Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Masih Ada Orang Tidak Percaya Covid-19? Ini Penjelasan Ahli

Baca di App
Lihat Foto
Dokter Lois Owien usai diperiksa di Polda Metro Jaya, Senin (12/7/2021).
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Selama hampir 16 bulan pandemi, kasus Covid-19 di Indonesia tercatat sebanyak 2.615.529 orang positif. 

Dari jumlah tersebut, 68.219 meninggal dunia, 407.709 kasus aktif masih menjalani perawatan, dan 2.139.601 dinyatakan sembuh. 

Meskipun telah berjalan lebih dari setahun dan telah banyak menimbulkan korban jiwa, masih ada sebagian orang yang tidak percaya adanya virus corona Covid-19. Salah satunya dr Lois. 

Mengapa ada sebagian orang yang tidak mempercayai adanya Covid-19? 

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Dr Lois Sebut Interaksi Obat Sebabkan Pasien Covid-19 Meninggal, Ini Penjelasan Ahli

Penjelasan psikolog

Psikolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Laelatus Syifa mengatakan, penganut teori konspirasi, atau mereka yang tidak meyakini adanya Covid-19 hal itu karena secara tidak sadar takut pada ketidakpastian.

"Teori konspirasi ini mudah menjamur di masyarakat ketika masyarakat itu ada dalam kondisi ketidakpastian dan penuh ancaman," ujar Syifa kepada Kompas.com, Rabu (14/7/2021).

Akibatnya, mereka menciptakan atau mempercayai keyakinan bahwa ada penyebab dari suatu peristiwa besar.

Menurut Syifa, ada keinginan dari dalam diri mereka, untuk memahami dunia. Ketika mereka menemukan jawaban, maka rasa takut akan ketidakpastian itu mereda.

"Jadi sebenarnya konspirasi itu dibuat dengan tujuan untuk membuat jawaban dari kekacauan yang terjadi di dunia yang dialami orang tersebut," imbuh dia.

Bias proporsionalitas

Hal lain yang menyebabkan banyak orang mempercayai teori konsprasi adalah bias proporsionalitas.

Baca juga: Dokter Lois Tidak Ditahan, Polri: Dia Akui Kesalahan dan Janji Tidak Akan Mengulangi

Bias proporsionalitas adalah ketika orang hanya mempercayai bahwa sesuatu yang besar disebabkan oleh hal yang besar pula.

"Ada kecenderungan untuk membuat analisis dan pemahaman yang membuat mereka lebih stabil dan konsisten dengan membuat teori, agar ada keyakinan," terang dia.

Sehingga, ketika virus corona menyebar dan menjadi besar, maka muncul teori bahwa ini berasal dari laboratorium, senjata biologis, dan sejenisnya.

Terlebih di masa pandemi Covid-19 yang penuh dengan ketidakpastian. Orang yang secara psikologis tidak memiliki toleransi terhadap ketidakpastian ini akan mudah percaya teori "besar" tersebut.

Baca juga: Setahun Pandemi Covid-19, Ini 6 Teori Konspirasi Menyesatkan di Dunia

Menyerap hanya yang diyakini

Sementara itu psikolog sosial, Dicky Chresthover Pelupessy, Ph.D., mengatakan fenomena orang yang tidak percaya dengan Covid-19 erat kaitannya dengan status manusia sebagai makhluk kognitif.

Secara alami, manusia menyerap dan mengolah informasi berdasarkan yang disiplin ilmu, hal yang diyakini dan diketahui.

Virus Corona sendiri merupakan hal yang baru sehingga wajar banyak orang masih banyak yang berupaya mengenalinya dan menyerap data yang ada.

Ia menambahkan, sejumlah penelitian telah membuktikan, orang yang mudah percaya dengan konspirasi termasuk soal Covid-19, biasanya tidak percaya kepada pemerintah yang sedang berjalan.

"Hasil studi membuktikan, biasanya mereka yang tidak percaya, kecenderungan lebih suka konspirasi itu, tidak percaya pemerintah, posisinya oposisi," terangnya dikutip dari Kompas.com (23/06/2021).

Baca juga: Mengapa Masih Banyak Orang Tak Percaya Covid-19?

Bukan pengolah informasi yang baik

Menurut pria lulusan Universitas Indonesia ini menjelaskan kerentanan manusia pada konspirasi adalah bentuk nyata kemampuan manusia sebagai cognitive measure.

"Pada dasarnya manusia bukan pengolah informasi yang baik," jelasnya.

Manusia mengolah informasi dengan berbagai keterbatasan, tidak seperti mesin yang lebih objektif dengan berbagai data yang ada.

Sifat alami manusia membuat kita rentan terhadap bias yang dipengaruhi pula oleh banyak hal.

Ia menambahkan, faktor yang paling berdampak ialah selera, pengetahuan dan kesukaan pada sesuatu hal, termasuk pemerintah.

Pada orang yang sejak awal memiliki rasa tidak suka akut pada pemerintah, Dicky menjelaskan, dijadikan momen untuk mencari pembenaran.

"Karena tidak percaya pada pemerintah maka mereka mencari pembenaran lain untuk perilaku mereka," tandasnya.

Baca juga: [HOAKS] Jenazah Korban Covid-19 Varian Delta Masih Bisa Bergerak

 

Bosan akan pandemi

Meski demikian, ia menilai situasi herd stupidity saat ini tidak serta merta terjadi karena ketidakpercayaan masyarakat pada Covid-19.

Menurutnya, ada banyak hal yang berkontribusi pada kondisi kebodohan komunal ini. Utamanya adalah faktor bosan akan pandemi, kebingungan masyarakat dan inkonsistensi kebijakan pemerintah.

Kombinasi ini membuat masyarakat bersikap nekat dan abai pada protokol kesehatan sehingga melakukan mobilitas yang berdampak pada lonjakan kasus di berbagai daerah.

Cara menghadapinya

Syifa mengatakan bahwa mereka yang tidak percaya Covid-19 ini bisa dari kalangan orang yang tidak berdaya, terasing, dan kalah.

Mereka berusaha mencari perlindungan (defence mechanism) dari cerita yang mereka percayai. Maka, coba hindari untuk berdebat dengan mereka.

"Kita memberikan fakta dari apa yang kita percayai untuk melawan fakta yang mereka percayai, itu tidak akan pernah ketemu. Itu akan jadi debat kusir," kata Laelatus.

Ia menyarankan agar lebih bersikap lunak ketika menghadapi penganut teori konspirasi.

"Cukup mendengarkan saja, jangan menolak mentah-mentah atau mengejek. Karena mereka punya alasan mengapa mereka percaya," imbuh dia.

Baca juga: Percaya Covid-19 adalah Teori Konspirasi, Pasangan di Malaysia Kondisinya Kritis

Apabila kita sudah berbicara baik-baik tetapi perbincangan menjadi panas, maka coba alihkan ke pembicaraan lain. Atau mengakhiri pembicaraan dengan pendapat masing-masing.

Selebihnya, pihaknya menyarankan agar masyarakat bisa lebih kritis dan mempercayai sumber informasi yang lebih valid.

"Kita juga perlu membentengi diri dari teori konspirasi atau hoaks," ujar Laelatus.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi