coba cek, terakhir belum ada negara yang mengharuskan pemberian vaksinasi secara berbayar," kata Dicky, saat dihubungi secara terpisah, Minggu (11/7/2021).
Namun, kata dia, jika memang kondisi keuangan suatu negara tidak memungkinkan untuk memberikan vaksin secara gratis kepada jumlah target yang sangat besar, pemberian vaksin secara berbayar ini bisa menjadi pilihan.
Alasannya, tujuan utamanya adalah untuk menyelamatkan masyarakat, dan vaksin menjadi salah satu strategi utama, selain pengujian dan pelacakan kasus yang intens.
Baca juga: Info Vaksinasi Covid-19 Berbayar Kimia Farma: Dari Harga, Cara Daftar hingga Lokasi Vaksinasi
Transparan dan tidak "ujug-ujug"
Akan tetapi, ia mengingatkan, semua harus dilakukan dengan transparan dan tidak mendadak.
"Sekiranya pemerintah memang memiliki kemampuan yang terbatas, saya kira ya terbuka saja, transparan. Kita ini negara besar dengan sifat gotong royong dari masyarakat kita. Yang diperlukan adalah keterbukaan dari situasi, baik situasi wabahnya, termasuk kondisi keuangannya," papar Dicky.
"Kalau pun itu (vaksinasi berbayar) sudah diputuskan, ya jangan serta-merta, tiba-tiba dilakukan. Harus ada paparan yang jelas kepada publik, sehingga jelas juga strateginya, siapa tujuannya, kita jadi tidak ujug-ujug," lanjut dia.
Keterbukaan, komunikasi dengan publik, dan persiapan yang matang disebut sebagai kunci keberhasilan tercapainya tujuan utama dari program vaksinasi berbayar seperti diklaim pemerintah yaitu mempercepat tercapainya target vaksinasi dengan bantuan pendanaan dari gotong-royong masyarakat.
Jika hal-hal itu tidak dilakukan, yang terjadi adalah sebaliknya.
"Ketidakterbukaan itu akhirnya melahirkan kesimpangsiuran dan kontraproduktif dengan tujuan itu (vaksinasi berbayar) sendiri. Bila semuanya cukup jelas saya kira ini bukan hal yang tidak mungkin, karena kita kan mau enggak mau, enggak bisa tidak (vaksin). Kita harus hadapi pandemi ini dan kita harus cegah banyaknya korban kesakitan apalagi kematian, dengan bahu membahu," kata Dicky.
Dicky menyadari, dalam hal penyediaan vaksin bagi masyarakat, ada negara yang bisa memberikan secara gratis sepenuhnya.
Namun, ada pula negara yang bahkan jatah vaksin saja belum menerima. Di sisi lain, ada negara yang mampu memberikan 'hadiah' bagi warganya yang bersedia divaksinasi.
"Misalnya Hong Kong memberikan hadiah (sejenis undian atau doorprize) seperti rumah, ini adalah dalam rangka untuk menggugah masyarakat mau divaksin sehingga mencapai threshold. Di sisi lain juga ada negara yang jangankan mau memberi gratis, vaksinnya saja belum dapat, seperti sebagian negara di Afrika," ujar Dicky.